Surat Tanda Sayang untuk Pak Hary Tanoe tentang Himne Perindo

Surat Tanda Sayang untuk Pak Hary Tanoe tentang Himne Perindo

Surat Tanda Sayang untuk Pak Hary Tanoe tentang Himne Perindo

Salam sejahtera.

Halo, bapak Hary Tanoesoedibjo, apa kabar? Sebelumnya maafkan saya jika menulis surat ini untuk Anda, ya.

Saya akan memulai surat ini dengan sebuah pengakuan penting: sampai detik ini, saya masih juga belum hafal bagaimana lirik sekaligus nada himne partai Perindo yang bapak dirikan.

Sungguh bukan niat saya untuk melakukan hal tersebut. Saya sudah mencobanya berkali-kali, tetapi takdir selalu berkata lain: saya ternyata lebih handal memanfaatkan remote televisi dengan baik sesuai fungsinya ketimbang menghafal himne parpol.

Persoalannya memang tidak mudah. Himne partai bapak nyaris selalu muncul di setiap tayangan iklan di seluruh saluran televisi yang Anda miliki. Lha, bagi kami penikmat layar kaca ini, keberadaan iklan sungguh bikin malas, Pak. Apalagi iklan buruk yang terus diulang-ulang. Aduh, rasanya lebih baik nonton radio saja.

Lagi pula, bukankah rasa malas saat iklan muncul itu pula yang membuat Eugene Polley kemudian menciptakan remote televisi? Anggaplah apa yang saya lakukan hanya usaha untuk meneruskan wejangan blio. Ya itu tadi: memanfaatkan remote televisi dengan baik dan benar.  Saya enggak salah kan, Pak?

Eh, walau merasa terganggu, saya tetap mengerti kok apa artinya iklan-iklan tersebut bagi seorang pebisnis media seperti bapak: ladang uang yang super basah. Ada putaran rupiah yang amat besar di setiap menit barisan iklan yang muncul tersebut. Saya tak mempermasalahkan hal tersebut.

Akan tetapi, ya mau bagaimana lagi, bagi saya–dan mungkin juga penonton lain–tayangan iklan justru merupakan sesuatu yang mengganggu. Oleh karena itu, jadinya kami lebih sering melewatkan lagu himne partai bapak yang kata orang jumlah munculnya sesering iklan ekstra kulit manggis itu deh. Sedih juga sih. Dikit.

Bapak tapi jangan senewen dulu. Coba bayangkan apa yang terjadi pada kami, misalnya, ketika lagi seru-serunya nonton Boy yang lagi ngedate bareng Reva dan hampir bertemu dengan Adriana, eh mendadak dipotong begitu saja oleh iklan? Ya tentu iklan himne partai bapak juga.

Rasa jengkelnya kurang lebih sama seperti ketika makan lengkuas yang dikira rendang. Pahit-pahit ngeselin gitu deh, Pak. Bahkan, jujur saja, beberapa teman di kontak Blackberry saya bahkan ada yang sampai misuh-misuh, lho, gara-gara hal tersebut.

Soal pengumpulan tanda tangan petisi penghentian sinetron ‘Anak Jalanan’, apakah bapak sudah tahu? Saya tak dapat membayangkan apa yang terjadi jika sekelompok fans garis keras ‘Anak Jalanan’ yang tak suka sinetron kesayangannya dipotong-potong iklan–dan himne partai bapak–itu membuat petisi karena itu semua. Wuih, itu bakal mengerikan, Pak.

Kata sebuah pepatah yang pernah saya dengar: jangan sekali pun meremehkan kekuatan segerombolan fans sebuah sinetron. Bapak, saya kira, juga sudah tahu tentang ini.

Saya bahkan membayangkan yang lebih parah, Pak. Bagaimana jika himne partai bapak ternyata menjadi benar-benar terkenal dan dihafal semua orang, baik yang tua sampai yang balita?

Menurut saya, sih, lagu himne partai bapak itu malah bakal turun kelas. Lho kok bisa? Ya bisa dong. Semuanya mungkin di dunia ini, Pak, kecuali mencarikan kawat gigi yang cocok untuk Agus Mulyadi.

Nah, setelah lagu sakral itu terkenal, para pengamen pasti akan sering membawakannya dari bus ke bus, kaki lima ke kaki lima. Tambah populerlah lagu itu. Tahapan selanjutnya adalah: lagu tersebut akan segera diubah ke dalam irama koplo. Lagu-lagu koplo ‘kan biasanya kerap mendaur ulang lagu-lagu populer. Tak peduli lagu dari belahan dunia manapun, asal populer, tiap musisi koplo pasti punya rumus ajaib untuk mengkoplokannya.

Bayangan absurd saya pun berlanjut: masa iya lagu himne dengan irama koplo tersebut akan mengisi acara kampanye partai bapak nanti? Atau malah lebih brutal lagi: himne tersebut diputar dalam acara kawinan dan sunatan.

Dunia macam apa yang menyetel himne sebuah parpol dalam acara sunatan, Pak? Ini imbasnya ke peradaban manusia dan keseimbangan alam lho, Pak. Tidak main-main.

Hal lain adalah soal iklan Perindo. Saya kok merasa terlalu prematur ya jika dikampanyekan dengan membabi buta sejak sekarang? Terlalu dipaksakan sekali gitu, lho. Seolah-seolah Pemilihan Presiden tinggal sebulan lagi. Jika ini bagian dari propaganda politik, aduh, selain kuno, cara ini sama sekali tidak mengesankan, Pak. Ciyus, deh.

Kalau saya boleh memberi saran, lebih baik bapak tetap fokus saja dalam bisnis media. Politik itu menjemukan, Pak. Teman menjadi lawan, orang saling tusuk dari belakang, ayat-ayat diperjual belikan, fitnah terus diproduksi. Anda sendiri toh sudah punya pengalaman tak menyenangkan ketika mengikrarkan diri sebagai calon wakil presiden dari Bapak Wiranto tempo lalu. Mending gawe acara bermutu ae, Pak.

Membangun negeri ‘kan tak perlu harus duduk di parlemen atau menjadi presiden, Pak. Mojok ini, misalnya, jika bapak perhatikan, di balik artikel-artikelnya yang cuma kebanyakan nyinyir dan sarkas, sesungguhnya mereka memiliki misi suci untuk mencerdaskan anak bangsa, lho. Jangan salah.

Sebagai penutup, kalau bapak sempat dan bersedia, saya minta tolong titip pesan ke sutradara ‘Anak Jalanan’: mbok ya Adriana dibuat bertobat. Selain itu, tolong munculkan kembali tokoh Sulam si tukang bubur yang sederhana, agamis, dan tak mengkafir-kafirkan yang lain meski Haji Muhidin membencinya setengah mati.

Itu penting, Pak. Siapa tahu Sulam bisa menjadi tokoh panutan bagi masyarakat kita yang kian hari kian getol menyerang keyakinan yang berbeda dengan mereka.

Sekian.

Salam hormat dari saya.

 

Exit mobile version