Synchronize vs Pestapora: Invisible Curator di Antara Indie Kopi Senja dan Dangdut Koplo

Festival-festival musik semakin semarak di segi genre dan konsep yang ditampilkan. Tapi aktor-aktor pentingnya seperti musisi dan kurator masih mencerminkan betapa tersentralisasinya budaya populer Indonesia.

Synchronize vs Pestapora, tentang Invisible Curator di Antara Indie Kopi Senja dan Dangdut Koplo MOJOK.CO

Ilustrasi Synchronize vs Pestapora, tentang Invisible Curator di Antara Indie Kopi Senja dan Dangdut Koplo. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COAda gejala-gejala tertentu yang menentukan “selera” atau sebagai invisible curator festival-festival seperti Synchronize dan Pestapora.

Di Singapura, 2 hari setelah Pestapora tuntas terlaksana, Sir Lucian Grainge bertaklimat bahwa ada 100 ribu lagu terunggah ke berbagai layanan penyiaran musik per hari. Jika rata-rata lagu berdurasi 4 menit, total durasinya adalah 400 ribu menit, setara 6,667 jam.

Mantra Steve Jobs (“Seribu lagu dalam kantongmu!”) kala memperkenalkan iPod makin terdengar arkais atau kuno. Dengan 6,667 jam musik, telinga Anda akan dihajar lagu-lagu berbeda selama hampir satu tahun. Tanpa tidur. Nonstop. 

Tapi Anda tahu bukan begitu cara manusia mendengarkan musik. Setelah melewati kepala 3, Anda akan sadar bahwa selera musik Anda telah berhenti di usia 20-an. Tak ada waktu untuk menyeleksi lagu-lagu baru. Apa itu hard techno? Yang Anda tahu hardcore itu kalau bukan Agnostic Front ya Have Heart.

Di sinilah politik selera bekerja. Jika festival musik adalah panorama, selera merupakan kuasnya. Panorama ini turut dilukis Aneka Ria Safari, MTV Ampuh, AMI Awards, Dahsyat, Indonesian Idol, dan ratusan kuas lain. Mereka menyodori Anda musik seperti apa yang sebaiknya didengarkan.

Kurator, sebagai cultural intermediary di arena musik bisa dilekatkan kepada banyak pihak, mencakup individu serta kelompok. Mereka antara lain produser, program director, impresario, editor media massa, kritikus, label rekaman, manajemen artis, kolektif seni/musik, juga influencer medsos.

Tapi, sebelum menginjak topik tersebut, ada baiknya pemanasan dulu. Saya menemukan 4 gejala lain dari para penampil di Synchronize dan Pestapora 2022.

#1 Indie kopi senja masih digdaya

Di esai sebelumnya saya mengungkap betapa larisnya Soegi Bornean, yang kebetulan tampil Synchronize dan Pestapora. Mereka menambah daftar panjang musisi indie “asam lambung” sejak Payung Teduh mengemuka pada 2009 silam.

Selain 2 nama barusan, jenis musik ini diwakili para veteran seperti Float, Endah N Rhesa, dan Adhitya Sofyan. Kehadiran mereka diikuti nama-nama segar yang melintasi sirkuit kebudayaan: Idgitaf, Feby Putri, Fiersa Besari, Enau, Fourtwnty, Manjakani, Nadin Amizah, Natinson, serta Pusakata.

Indie kopi senja adalah musisi yang formula bermusiknya minimalis (umumnya hanya diiringi gitar), dengan lirik quotable, berkisar di tema-tema seperti kesunyian, rindu, juga kehilangan. Betapa sulitnya kita lolos dari pengaruh Chairil Anwar.

Walau begitu, di Synchronize dan Pestapora ada perwakilan dari kelompok ini yang tidak berkutat pada tema-tema generik di atas: Silampukau, Oscar Lolang, Jason Ranti, dan si priagung bodor Sir Dandy. Tapi itu soal lain.

Anak-anak muda senantiasa butuh medium untuk berkelesah. Mereka bersukaria mencomot petikan lagu dan penggalan lirik “kopi senja hari” untuk dipampangkan di Instagram dan TikTok. Teks bertemu konteks, personal namun cair.

Lima hingga 10 tahun ke depan, tren ini masih akan lestari. Band-band ini masih akan menyemarakkan festival-festival seperti Synchronize dan Pestapora.

#2 Dangdut is the music of my country

Standar keren telah berubah, tak lagi milik anak metal, indie, atau emo. Lagipula, simbol dan makna selain kabur juga semakin berserak. Pendengar black metal asyik saja menikmati irama dangdut di Synchronize dan Pestapora. Sambil merem-melek pula.

Ketimbang menjadi konsumen pasif, di tengah tsunami konten orang-orang mendekap produk kultural yang mengendap di pengalaman subjektif mereka. Katakanlah kenangan waktu terpapar Dangdut Academy saat SD yang kembali tergali. Kasus serupa juga saya temukan di genre pop melayu Kangen Band dkk.

Tak syak, ini kecemerlangan Synchronize, yang berani bereksperimen untuk memberi tempat bagi genre yang kerap dianggap norak. Pada 2016 lalu mereka memberi kesempatan bagi si raja dangdut Rhoma Irama membius ribuan penonton bergoyang di Gambir Expo.

Di Synchronize dan Pestapora tahun ini, nama-nama legendaris seperti Jhonny Iskandar, Inul Daratista, serta Alam bersanding dengan Nassar, Hasoe Angels, Munhajat, Orkes Nunung cs, dan Symphoni Polyphonic.

#3 Orang Indonesia senang joget

Selain dangdut dan pop melayu, penyelenggara Synchronize dan Pestapora punya ramuan mujarab lain untuk membuat hadirin bergoyang. Ramuan tersebut adalah campursari, koplo, dan club music. Ia disajikan secara ortodoks maupun dioplos dengan resep dan langgam terkini.

Di kelompok pertama ada Barakatak, OM New Pallapa, Ndarboy, Denny Caknan, Dipha Barus. Sementara Diskoria, Prontaxan, Feel Koplo, Diskopantera, Pemuda Sinarmas, Herman Barus, dan lain-lain ada di kelompok kedua.

Hafal lirik atau tidak, paham arti atau tidak, jogetin aja. Sintya Marisca bahkan mencuat sebagai ratu goyang koplo berkat aksinya di Synchronize Festival tiga tahun lalu. Ini membuatnya berkali-kali diundang mendiang Didi Kempot, the Lord of the ambyars, berjoget di banyak panggung.

Keasyikan berjoget turut dipicu moncernya format karaoke massal yang dipopulerkan Oomleo 4 tahun belakangan. Kafe-kafe di Senopati dan SCBD pun latah menyajikan acara dengan konsep begini.

Di masyarakat yang menjunjung tinggi kesalehan individu, di era kepatutan politis dan wokeness, anak-anak muda Indonesia mengerumuni ruang publik alternatif untuk rehat sekejap dari norma-norma sesehari yang kian membekap.

Jangan malu bergoyang, gaya kuda lumping sekalian. Jargon itu musti direvisi: Tak cuma patah hati, pandemi hingga resesi memang lebih baik dijogeti saja.

#4 Vitalnya persona internet

Ponsel dan internet membuat semua bisa menjadi pewarta. Siapa pun, termasuk musisi, bisa memamerkan karya tanpa melewati proses seleksi. Apa itu siaran pers (press release)? Buat sensasi atau tunggangi saja suatu isu, niscaya warganet akan menoleh. Selanjutnya harap-harap cemas: dari sekian ribu tolehan, berapa yang menikmati karya Anda.

Di era TV, mereka kita sebut figur publik. Kini istilah tersebut bertransformasi menjadi influencer atau selebritas internet. Pendeknya: mereka yang rajin menata diri, memamerkan “kedirian” di etalase digital, sehingga mempunyai puluhan ribu hingga jutaan pengikut.

Gejala ini terjadi di Synchronize dan Pestapora. Ada nama garib (nama yang aneh, setidaknya di kancah musik) seperti Namoy Budaya yang tampil di Synchronize. Dia bukan musisi, tapi persona internetnya yang unik dan kuat menjadi garansi untuk menyedot penonton. Begitu juga si zero logic Dustin Tiffany, yang didaulat memandu karaoke di lapak Vindes.

Selain itu, ada Abdel dan Temon, yang lebih dikenal publik sebagai pelawak. Atau Vincent dan Desta (tampil bersama Endah N Rhesa di Pestapora), yang walaupun memulai karier sebagai musisi, lebih dikenal sebagai pelawak/presenter. Batas-batas antara selebriti konvensional dengan internet personality semakin kabur.

Golongan lain adalah musisi-musisi yang mengawali karier bukan di dunia musik, atau di segmen musik berbeda dengan yang dijalani saat ini. Sebut saja SIVIA dan Agatha Pricilla (bekas personil girlband BLINK), Arash Buana (bekas artis cilik); Gangga (selebgram); Oslo Ibrahim (nama dan persona baru Rio Riezky); juga vokalis Reality Club, Fathia Izzati (vlogger).

Ini bukan fenomena baru. Tapi internet menjadi doping bagi nama-nama di atas. Sialnya, ada ribuan nama lain yang cuma jadi ampas. Melesat sekilas lalu terempas. Masih ingat Norman Kamaru?

Kini musisi pun perlu membuat konten-konten yang tak bersangkut paut dengan musik. Media sosial memungkinan mereka untuk mendapat pemasukan finansial dari konten nonmusik (semisal dengan cara beriklan atau menjadi brand ambassador produk).

Jangkauan (reach) konten, jumlah engagement, dan mungkin belasan indikator lain menjadi KPI bagi insan kreatif dalam bersaing di jagat yang belum sepenuhnya menjanjikan ini. Pintu kesempatan muncul di Synchronize dan Pestapora pun terbuka.

Invincible curator dan penentuan selera

Dari data yang saya rangkum, ditemukan 20 entitas bisnis yang bisa dikategorikan sebagai kurator. Berikut daftarnya:

Institusi kurator Jenis Asal Musisi
Amity Asia Agency Manajemen artis Jakarta Manjakani, Soegi Bornean, Voice of Baceprot (3 musisi)
Berita Angkasa Label dan manajemen artis Jakarta Anda Perdana, Morad (2)
BNA Youth Bookings Booking agent Aceh Bleach (1)
DIDI Music Label, manajemen artis, publisher Bandung Closehead (1)
Dominion Records & Entertainment Label dan manajemen artis Jakarta Basboi, Faye Risakotta, Reality Club, Teza Sumendra (4)
dr. m Manajemen YouTube Jakarta Enau, Fourtwnty, Last Child, RAN (4)
DRM Talent Label dan manajemen artis Jakarta Budi Doremi, Last Child (2)
E-Motion Entertainment Manajemen artis Jakarta Juicy Luicy (1)
HP Music Manajemen artis Jakarta King Nassar (1)
Juni Records Perusahaan hiburan Jakarta Kunto Aji, Raisa (2)
Microgram.ent Manajemen artis Bandung Heals, Oscar Lolang, Lizzie, Sky Sucahyo, Alvin & I, Feel Koplo, El Karmoya, Fuzzy, I, Bleu House, White Chorus, The Couch Club (11)
Orca Music Label Jakarta Oslo Ibrahim, Romantic Echoes (2)
POS Entertainment Perusahaan hiburan Jakarta Janapati (1)
Pro-M Label Jakarta Giselle, Sammy Simorangkir (2)
R66 Media Manajemen artis Jakarta President Jancukers (1)
Reach & Rich Artist Management Manajemen artis Bandung Re:union, Rocket Rockers (2)
SRM Bands Manajemen artis dan booking agent Jakarta Bangkutaman, Bilal Indrajaya, Leonardo Ringgo, Sajama Cut, Sore, Suncwich (6)
Sun Eater Manajemen artis Jakarta Agatha Priscilla, Aldrian Risjad, Feast, Hindia, Lomba Sihir, Mantra Vutura, Rayhan Noor (7)
TigaDuaSatu Manajemen artis Bandung Dere (1)
Wahana Production Perusahaan hiburan Jakarta Kangen Band (1)

Dari tabel di atas, setidaknya ada 4 kesimpulan yang dapat diambil:

  1. Lokasi 20 entitas bisnis di atas mayoritas berada di Jakarta dan Bandung. Ini menggarisbawahi ketimpangan yang dikemukakan di esai sebelumnya.
  2. Band-band independen/subkultur semakin profesional. Ditilik dari kacamata lain: telah menjadi komoditas menjanjikan bagi pemodal.
  3. Ada diversifikasi layanan bisnis, seperti pembedaan antara manajemen artis dengan booking agent. Bahkan ada entitas yang fokus mengurus kanal dan konten YouTube artis-artisnya.
  4. SRM Bands, Microgram.ent, serta Sun Eater menjadi entitas paling menonjol, dengan armada musisi yang variatif secara genre dan konsep.

Bagi masyarakat awam, nama-nama di atas tak terlalu dipedulikan. Padahal mereka punya peran penting dalam menentukan selera masyarakat, dari panggung besar seperti Synchronize dan Pestapora sampai di skala paling kecil. 

Segmen niche, katanya. Tapi, segalanya dimulai dari langkah kecil. Jika ditanyakan kepada muda-mudi kancah BB’s (Jakarta), Bunker Cafe (Jogja), atau Dago Tea House (Bandung) sekitar 2 dekade silam, mereka takkan menyangka jika musik-musik subkultur bisa dirayakan semeriah ini.

Ruang alternatif, walau kecil, bisa menjadi suaka bagi yang terbuang, the misfits. Di Pestapora, semangat itu merekah di Microgram Alternative Stage. Menurut Radovan Raynes (Vando), Program Activation Officer Microgram.ent, dia dan kolega memboyong 25 musisi lintas genre untuk merayakan keintiman gig skala kecil yang belakangan dilupakan.

Band-band shoegaze (Heals, CAL), hardcore (Bleach, Prejudize), pop punk (Saturday Night Karaoke), hingga Mexicana pop (El Karmoya), berbagi peluh dan kur massal di Pestapora. Beberapa bahkan baru seumur nyamuk, dengan repertoar segelintir lagu saja.

Selain semangat, persamaan lain adalah Microgram.ent datang dari Bandung dan berkuliah di Universitas Padjadjaran. Mereka juga berkolaborasi dengan brand fesyen Kota Kembang seperti Vicious Pain, Hammerstout, Husted Youth, Passenger, serta Downtown Market. Kolektif manajemen ini sempat-sempatnya pula mengedarkan zine di Alternative Stage. Bandung memang beda.

Lain ladang lain belalang. Jika Microgram.ent mengajukan diri kepada penyelenggara, Yes No Klub sebaliknya. Mereka diminta secara khusus oleh Kiki Ucup untuk mengurus KLAB KLUB Stage di Pestapora.

Wok The Rock, pria di balik Yes No Klub, mengatakan bahwa dia diberi otoritas untuk menentukan konsep dan pengisi acara. Kesempatan yang tak dia sia-siakan, dengan cara memberi tempat bagi musisi-musisi luar Jawa.

Panggung ini dimeriahkan penampilan musik eksperimental dari Sarana (Samarinda); Juan Arminandi (Pontianak); Kadapat, Mairakilla, Gabber Modus Operandi (Bali); Misanthropy Club (Padang Panjang); Rani Jambak (Medan); serta Asep Nayak (Jayapura) dan Nikolas Nayak (Wamena).

Menurut seniman yang juga salah satu pendiri MES 56 itu, komposisi penampil di KLAB KLUB Stage adalah sebuah pernyataan subtil: bahwa kancah musik lokal tidak seharusnya Jawa-sentris.

“Selama ini aku tinggal di Jawa dan apa yang kita bilang “skena” itu ‘kan afiliasinya selalu Jawa: Jakarta, Bandung, Jogja, Malang, Surabaya. Dan artisnya dari situ-situ saja. Mau bikin Rock in Celebes [festival musik di Sulawesi] kek, artisnya dari Jawa lagi, itu itu lagi. Ini yang harus diubah. Indonesia itu tidak hanya Jawa,” kata Wok melalui panggilan telepon.

Dia juga menyoroti kenyataan bahwa festival-festival seperti Pestapora, Synchronize, juga Joyland berakar dari subkultur musik independen. Sebuah entitas yang para pelakunya dikesankan memiliki pandangan kritis, unik, dan berpikiran terbuka.

Outro

Sir Lucian Grainge bukan sembarang orang. Majalah Billboard sudah 4 kali menobatkannya sebagai manusia paling berpengaruh di jagat musik dunia. Itu cuma satu dari sekian penghargaan yang diberikan kepadanya.

Grainge menyampaikan statistik tersebut di konferensi Music Matters 2022. Namanya taklimat, dia mengandung peringatan: kini semakin sukar bagi karya musik untuk ditemukan pendengar. Bagaimana lagu Anda bersaing dengan 99,999 lagu lain? Tak ada alasan bagi label musik untuk tidak mempromosikan artis-artisnya secara serius.

Tapi itu pandangan beliau, CEO Universal Music Group, label terbesar dunia dengan riwayat merentang sejak 1934. Pemasukan mereka tahun lalu mencapai 8,5 miliar euro, setara 12,6 milyar rupiah.

Kata musikolog Tjut Nyak Deviana Daudsjah, musik populer Indonesia pasca1980an itu seperti spaghetti aglio olio yang dilumuri sambal. Membicarakan autentisitas adalah sia-sia. Semoga ini bukan kutukan poskolonial dan tulisan ini tak dimaknai sebagai ratapan.

Festival-festival musik semakin semarak di segi genre dan konsep yang ditampilkan. Tapi aktor-aktor pentingnya seperti musisi dan kurator masih mencerminkan betapa tersentralisasinya budaya populer Indonesia. Meminjam bahasa Wok the Rock: masih melestarikan hegemoni Jawa. Lokalitas budaya populer di Indonesia ternyata belum ke mana-mana. Jalan kita masih panjang.

BACA JUGA Synchronize Festival vs Pestapora: Kuasa di Balik Angka dan Algoritma dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Fajar Martha

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version