Indonesia ini, nggak tahu kenapa, jarang asyik kalau ngebahas soal agama. Mulai dari drama penistaan hingga kriminalisasi ulama, sampai yang lagi tren: soal jenazah pendukung Ahok yang katanya haram buat dimandikan dan disalatkan. Tolonglah, sebagai anak modin, saya kan jadi kepikiran membuka jasa modin online antarkota-antarprovinsi.
FYI aja nich, Bapak saya itu diundang mimpin doa syukuran tetangga yang Kristen aja berangkat kok. Soal itu, Bapak selalu ingat kasus ketika Gus Dur dicap kafir sesat gara-gara ngasih khotbah di gereja. Ketika itu, dengan entengnya Gus Dur jawab,
“Lha saya ini di gereja ngasih khotbah di mimbar depan lho, bukan saya yang dikhotbahin. Mosok nggak boleh … katanya dakwah ….”
Oalah, dasar Gusdur.
Jadi sekali lagi, kalau ada jenazah yang tertolak, ingat ya, Modin Samuri siap bertindak. Tentu saja, jangan lupa biaya akomodasinya ….
Nah, seperti biasa, saya mau bahas yang asyik-asyik aja soal agama. Di kehidupan ini, apa sih yang lebih asyik selain perkara duniawi? Jadi, begini ceritanya. Akhir pekan lalu, lebih dari 3.000 orang, sebagian besar anak muda, memadati Galeri Saatchi London untuk sebuah pameran fashion yang lain dari biasanya. Sebagian mereka berpakaian tunik gemerlapan dan turban sutera, sebagian mengenakan kimono berwarna nude yang menjuntai hingga ke lantai. Fashion show hari itu juga menampilkan model dalam burkini dan hijab. Bahkan desainer pakaian burqa gelap pekat juga semakin mendunia dengan tampil dalam reality show Dragon’s Den. Platform fesyen online, Haute Elan, untuk kali pertama menampilkan format ini dalam London Modest Fashion Week (LMFW).
Lebih dari 40 desainer berdatangan dari Inggris hingga Arab Saudi, menuangkan budaya dan identitas religius ke dalam lembaran kain. Desain tidak terbatas untuk abaya (tunik panjang yang secara tradisional dikenakan oleh perempuan muslim di Timur Tengah). Maslea menampilkan seri palazzo berbeludru lebat, Syomirizwa menciptakan potongan jumpsuit yang swing-swing mengembang bagian bawah dengan sentuhan warna pastel, Foulard membawakan gaun satin berlian berwarna hijau dengan aksen puffed pada lengan, Lyra memamerkan burkini trendi, dan gaun malam manik-manik besutan Sahee London, seperti yang banyak diceritakan pada halaman-halaman novel Fitzgerald, pun turut serta. (BTW, ini tulisan bahas agama atau review fesyen, sih?)
Di tengah isu pelarangan burkini di Prancis dan hiruk-pikuk perdebatan tentang pakaian apa yang layak dikenakan perempuan muslim seluruh dunia, peristiwa ini ternyata membawa hikmah lain. Romanna binti Abu Bakar, CEO Haute Elan itu, bilang begini, “Seperempat populasi dunia akan menjadi muslim pada tahun 2030. Pada tahun itu, 60% dari populasi akan berusia di bawah 30 tahun, sehingga amat penting bagi para pelaku bisnis untuk mencatat keberadaan mereka.”
Tuh, lihat sendiri, kan. Dunia barat yang kalian kafir-kafirken itu ternyata begitu peduli lho sama muslim. Saya jadi curiga, jangan-jangan bisnis perumahan islami, day care islami, atau toilet umum islami kelak miliknya kaum kafir yang itu-itu juga.
Selama bertahun-tahun perempuan muslim di Inggris terpaksa hanya mengenakan model yang itu-itu aja untuk bergaya: T-shirt berlengan panjang dan kardigan untuk menutup baju potongan dada rendah dan tanpa lengan. Namun, roda berputar dengan cepat. Segala hal berubah setelah negara api menyerang. Pada 2015, Mariah Idrissi dari Inggris menjadi model H&M dengan mengenakan setelan ala gadis Palestina dengan kacamata Jackie O bertengger di wajah cantiknya. Bulan ini, sebuah fashion week di New York menampilkan debut Halima Aden, penampil model hijab pertama pada IMG, selama berlangsungnya show Kanye West season 5.
Pada 2014, DKNY melaunching koleksi bulan Ramadan yang berlanjut pula pada 2016. Uniqlo bekerja sama dengan desainer kelahiran Inggris, Hana Tajima, pada 2015 menciptakan sebuah line fesyen modest dan hijab. Dan baru pekan kemarin, Debenhams mengumumkan ia baru saja berpartner dengan retailer fesyen muslim, Aab, untuk menjual hijab. Dengan perkiraan pemasukan global dari bisnis fesyen muslim sebesar $484 miliar pada 2019, merek-merek kenamaan itu kayaknya udah bener dengan nggak mau ketinggalan meramaikan pasar kelas menengah muslim.
Jadi, sebetulnya kenapa sih industri fashion muslim dunia bisa segempar ini? Kita kan kadang juga masih suka heran ya: cyin, Instagram kok isinya lama-lama selebgram hijab-hijaban semua. (Kalau soal AwKarin yang suka naik kuda pakai beha … ya itu … mmm ….)
Begitu banyak anak muda yang menggunakan media sosial yang menyebabkan dorongan bagi revolusi di dunia fesyen. Hal ini tampak layaknya semacam “Musim Semi Arab” yang salah satu perubahan ada pada tren dunia fesyen. Industri fesyen dunia juga sangat dipengaruhi oleh kemunculan bloger seperti Dina Toki-O dan Ascia Akf—yang mendapatkan jutaan pengikut karena mengepos tutorial hijab dan turban, dan menulis ulasan tentang pakaian berlapis (yang bergaya ribet kalau dipraktikin) untuk memberi kesan sopan tapi chic alias gawl supaya penampilan kita jadi ala-ala The Kardashians.
Kepada generasi milenial sendiri—yang disebut Shelina Janmohamed, pengarang buku Love in a Headscarf, sebagai sekelompok anak muda yang melek teknologi—dibawakanlah tren fesyen mipster alias muslim hipster oleh para pengusaha muslim (yang juga) milenial. Dalam hal identitas religius dan budaya, anak-anak muda ini tidak menganggap konsumtivisme maupun fesyen sebagai antitesis dari kepercayaan religius mereka.
Apa yang terjadi pada industri fesyen di Inggris ini sebetulnya sudah sejak lama terjadi di banyak tempat di duni; sudah sejak lama jadi tren di Indonesia atau Malaysia. Di dunia Arab, Muna Abu Sulayman, yang bikin show ala-ala Oprah Winfrey, menjadi perempuan Arab Saudi pertama yang menjadi presenter TV internasional.
Tapi, melihat dunia Barat makin permisif sama hijab, meskipun alasannya bisnis, ya bolehlah kita apresiasi …. Sekaligus, kabar ini menjadi pengingat agar pebisnis hijab syar’i sekaligus selebgram syar’i Indonesia agar makin waspada plus meingkatkan kreativitasnya; siap-siap kalau era beludru dan manik-manik syar’i ternyata akan sampai gaungnya juga di negeri kita.
Ingat, syar’i bersatu tak bisa dikalahkan.