MOJOK.CO – Kebijakan sistem zonasi sekolah yang diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap harus diapresiasi, meski masih ada kekurangannya di sana-sini.
Surat protes dari Mas Paksi Raras Alit saya kira mampu dengan baik merangkum kekhawatiran ibu-ibu maupun bapak-bapak yang sudah saya dengar sejak hari lebaran kemarin. Surat tersebut kurang lebih isinya juga sama dengan beberapa kawan yang saya tanya pendapatnya mengenai sistem zonasi sekolah Kemendikbud era Pak Muhadjir Effendy ini. Sama-sama bikin pusing pala berbi.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini, izinkanlah saya untuk memberikan surat balasan. Ya, sebagai tambahan persepsi saja gitu. Mojok kan suka kalau esainya balas-balasan.
Pertama saya deklarasikan dulu bahwa saya bukan pendukung Jokowi maupun Prabowo, saya cuma pendukung sama sistem zonasi ini. Tentunya dukungan ini akan saya sertai juga dengan alasan argumentatif yang insya Allah dapat dipertanggungjawabkan.
Sebelumnya, setahu saya, sistem zonasi secara penuh baru ditetapkan di Jogja, berlandaskan Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2016. Jadi sebenarnya sudah dua tahun lalu sistem ini sah dan coba dijalankan, mungkin baru di 2018 inilah sistem zonasi sekolah dijalankan secara penuh.
Saya mendukung sistem ini tidak lain ya karena tujuan mulianya, yakni; pemerataan pendidikan (spin-off nya kemudian menghapus mitos sekolah favorit) dan usaha pengurangan angka kemacetan lalu lintas.
Dalam memahami tujuan suatu kebijakan, saya rasa kita harus melihatnya dalam konteks waktu. Mengenai konteks waktu, pemerataan pendidikan tidak bisa dicapai dalam waktu dekat. Ini adalah capaian jangka panjang. Pemerataan pendidikan membutuhkan beberapa hal penting seperti perbaikan fasilitas sekolah “pinggiran”, pemerataan guru, dan mengubah cara pandang masyarakat.
Saya tidak memungkiri bahwa sekolah favorit memiliki fasilitas yang lebih bagus daripada sekolah “pinggiran”. Saya mengalaminya sendiri, sejak SMP hingga kuliah kebetulan saya selalu berada di wilayah “favorit”.
Nah, dengan adanya sistem zonasi ini, diikuti dengan perbaikan fasilitas di semua sekolah, harapannya kualitas infrastruktur pendidikan akan sama di semua daerah. Dalam hal ini, masyarakat pun harus menuntut pihak sekolah di daerahnya masing-masing untuk meningkatkan kualitas sebagai konsekuensi adanya sistem zonasi. Plus dibarengi pula dengan pemerataan kualitas guru.
Lalu mengenai perubahan cara pandang masyarakat terhadap sekolah bagaimana? Waini yang susahnya naudzubillah.
Kisah anak pintar menangis karena tidak bisa belajar di sekolah favorit karena jarak lalu orang tua mencak-mencak banyak terjadi di sekolah manapun di Jogja belakangan ini. Hal yang bisa dimaklumi karena cara pandang bahwa sekolah favorit menjamin keberhasilan anak untuk jenjang selanjutnya. Padahal itu belum tentu lho.
Saya punya beberapa teman dari sekolah yang biasa-biasa saja, tetapi mereka tetap mampu kok masuk ke kampus-kampus favorit macam UGM. Artinya, mau sekolah di mana saja, dengan keterbatasan apa saja, asalkan si anak tetap berupaya dan orang tuanya mendukung penuh, si anak tetap bisa kok mencapai keinginannya.
Lagian sekolah favorit itu yang bikin bagus apa sih? Fasilitasnya? Mungkin iya, tapi saya juga tetap menemui beberapa fasilitas yang kurang memadai ketika sekolah dulu tuh. Gurunya? Dulu ketika saya sekolah, guru yang bagus juga jumlahnya nggak banyak kok.
Sepengamatan saya sekolah jadi favorit ya karena yang diterima anak-anaknya pinter-pinter semua. Ya wajar kalau output-nya bagus, input-nya udah bibit unggul semua. Coba deh kalau semua input-nya siswa yang nilainya rendah lalu pas lulus nilainya jadi bagus semua, nah yang kayak begitu baru betul-betul sekolah favorit namanya.
Kemudian mengenai usaha mengurangi angka kepadatan lalu lintas. Ya iya sih, siswanya nggak juga bakal ujug-ujug nggak pakai motor ke sekolah. Jalan kaki juga saya nggak yakin. Tetapi kalau sepeda, saya yakin generasi sekarang masih mau kok. Hanya mungkin perlu pembiasaan saja.
Bisa mungkin dengan program gowes to school sebulan sekali dengan dibikin iklan layanan masyarakat bahwa naik sepeda ke sekolah itu keren. Siapa tahu malah jadi tren dan diikuti anak sekolah dengan sukarela.
Ya, itung-itung menghidupkan lagi sego segawe (sekolah kanggo kerjo lan nyambut gawe) dari Pak Heri Zudianto, mantan Walikota Joga dulu. Malah, hal ini merupakan salah satu cara untuk membiasakan diri mengurangi penggunaan kendaraan bermotor secara perlahan-lahan dari anak-anak sekolahan.
Capaian ini saya kira juga penting ditujukan untuk menghilangkan guyonan getir para orang tua: “Wah sebentar lagi anakku mau masuk SMA. Harus siap-siap kredit motor ini.”
Tentu saja itu bukan guyonan, tapi memang kenyataannya begitu.
Seolah-olah sudah jadi mindset para orang tua, kalau anaknya masuk usia SMA, maka orang tua harus menyiapkan sepeda motor buat si anak untuk berangkat ke sekolah. Duh, ini kan jadi memberatkan biaya masuk sekolah yang harus ketambahan biaya nyicil kredit motor. Belum bensinnya. Belum nyervisnya nanti. Belum pajak progresifnya.
Memang betul, ketika sebuah kebijakan diterapkan, pada periode awal pasti ada resistensi. Bahkan tidak menutup kemungkinan dampak buruk dari efek samping kebijakannya langsung muncul. Toh, tidak ada kebijakan yang 100 persen menyenangkan semua pihak. Apakah kemudian hal itu diabaikan oleh pembuat kebijakan? Oh, saya rasa tidak.
Pembuat kebijakan pasti sudah memperhitungkan dampaknya. Memutuskan kebijakan yang resikonya paling kecil dan mendatangkan keuntungan paling besar. Tentu hal ini juga tidak sembarangan masa-masa uji cobanya. Ada batas waktu untuk melihat sejauh mana risiko tersebut masih dalam taraf “masih bisa dimaklumi” sesuai perkiraan. Ada evaluasi, dan itu wajib, bahkan tidak perlu melihat dulu hasilnya apakah berhasil atau tidak.
Selayaknya kebijakan yang tidak bisa 100 persen menyenangkan semua pihak, saya pun sejatinya tidak mendukung sistem zonasi ini secara 100 persen pula. Saya pikir, masih ada satu aspek sosial yang dikorbankan ketika sistem zonasi ini diterapkan, yakni; pergaulan.
Begini. Dengan sistem zonasi sekolah ini, saya khawatir teman sekolahnya si anak ya cuma itu-itu aja, paling pol lima kilometer dari sekolah. Sedikit tertutup kemungkinan untuk seperti zaman saya dulu, punya teman dari pucuk barat daya Bantul, di Srandakan sana, atau Bantul kawasan Timur di Pleret sana.
Meski begitu, ya tetep ada enaknya juga. Kalau mau tugas kelompok nggak jauh-jauh amat. Kalau topi upacara ketinggalan bisa ambil dulu. Berangkat sekolah bisa mepet dan kalau dapat pacar satu sekolah ngapelinnya nggak jauh-jauh amat. Bisa tuh jemput pacar pakai sepeda onthel, biar romantis ala FTV yang bukan Indosiar.
Akhir kata, melalui tulisan ini saya tidak bermaksud mengubah kamu-kamu sekalian yang anti zonasi jadi pro-zonasi. Justru yang anti-anti seperti Mas Paksi Raras Alit itu dibutuhkan sebagai mekanisme check and balance dalam sebuah pelaksanaan kebijakan. Kritik dan protes itu juga bentuk dukungan perbaikan dalam bentuk yang lain saya kira.
Saya cuma berharap janganlah apa-apa kebijakan dianggap buruk dan tidak berpihak pada rakyat—dalam kasus ini tidak berpihak pada anak-anak—sampai hasilnya terlihat. Jika tujuannya baik, dukunglah, tapi ya tetap dukung dengan logis, jangan membabi buta.
Yang pasti, untuk sebuah kebijakan yang capaiannya baru bisa dilihat dalam jangka panjang, ya mau nggak mau ya harus sabar. Nggak bisa dong rencana jangka panjang tetapi baru setahun berjalan sudah dicap gagal.
Ingat, keberhasilan suatu kebijakan itu nggak kayak masak Indomie, yang cuma butuh 3 menit langsung ada hasilnya.