Saya tidak sedang menakut-nakuti. Tapi inilah yang saya dapatkan usai berbincang tentang Cengkeh dengan beberapa pembahas di acara Kampung Buku Jogja dua hari lalu. Kami membahas riset lapangan yang dibuat oleh Fawaz Al Batawy dan Marlutfi Yoandinas, dua peneliti dalam ekspedisi cengkeh.
Bahaya pertama adalah perubahan iklim. Curah hujan yang tinggi dan penyakit pada tanaman membuat panenan Cengkeh tahun ini hancur total. Masalah yang sama juga terjadi pada 2011. Awalnya saya mendengar 30% produksi akan hilang. Ternyata saya salah dengar. 30% adalah yang tersisa alias gagal panen mencapai 70%. Petani kehilangan pendapatan jangka pendek setidaknya Rp8-9 triliun.
Bli Komang Armada, seorang petani Cengkeh dari Singaraja biasanya memanen 7 ton Cengkeh Kering, kini tinggal beberapa kuintal saja. Harga Cengkeh di level petani kata Bli Komang mencapai Rp130rb/kg. Fawaz sempat mengungkapkan kepada saya bahwa dia memprediksi harga Cengkeh bisa Rp180rb/kg karena minimnya pasokan. Harga ini jauh lebih rendah dibanding masa 2011 di mana terjadi juga gagal panen. Pada beberapa hari di 2011, harga Cengkeh sempat menembus Rp300rb/kg.
Seperti yang pernah saya tulis beberapa saat lalu, 90% lebih produksi Cengkeh nasional dikonsumsi hanya oleh satu industri, industri rokok. 93% produksi rokok nasional adalah rokok kretek. Kretek inilah yang menggunakan Cengkeh sebagai salah satu bahan.
Pabrik rokok, belajar dari beberapa krisis Cengkeh di masa lalu dan 2011 tentunya, memiliki stok Cengkeh untuk produksi hingga 3-4 tahun mendatang. Oleh sebab itu, permasalahan gagal panen tahun ini dapat teratasi.
Cengkeh kering dapat disimpan bertahun-tahun dan tidak rusak. Tetap harum dan bisa digunakan. Kutu dan binatang-binatang pengganggu tidak doyan Cengkeh.
Permasalahan gagal panen karena perubahan iklim ini akan terus mengintai petani Cengkeh di masa-masa yang akan datang.
Permasalahan berikutnya adalah ancaman Over Supply. Era sebelum ada BPPC, Cengkeh mencapai puncaknya dengan luas lahan 700 ribu hektar. Kedigdayaan rezim ‘penak zamanku’ menghancurkan harga Cengkeh saat itu dari Rp20rb-an/kg menjadi harga patokan Rp6-7rb. Praktiknya di lapangan, Cengkeh petani hanya dihargai Rp2000-2500/kg. Dengan hati perih dan air mata mengucur, petani mengayun kampak menebangi pohon Cengkeh yang mereka miliki. Lahan Cengkeh turun drastis hingga tinggal 350-400rb hektar. Beberapa memperkirakan lebih parah dari itu.
Zaman berubah, BPPC dibubarkan. Harga Cengkeh kembali ditentukan pasar. Petani kembali bergairah menanam dan merawat tanaman Cengkeh yang mereka miliki. Kini total lahan Cengkeh sudah mencapai 500rb hektar. Produktivitas per hektar pun terus meningkat. Ilustrasinya pada saat lahan 350rb hektar sebelum era BPPC, produksi Cengkeh 70rb-an ton. Setelah BPPC bubar, dengan lahan yang setara, produksi Cengkeh mencapai 120rb ton.
Dengan terus adanya ekspansi lahan Cengkeh dan perbaikan perawatan, maka produksi Cengkeh di masa depan berpotensi meningkat pesat. Ancaman over supply akan terjadi. Berikutnya bisa ditebak, harga akan turun.
Permasalahan berikutnya adalah tekanan pada industri rokok terutama Kretek. Tekanan dari dalam dan luar negeri sedemikian keras. Terkait kesehatan tentunya. Pressure ini sungguh luar biasa. Pegiat-pegiat kemanusiaan dalam dan luar negeri turun gunung untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman kesehatan atas rokok.
Yaa padahal kalau mau nyinyir di luar negeri makanan yang banyak mengandung gula, produk GMO, alkohol bahkan ganja bisa bebas beredar. Rokok di sana juga ada. Tapi mereka memilih kampanye kesehatan di Indonesia. Sungguh negeriku spesial. Diperhatikan terus. Naksir ya? Hehehe.
Produksi rokok tahun ini diperkirakan 330 miliar batang. Tahun depan kemungkinan produksi turun 9-10 miliar batang. Bayangkan 93% adalah rokok kretek, bayangkan dalam tiap batang rokok terkandung 0,3-0,5 gram Cengkeh. Jika turun 10 miliar batang maka permintaan Cengkeh akan turun 3-5 ribu ton. Tren hidup sehat dan kelompok-kelompok penekan, dengan berbagai kepentingannya, akan terus menggerus produksi rokok di masa depan.
Jadi ada ancaman jangka pendek yaitu perubahan iklim, ancaman jangka menengah yaitu penambahan lahan tanam Cengkeh hingga produksi meningkat, dan ancaman jangka panjang surutnya industri kretek dalam negeri.
Terhimpit kondisi seperti ini, peran negara sangatlah penting. Namun yang menjadi fokus negara justru mempercepat ‘kiamat’ di perkebunan Cengkeh. Negara kian banyak memberikan bibit Cengkeh dan terus ikut memacu produktivitas. Pemerintah daerah pun sama. Ide membuka lahan Cengkeh terus mengemuka tanpa berpikir orientasi pasar.
Beberapa Solusi
Solusi jangka pendek yang saya tabulasi dari diskusi kemarin adalah memperkuat pendapatan petani Cengkeh dengan tumpang sari atau memaksimalkan lahan untuk tanaman non Cengkeh sebagai pendapatan sampingan.
Pilihannya bisa Durian (di mana durian tumbuh, di situ Cengkeh cocok ditanam. Demikian info dari Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia), hortikultura (sayur, buah, bunga) dan bio farmaka (jahe, kunyit, empon-empon).
Hortikultura dan Bio Farmaka rasanya bisa menjadi pilihan utama. Disesuaikan dengan daerah masing-masing dan akses pasar.
Oiya, petani Cengkeh nasional ini juga hebat. Mereka punya kultur menabung yang kuat. Menabungnya dalam bentuk Cengkeh. Jadi jika terjadi gagal panen, mereka bisa menjual tabungan Cengkeh yang mereka miliki. Tabungan Cengkeh juga bisa dijual untuk keperluan anak sekolah sampai biaya perkawinan. Budaya baik yang terus bertahan. Salut.
Solusi jangka menengah adalah negara hadir untuk serius melakukan riset terhadap Cengkeh. Turunan produk olahan Cengkeh harus sangat sangat serius diteliti dan diuji coba untuk produksi massal. Yang sudah saya dengar adalah Cengkeh dapat digunakan untuk produksi minyak atsiri, parfum, bahan pengawet makanan, obat bius, dan masih banyak lagi.
Riset yang mendalam perlu dilakukan untuk persiapan menghadapi industri kretek yang sunset dan potensi over supply Cengkeh di kemudian hari. Saya pesimistis dengan ide ini sih. Namun sebagai pendukung Pak Jokowi saya harus tetap optimis. Hei Pak Jokowi! Apakah anda membaca tulisan ini? Tentu tidak, ehe.
Menurut saya urusan Cengkeh ini bukan hanya tanggung jawab Kementan. Namun juga terkait dengan arah kebijakan perdagangan, industri dan investasi. Dengan pendampingan yang serius, Cengkeh bisa dibungkus dalam packaging yang unik untuk pasar ritel orientasi ekspor. Jika hasil riset produk turunan Cengkeh untuk produksi massal skala industri (non rokok tentunya ya) ternyata bagus, ini jadi urusan menteri perindustrian. Presiden bahkan bisa meminta BKPM memberikan prioritas thd investor manufaktur yang mengolah rempah-rempah nasional dengan Cengkeh sebagai salah satu produk unggulannya. Negara menjamin kemudahan supply Cengkeh dari petani ke manufaktur.
Solusi jangka menengah panjang yang saya catat agak kontroversial dan rawan dicap sebagai antek pabrik rokok kretek. Tapi demi jutaan rakyat yang menggantungkan hidup pada tembakau, cengkeh, kapulaga, klembak menyan, tidak apa deh risiko citra pribadi saya tercoreng dituduh antek konglomerat produsen racun hehehe.
Solusi tersebut adalah negara melawan ketidakadilan yang dialami rokok kretek. Kendati menang di WTO, Kretek Indonesia susah menembus pasar Amerika Serikat juga banyak negara-negara lainnya. Alasannya ada saja. Sementara RI impor miras dari negara-negara mereka dan tidak ada pressure group minta miras impor distop karena alasan kesehatan.
Kampanye kretek ke dunia perlu dilakukan. Jika miras bisa legal dijual, seharusnya Kretek boleh. Di mana ada rokok putih dijual, harusnya Kretek juga bisa dijual. Kita tidak bisa jualan rokok kretek dengan alasan kesehatan tapi negara lain boleh jualan miras. Oke miras mahal, rokok murah tidak bisa disamakan. Bentar, sekarang bagaimana kita menjawab tren Vape dan rokok elektrik? Pasarnya juga terus meningkat dan tidak ada pressure group minta mereka stop jualan dengan alasan kesehatan. Atau menurut mereka vape dan rokok elektrik sehat kali yeee.
Ini bukan urusan pro pabrik rokok kretek, ini urusan jutaan perut rakyat yang bergantung hidup.