Sutan Bhatoegana dan Penghinaannya Terhadap Gus Dur

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Masyarakat Indonesia masih percaya bahwa tidak boleh menghina seseorang yang sudah meninggal dunia. Lebih-lebih sosok itu almarhum Gus Dur.

Alkisah, pada 2012, politikus Indonesia, Sutan Bhatoegana (1957-2016) menghadapi kecabuhan. Sutan adalah anggota Partai Demokrat (PD), partai penguasa dalam pemerintahan Indonesia periode 2004-2014.

Dia dan anggota-anggota PD selama berbulan-bulan tertungkus-lumus dalam konflik yang melibatkan tuduhan korupsi yang tak kepalang.

Berupaya membersihkan diri dan partainya dari tudingan yang menggetah, Sutan menghumbalang penghinaan kepada salah seorang tokoh paling terkemuka dan berpengaruh yang sudah meninggal dunia di Indonesia, dan menuduhnya korupsi.

Tokoh itu tak lain adalah KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009).

Lebih akrab disapa sebagai Gus Dur oleh berjuta-juta pendukung yang dominan orang Jawa, dia juga adalah presiden pertama Indonesia yang dipilih secara demokratis, menjadi presiden pasca tiga puluh dua tahun kekuasaan otoriter di bawah Presiden Soeharto berakhir pada 1998 (Barton, 2002). Gus Dur wafat pada Desember 2009. Walhasil, menghina tokoh ini tiga tahun pasca kematiannya berakibat geger.

Antropolog Universitas Aarhus, Denmark, Prof. Nils Bubandt dalam bukunya, Democracy, Corruption and the Politics of Spirits in Contemporary Indonesia (2014), dengan cerkas menganggit bahwa penghinaan Sutan Batoegana dilontarkan selama masa persidangan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia.

Selama berbulan-bulan, para lawan politiknya terus-menerus melancarkan kritik kepada Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia periode 2004-2014.

Pada November 2012, PD dan “SBY”, begitulah presiden petahana ini populer disebut, dituding melindungi korupsi dalam industri minyak dan gas. Kritik itu dilancarkan oleh Adhie Massardi, bekas juru bicara Gus Dur dan koordinator sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi.

Dalam serangan balasan yang jelas ditujukan kepada Adhie Massardi, Sutan melontarkan kata-kata, “Mengapa? Gus Dur sendiri terlempar dari kursi presiden karena keterlibatannya dalam Buloggate dan Bruneigate.”

Hal ini tak pelak jadi penghinaan serius terhadap almarhum Gus Dur. Tahun 2000, lawan-lawan politik Gus Dur berkali-kali melancarkan tuduhan bahwa dia, dan para pembantu terdekatnya, diam-diam menerima uang dari Badan Urusan Logistik Negara (Bulog) dan dari Sultan Brunei; suatu peristiwa yang dipopulerkan dengan sebutan “Buloggate” dan “Bruneigate”.

Akan tetapi, tidak ada kesalahan yang kelak terbukti. Pendukung Gus Dur diyakinkan bahwa tuduhan itu semata-mata fitnah sebagai upaya memecat dan menurunkan sang presiden dari posisinya; suatu upaya yang terbukti berbuah pada Juli 2001, ketika digantikan oleh wakil Megawati Soekarno Puteri.

Mengungkit kembali tuduhan itu setelah Gus Dur wafat adalah penghinaan berat. Aan Anshori, aktivis Gusdurian wilayah Jawa Timur, adalah seorang yang gigih membela Gus Dur.

Aan menyatakan, “Sutan Bhatoegana harus sowan ke makam Gus Dur dan mengucapkan istighfar 99,999 kali. Gus Dur tetaplah Gus Dur,” lanjut Aan, “Namun, demi kebaikan Sutan, sebaiknya dia minta maaf secara terbuka kepada keluarga Gus Dur.”

Menuding presiden yang sudah meninggal adalah persoalan yang genting. Tuduhan demikian tampaknya dapat mengakibatkan krisis parlemen dan kemarahan di kalangan masyarakat.

Pengikut Gus Dur berdemonstrasi di jalan-jalan beberapa kota di Jawa selama beberapa hari setelah terjadinya penghinaan itu. Mereka merobek foto Sutan dan menuntut agar yang bersangkutan meminta maaf.

Namun, tuntutan Aan agar Sutan Batoegana minta maaf “demi kebaikan Sutan” juga menuai bahaya liyan, yaitu hukuman spiritual. Sebagaimana diketahui dengan baik masyarakat Indonesia masih banyak yang percaya bahwa orang yang meninggal dunia masih memiliki kekuasaan (kekuatan) (Chambert-Loir dan Reid, 2002).

Hal ini juga membuat orang yakin bahwa arwah nenek moyang dapat memberikan barakat atau dapat pula menariknya, dan menentang kehendak arwah dapat mengakibatkan kemalangan atau bencana.

Nah, pada posisi ini, Gus Dur dianggap memiliki kekuatan itu, terutama makamnya di Jombang, Jawa Timur, adalah tempat ziarah yang penting. Sangat sakral.

Dikunjungi oleh sekitar sejuta peziarah setiap tahun, makam ini terletak berdampingan dengan makam KH. Hasyim Asyari, kakek Gus Dur dan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi muslim terbesar di Indonesia. Kompleks makam terletak di bagian dalam Pondok Pesantren Tebu Ireng.

Seperti halnya makam para tokoh kharismatik berkuasa, dan panutan lainnya, makam Gus Dur dianggap sebagai tempat yang sakti, yang dianggap suci, atau keramat.

Orang-orang yang kebanyakan berlatar belakang Islam tradisionalis, mengunjungi tempat-tempat semacam ini untuk mendapatkan kesalehan agama dan keberkahan hidup agar tetap sehat-walafiat, sukses dalam pekerjaan, dan menambah keberuntungan pada umumnya (rezeki). Mendapat keberkahan (barakat) di tempat yang keramat dapat menjadi peristiwa yang mengubah kehidupan.

Istilah keramat berasal dari bahasa Arab, yang secara harafiah berarti “keajaiban”, dan banyak pengikut Gus Dur memandangnya sebagai tokoh nan ajaib. Bagi mereka, Gus Dur adalah wali kesepuluh, seorang wali yang ditakdirkan untuk melengkapi karya penuh keajaiban sembilan wali (walisongo) yang sakti dan sangat berpengaruh, yang membawa Islam ke Indonesia setelah abad kelima belas (Turmudzi 2011).

Bahkan ketika dalam kematian—dari alam kubur, suatu fase waktu setelah meninggal antara dunia dan akhirat yang masyhur sebagai alam barzakh dalam bahasa Arab–Gus Dur terus bersabda dalam kehidupan dan politik para pengikutnya yang direpresentasikan oleh Aan Anshori.

“Gusdurian”, demikian julukan yang digunakan para pengikutnya, permainan kata yang menyeratakan kesukaan yang begitu antusiasnya rakyat Indonesia pada buah durian dengan bekas presiden.

Namun, tatkala peristiwa politik berkesimuh lantaran penghinaan Sutan terhadap Gus Dur, kekuasaan Gus Dur terisak dan memberikan efek politik yang kuat terhadap orang-orang, seperti Sutan, yang tidak harus percaya pada dunia supranatural semacam ini.

Tuntutan Aan agar Bhatoegana melakukan ziarah spiritual ke makam Gus Dur untuk memperoleh maaf dari “Gus Dur” yang sudah tiada itu adalah tindakan yang kompleks. Perihal ini adalah tinju politik muslim tradisionalis terhadap sosok modernis seperti Sutan, yang mungkin menganggap ziarah ke makam leluhur tidak hanya takhayul yang ketinggalan zaman, tetapi juga penyimpangan dari Islam yang tidak dapat diterima.

Selain itu, tuntutan ini juga merupakan peringatan: Orang-orang yang tak percaya kekuatan orang yang sudah meninggal dunia sekalipun tidak boleh menyerang orang yang percaya, “demi kebaikan Sutan sendiri”.

Kalakian, kurang dari seminggu kemudian Sutan Bhatoegana meminta maaf atas kesalahannya. Bentuk pemaafan itu tidak persis ziarah ke makam cucu KH. Hasyim Asy’ari ini sebagaimana yang dituntut Anshori, tetapi cukup mendekatinya.

Sutan melakukan kunjungan yang disiarkan terbuka bagi publik, diliput oleh media, ke rumah janda Gus Dur, Sinta Nuriyah.

Di hadapan wartawan dan media televisi yang sedang sibuk mencatat dan meliput peristiwa itu untuk disiarkan di halaman depan koran-koran esok harinya. Sutan menjura di hadapan Sinta Nuriyah, mencium tangannya sebagai tanda penghormatan dan kepatuhan.

Meskipun Sutan heboh dengan protes-protesnya terhadap lawan-lawan politik di DPR, juga aktivis Adhie Massardi, dia juga minta maaf dengan cara yang sama kepada SBY.

Akan tetapi, kesediaan memberi maaf sebagai balasannya tidak pernah terwujud. Yang penting di sini adalah, tuduhan korupsi terhadap almarhum presiden harus ditimpali dengan permohonan maaf; tetapi, tuduhan yang sama terhadap presiden petahana tidak perlu!

Dengan permohonan maaf Sutan, para pengikut Gus Dur pun camar, dan gesekan partai politik yang berseberangan dengan partai pemerintah, PD dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)—partai yang pada awalnya didirikan oleh Gus Dur, dan mitra koalisi yang penting di pemerintahan—dapat dihindari.

Secara politik, hal ini signifikan. PD tentu akan selit belit jika terjadi gesekan pada saat itu karena partai ini dihantui oleh skandal demi skandal korupsi.

Penghinaan Sutan terhadap almarhum presiden dan politik setelah dia wafat dalam episode ini adalah sebagian petunjuk, bahwa politik dan para arwah berulang-ulang saling mendukung satu sama lain.

Penghinaan itu menunjukkan kekuasaan dan masalah-masalah yang berkelindan dengan tuduhan balik korupsi terhadap presiden petahana ke arah presiden yang sudah meninggal dunia. Kita hampir tidak mungkin mengetahui motif ukhrawi di balik penghinaan Sutan Bhatoegana terhadap almarhum Gus Dur.

Arkian, karier politik Sutan Bhatoegana kandas karena terlibat kasus korupsi SKK Migas pada 2015. Sutan divonis 10 tahun pidana penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 19 Agustus 2015.

Sutan terbukti bersalah menerima suap dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013. Sutan menerima duit suap dari bekas Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) senilai US$140 ribu untuk didistribusikan ke sejumlah anggota, pimpinan dan sekretariat Komisi Energi DPR. Alasannya, untuk memuluskan pembahasan APBNP 2013.

Sutan Bhatoegana, bekas Ketua Komisi Energi DPR RI periode 2009-2014 itu, meninggal dunia di Rumah Sakit Bogor Medical Centre (BMC) pada Sabtu, 19 November 2016. Kisah ini laksana “buruk rupa, cermin dibelah”.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version