MOJOK.CO – Mbah Amien Rais tercinta, hampir copot jantung saya membaca berita berisi pernyataan Anda soal tentara Cina siap duduki Indonesia yang baru-baru ini viral di sosial media.
Dalam berita yang saya baca dari portal Merdeka itu, Anda mengoceh bahwa—melalui inisiatif pembangunan konektivitas infrastruktur global bernama Jalur Sutra Abad Ke-21 alias One Belt One Road (OBOR) besutan Presiden Xi Jinping—Cina tengah, “melirik negara (mana) yang kira-kira bisa diduduki.” Sebagai salah satu amsalnya, Anda mencontohkan Indonesia di bawah kepemimpinan Pak Jokowi.
Alkisah, setelah Anda menerawang laporan maharahasia intel-intel Mbah Google, dulu tim sukses Pak Jokowi pernah bertamu ke markas Partai Komunis Cina (PKC) di Beijing dan disuruh mendengarkan penjelasan panjang kali lebar mengenai OBOR oleh petinggi PKC.
Hasilnya jelas: tentara-tentara Cina bisa berduyun-duyun ke Indonesia dengan seenak udelnya lantaran Pak Jokowi bersedia menggunakan beragam skema pendanaan yang ditawarkan OBOR buat jorjoran membangun infrastruktur darat, laut, dan udara negara kita.
Untuk mendukung tudingan tersebut, Anda menyuguhkan bukti yang Anda klaim valid bin sahih. Konon, kapan hari ada seorang jenderal TNI membisiki Anda agar peserta aksi bela Islam tidak tepancing provokasi karena ada tentara Cina yang siap mengeksekusi.
Anda berfatwa, “Kalau sampai merusak toko dan lain-lain, yang amankan bukan TNI, tapi tentara Cina yang ada di Indonesia. (Mereka dilengkapi)… puluhan ribu pucuk senjata (yang disembunyikan) di kota-kota besar. Ini bukan hoaks. Ini bisa dikutip. Jadi saya kalau ngomong ada dasarnya, bukan genderuwo, bukan sontoloyo.”
Wah, betapa riskannya negara kita kalau memang benar demikian, Mbah!
Tapi, saya kira akan lebih berbahaya lagi bila bualan menakut-nakuti macam itu dipercaya begitu saja oleh orang-orang yang rakus memamah gorengan bahwa yang namanya Cina—baik negaranya maupun bangsanya—pasti memerangi agama, Islam khususnya. Lalu, dengan adanya fakta tak terbantahkan bahwa pemerintahan Pak Jokowi erat bekerja sama dengan Cina, dipelintirlah pakai ilmu cocokologi terkini bahwa rezim ini telah berkonspirasi dengan pemerintah komunis laknatullah untuk menggencet Islam hingga kehidupan umat terancam.
Terus terang saya khawatir sekali, Mbah. Oleh karena itu, melalui surat terbuka ini, izinkan saya merunut secara sekilas kaitan Islam, Cina, Nusantara, dan Jalur Sutra.
Begini, Mbah.
Jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7, Cina telah lama menjadi kekuatan utama dunia. Barangkali itulah mengapa Rasulullah berpesan agar kita mencari ilmu walau jauhnya sampai ke Haiti, eh ke Cina maksud saya.
Ketika Islam getol melakulan ekspansi ke mana-mana di bawah panji hitam Kekhalifahan Abbasiyah, Cina sedang berada di bawah kepenguasaan Dinasti Tang. Dua entitas politik ini, pada tahun 751, sempat baku hantam di Sungai Talas untuk memperebutkan pengaruh di Asia Tengah.
Cina berhasil dikalahkan. Banyak serdadu Cina yang kemudian ditawan kekhalifahan. Di antara tawanan-tawanan perang asal Cina itu, Mbah, tak sedikit yang ahli teknik pembuatan kertas. Dimanfaatkanlah mereka untuk membangun pabrik kertas di Samarkand. Kertas-kertas hasil alih teknologi dari orang-orang Cina yang kafir itu lantas dibawa ke pusat kekhalifahan untuk dipakai menuliskan buku-buku ilmu pengetahuan dan keagamaan yang, tentu, di dalamnya termasuk Alquran.
Kisah historis ini bukan igauan saya, Mbah. Juga bukan Cina yang mengaku-ngaku, sebagaimana biasa ditunjukkan kaum tertentu yang ketika ada penemuan terbaru, membangga-banggakan diri bahwa hal itu sudah tertulis sejak zaman baheula dalam kitab suci mereka. Namun memang ditegaskan sendiri oleh penulis muslim bernama Abī Manṣūr ‘abd al-Malik bin Muhammad bin Isma‘īl dalam karya klasiknya Kitāb Laṭā’if al-Ma‘ārif. Ketimbang nyinyir terus, bila senggang ada baiknya Mbah Amien Rais membacanya, terutama paragraf-paragraf akhir bab 10.
Selepas Perang Talas, terjadi pemberontakan besar-besaran di daratan Cina bagian barat laut. Namanya Pemberontakan An Shi. Kendati pernah bertarung, relasi Cina dengan Kekhalifahan Abbasiyah tidaklah terganggu. Hubungan ekonomi keduanya tetap berjalan lancar laiknya sedia kala. Kekhalifahan bahkan tercatat mengirimkan laskarnya ke Cina untuk membantu Dinasti Tang menumpas pemberontakan yang berlangsung dari tahun 755 sampai 763 dimaksud.
Hanya saja, lantaran Pemberontakan An Shi, Jalur Sutra darat (belt) yang biasa dipakai muslim berniaga ke Cina lewat Asia Tengah itu akhirnya terpaksa diblokade Dinasti Tang karena alasan keamanan. Alhasil, Jalur Sutra maritim (road) dijadikan alternatifnya.
Tapi, jodoh pasti bertemu, ya, Mbah? Betapa tidak, Khalifah Al-Manṣūr kebetulan juga memindahkan pusat pemerintahannya ke Baghdad yang notabene daerah pesisir. Makin intenslah relasi perdagangan Cina dengan kekhalifahan Islam hingga beberapa dinasti berikutnya.
Nah, dengan menggunakan Jalur Sutra maritim, saudagar-saudagar muslim dari wilayah kekhalifahan tidak boleh tidak harus melintasi laut-laut Nusantara untuk sampai ke Cina. Pun demikian sebaliknya. Jika bertepatan dengan angin musim, mereka akan berlabuh dahulu di kepulauan-kepulauan kita sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan masing-masing.
Makanya Mbah Amien Rais jangan heran kalau ketika armada Cheng Ho tiba di Kemaharajaan Majapahit pada tahun 1406 silam, awak kapalnya mendapati banyak muslim dari pesisir Cina dan wilayah-wilayah kekhalifahan berjualan di Jawa, wabil khusus di daerah-daerah pinggir pantai semacam Tuban, Gresik, dan Surabaya.
Sedangkan orang-orang lokal Jawa, mayoritas masih menganut animisme, Mbah. Alias masih menjadi pemuja pohon, batu, dan sekawannya. Mungkin boleh dikata, Tuhan kebanyakan masyarakat kita kala itu masih bukan Allāh subḥānahu wa ta‘ālā, melainkan “subbana watu ulo”—bila boleh meminjam istilah Om Prabowo.
Informasi-informasi itu bukan karangan bebas saya lo, Mbah. Itu saya nukil dari catatan perjalanan masyhur yang menjadi rujukan otoritatif sejarawan mancanegara berjudul Yingya Shenglan susunan Ma Huan, muslim berkebangsaan Cina yang menjadi juru bahasa Cheng Ho.
Lantas, siapa yang mengislamkan penduduk Jawa, Mbah?
Mengingat banyaknya orang Cina yang menganut Islam sebagaimana dijabarkan Ma Huan, sama dengan muslim-muslim yang berasal dari kekhalifahan, saya kira tidak mustahil kalau mereka juga turut andil dalam penyebaran Islam di Jawa.
Metodenya bisa lewat dakwah langsung atau secara tak langsung melalui kawin-mawin dengan orang lokal, misalnya. Tentu, bisa juga dengan cara bertindak seperti syahbandar Cina kaya raya bernama Nyai Gede Pinatih yang menjadi ibu asuh Raden Paku—yang kelak menjadi Sunan Giri—dan penyokong keuangan Giri Kedaton.
Jalur Sutra darat dan maritim yang pada masanya berfungsi sebagai trayek perekonomian dan pertukaran budaya itulah, Mbah, yang coba dihidupkan kembali oleh Cina dengan nama anyar OBOR.
Nah, seandainya Mbah membaca dokumen Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road yang dikeluarkan pemerintah Cina pada Maret 2015, niscaya Mbah tidak akan asal bicara bahwa OBOR ditujukan untuk “melirik negara (mana) yang kira-kira bisa diduduki” Cina. Sebab, selain perekonomian dan kebudayaan, dominasi militer memang tidak termasuk dalam motivasi pembentukan OBOR.
Istirahatlah, Mbah, jangan bikin gaduh melulu.
“Tiga tahun lalu, Ketua DPR Cina Li Peng menemui saya. Saya bertanya padanya apa resep rahasia Cina sehingga perkembangan negaranya bisa menjadi salah satu keajabaikan dunia. Dia menjawab tidak ada resep rahasianya. Resep terpentingnya adalah bersatu dan berhenti berdebat kusir, agar bisa bekerja dengan lebih baik. Jawaban ini sangat menginspirasi saya. Saya rasa, Indonesia mesti belajar kepada Cina… kesampingkan perbedaan, lalu bersatulah untuk bersama-sama membangun negara.”
Sengaja saya kutipkan potongan orasi ilmiah Mbah ketika pada akhir Mei 2006 diundang ke Jinan University di atas untuk diangkat sebagai profesor tamu kampus aseng yang terletak di Kanton itu sebagai penutup surat terbuka ini. Mbah Amien Rais belum lupa, kan?
Maaf sekadar mengingatkan.