Tafsir Benci Islam di ‘Balonku Ada Lima’ dan Kebutuhan Lagu Anak Indonesia

Tafsir Benci Islam di ‘Balonku Ada Lima’ dan Kebutuhan Lagu Anak Indonesia

Tafsir Benci Islam di ‘Balonku Ada Lima’ dan Kebutuhan Lagu Anak Indonesia

MOJOK.COKritik untuk lagu “Balonku Ada Lima” dan “Naik-naik ke Puncak Gunung” sebenarnya merupakan terobosan baru dalam dunia lagu anak.

Mendengar ceramah seorang ustaz memang baiknya tidak disambi dengan pikiran yang emosional dan sumbu pendek. Apalagi untuk ustaz seperti Ustaz Zainal Abidin yang memang punya gaya ceramah cukup tegas dan selalu penuh perumpamaan.

Kita seharusnya sadar, sebagai pendengar ceramah beliau, kita tidak hanya diberikan siraman rohani tapi juga diajak berpikir kritis.

Saya sendiri sempat beberapa kali menonton video ceramah Ustaz Zainal Abidin. Yaaa, hitung-hitung menambah pengetahuan dari berbagai sisi. Dan tentu saya sudah menonton potongan video yang sempat jadi gonjang-ganjing di Twitter.

Iya betul, soal lagu “Balonku Ada Lima” dan “Naik-naik ke Puncak Gunung” yang kata Ustaz Zainal merupakan dua lagu yang dibuat untuk membenci Islam dan kristenisasi terselubung. Benar-benar pemaparan yang mengejutkan.

Kalau kalian baru tahu potongan video tersebut, video ceramah yang sempat viral itu sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2018, namun entah kenapa potongan ucapan kontroversialnya baru booming tahun ini.

“Di Indonesia juga banyak kan antum nggak berasa. Contoh anak-anak kecil sejak dari TK saja sudah dilatih untuk benci Islam. ‘Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya,’ yang meletus balon apa? Hijau. ‘Hatiku sangat kacau.’ Loh, Islam itu bikin kacau aja. Tinggal empat pegang erat-erat, merah, kuning,” ujar beliau.

Selain itu, beliau juga membedah lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung” dan memperagakan gerakan tangan ke arah atas, kiri, dan kanan yang seolah menyimbolkan salib serta nyinggung-nyinggung selebrasi Lionel Messi.


Banyak warganet protes dan mengatakan ini merupakan cocokologi yang sungguh ramashook.

Duh, duh, tahan, Bos, tahan. Jangan emosi dulu.

Pertanyaannya adalah, kenapa kita baru tahu video itu sekarang? Padahal sudah sejak dua tahun yang lalu loh pernyataan blio itu ada. Ditambah lagi apa yang dilakukan ini sebenarnya merupakan terobosan baru dalam dunia lagu anak. Kamu sadar nggak sih?

Terobosan baru apaan, biji kesemek?

Lha iya, Ustaz Zainal itu sebenarnya mau ngasih tahu kita bahwa blio adalah ustaz kreatif multitalenta yang memperhatikan banyak hal.

Selain jago ilmu agama, blio juga cukup jago ilmu musik anak-anak, filosofi lirik lagu anak, dan semiotika lirik lagu anak-anak. Dalam hal ini, saya pikir blio layak kalau disebut sebagai kritikus lagu anak-anak kekinian.

Lagian, apa salahnya seorang ustaz punya kemampuan seperti ini?

Bukankah pada zaman sekarang kritikus musik, kritikus sastra, atau bahkan kritikus elite global jadi status yang lumrah? Sekarang coba lihat dunia lagu anak-anak dan selidiki adakah kritikus lagu anak-anak? Nggak ada kan?

Oleh sebab itu, bisa dibilang Ustaz Zainal malah memancing munculnya suatu keahlian baru bernama kritikus lagu anak-anak. Sebuah bidang pemikiran langka dan tak terpikirkan sebelumnya.

Oke, cara tafsir Ustaz Zainal memang cukup kontroversial, namun kita harus akui, gara-gara blio membedah lagu “Balonku Ada Lima” dan “Naik-naik ke Puncak Gunung” perhatian kita terhadap lagu anak jadi meningkat pesat.

Kalau soal beda tafsir, itu mah hal yang wajar dalam sebuah kritik. Ada yang setuju, meski banyak yang kontra. Toh kalau tidak setuju dengan tafsir beliau bahwa lagu “Balonku Ada Lima” adalah ajakan terselubung untuk benci Islam, hanya karena persoalan warna-warnaan, ya sampaikan saja kontra-kritik agar jadi diskusi yang mengasyikkan.

Misalnya begini, saya kasih contoh.

Pak Ustaz, warna hijau itu kan nggak melulu soal Islam. Lah itu, nyatanya Spotify, Joox, bendera Brasil, sampai Indomie Goreng Rasa Cabe Ijo tidak pernah ujug-ujug disimbolkan sebagai Islam tuh.

Warna itu kan luas tafsirnya. Universal gitu. Tidak ada hak kepemilikan tafsir di dalamnya. Ketika balon yang meletus diganti warna merah, apakah iya lantas para kamerad di Rusia, politikus Cina, Presiden Korea Utara, dan pendukung Manchester United harus ngamuk-ngamuk juga?

Lagian mau warna kuning, hijau, merah, atau kelabu yang meletus. Tetap saja, yang meletus cuma balon, bukan peperangan. Jadi, selooo aja lah.

Di lagu “Naik-naik ke Puncak Gunun” juga misalnya, yang lebih frontal lagi dikritiknya. Kata beliau, lagu ini memiliki ajakan terselubung mengenai ajaran Kristen di dalamnya.

Tentu saja, tidak banyak dari kita yang begitu detail memahami pesan tersembunyi dari lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung”. Analisis yang begitu cermat. Bahkan sampai simbol kiri, kanan, tinggi dan pohon cemara saja blio bisa menerjemahkan dengan gamblang.

Sebagai sesama muslim, saya yakin tak ada maksud Ustaz Zainal untuk menuding hal buruk ke agama lain.

Bisa jadi memang liriknya saja yang kurang sreg di telinga. Atau mungkin beliau ingin lirik lagu “Naik-naik ke Puncak Gunung” lebih baik bisa diganti jadi arah mata angin. Kiri jadi Timur, kanan jadi Selatan, atas jadi Utara. Toh, bukan tidak mungkin pula hal yang sebenarnya dikritik adalah selebrasi Lionel Messi yang begitu-begitu aja.

Lagian, pohon cemara yang kata blio kenapa nggak diganti dengan pohon sawit atau pisang itu sebenarnya kritik terselubung yang berbahaya.

Kalau pohon cemara diganti pohon pisang—misalnya, Sang Pisang milik Kaesang Pengarep bisa-bisa malah kena tuduhan pula. Atau jika diganti pohon sawit, bakal ada banyak oligarki di negeri ini yang bakal keseret namanya karena kepemilikan saham kebun sawit di Sumatra dan Kalimantan.

Dalam hal ini, Ustaz Zainal juga menunjukkan cara terbaik dalam mengkritisi lagu anak, dengan cara yang persis seperti anak-anak. Penuh tanya, sangat kritis, penuh tafsiran tak berdasar, dan yang pasti perlu bimbingan orang tua. Dengan menempatkan diri dengan cara berpikir anak-anak akurasi kepolosan tafsir ini jelas ada pada titik poin yang paripurna.

Oleh karena itu, ketimbang kita ngomel-ngomel karena tak setuju dengan tafsir Ustaz Zainal, akan lebih baik kita mensyukuri model pemikiran kayak gini sebagai pencetus agar lagu anak-anak bisa bangkit kembali dan unjuk gigi di tengah membanjirnya lagu-lagu Tiktok yang yang dinyanyikan anak-anak.

Caranya? Dengan cara menjadikannya sebagai topik yang dibicarakan terlebih dahulu, lantas dipikirin masak-masak untuk memicu lahirnya lagu anak Indonesia yang terbaru. Bukan cuma daur ulang dari lagu anak pada masa lalu.

Kalau kamu protes caranya nggak perlu kontroversial, coba saya tanya balik: emang kalau nggak kontroversial kamu mau dengerin dan merhatiin? Kan belum tentu. Lagakmu aja yang sok bijak, ketika dikasih yang beneran bagus nggak mau merhatiin, dikasih sampah malah minta tambah.

Lagipula, kalau kita mau jeli layaknya Ustaz Zainal, ada cukup banyak lagu anak yang memuat lirik-lirik layak kritik kok.

Misal, lagu “Naik Delman Istimewa”, kenapa liriknya harus hari Minggu? Kenapa nggak hari Jumat? Lantas kenapa lagu “Potong Bebek Angsa” liriknya menyebut “dansa empat kali”? Kenapa nggak diganti angka lima yang lebih melambangkan Rukun Islam?

Hayooo kenapa? Hadirin ada yang bisa jawaaab?

BACA JUGA Membaca Krismon dan Reformasi Era Soeharto dari Lagu Anak-Anak ’90-an atau tulisan Muhammad Farid Hermawan lainnya.

Exit mobile version