Suporter Persis Solo dan PSIM Jogja Selalu Rusuh karena Sindroma Perjanjian Giyanti 1755?

Ketika masih sama-sama jadi penghuni Liga 2, Persis Solo dan PSIM Jogja pun bertanding secara home and away (Oktober 2021). Namun, tak ada gesekan suporter. Aman. Damai. 

Gesekan Suporter Persis Solo dan PSIM Jogja: Sindroma Perjanjian Giyanti 1755 MOJOK.CO

Ilustrasi Gesekan Suporter Persis Solo dan PSIM Jogja: Sindroma Perjanjian Giyanti 1755. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya sangsi gesekan suporter Persis Solo dan PSIM Jogja terjadi karena Perjanjian Giyanti. Warisan konflik itu sudah sangat lama mengendap dan lapuk dalam laci sejarah.

Gesekan suporter Persis Solo dengan PSIM Jogja, seperti yang terjadi 25 Juni lalu, sudah jadi semacam “peristiwa klasik”. Persoalan ini tidak berdiri tunggal atau sekadar pameran kekerasan. Orang lalu sering menghubungkan persoalan ini dengan sentimen kedaerahan, persaingan, bahkan sampai konflik “warisan” sejarah akibat Perjanjian Giyanti 1755, meskipun sangat tipis.

Namun, di luar hal-hal itu, ada juga niat menjadikan keriuhan sepak bola sebagai ruang pelepasan diri dari tekanan sosial, ekonomi, dan politik. Ini diperparah dengan  kesulitan hidup yang terjadi seperti susahnya mencari uang dan harga-harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau. Rakyat hidup megap-megap, sementara kelompok elite politik dan ekonomi hidup mewah dan gemerlap.

Sindroma Perjanjian Giyanti

Perihal sentimen kedaerahan antara suporter Persis Solo dan PSIM Jogja, bisa dikaitkan dengan pemahaman bawa sepak bola sudah menjadi identitas masyarakat pendukungnya. Dipicu persaingan dengan daerah lain, kebanggaan kedaerahan jadi persoalan sensitif. Gengsi sosial dipertaruhkan. Lalu, pertandingan sepak bola menjadi ajang pelampiasan para suporter untuk menunjukkan kedigdayaannya atas daerah lain. Tak ayal, hal ini menimbulkan kegentingan, bahkan juga kerusuhan, dengan skala kecil, menengah, sampai besar.

Persoalan kisruh suporter di negeri kita sudah jadi “menu rutin”. Lihat misalnya gesekan pendukung Persija Jakarta dengan Persib Bandung, Arema Malang dengan Persebaya Surabaya, PSIS Semarang dengan Persijap Jepara, dan lainnya. Gengsi kedaerahan itu biasanya melekat pada persaingan antarkota atau daerah dalam hal ekonomi, pembangunan fisik, kemajuan budaya, dan prestasi di berbagai lini kehidupan. 

Tetesan akibat itu pun mewujud sepak bola jadi pertarungan para “gladiator amatiran” di mana terlibat para jawara kelas lokal. Ini bisa terjadi di dalam atau di luar stadion. Kebanggaan semu jadi tujuan, meskipun harus dibayar dengan darah bahkan nyawa.

Problem sosial antar-suporter sepak bola ibarat api dalam sekam. Spontan padam karena disiram, tapi suatu saat api itu membara kembali. Berbagai upaya rekonsiliasi ibarat peredam sesaat.

Kembali ke gesekan suporter Persis Solo dengan PSIM Jogja. 

Di sini, mitos, sejarah, atau problem masa lalu sebagai legitimasi tindakan menimbulkan konflik horizontal yang merusak. Secara historis dan kultural, Surakarta dan Yogyakarta adalah dua daerah seibu, yakni kerajaan Mataram Islam. Pada era kolonialisme, tepatnya 1755, berlangsung Perjanjian Giyanti. Terjadi palih negari (pembagian dua wilayah kerajaan) Surakarta dan Yogyakarta yang dimediatori Belanda.

Sumber Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta menyebutkan bahwa Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa yang menandai pecahnya Mataram Islam. Awal mula kisah perpecahan kerajaan di Jawa ini bermula dari pertikaian keluarga yang disebabkan politik adu domba VOC. Konflik saudara tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. 

Mari kita urai sejarah yang terjadi. Apakah benar jadi latar belakang gesekan suporter Persis Solo dengan PSIM Jogja?

Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II (raja pendiri Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik, yang merupakan sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726). Sementara itu, Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi. 

Raden Mas Said sendiri meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannya yakni, Pakubuwana II. Alasan utamanya adalah bahwa ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegara yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV. 

Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC, akhirnya berimbas diasingkan ke Sri Lanka hingga meninggal dunia. Setelah itu, VOC menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabasuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.

Ketika Pakubuwana II memangku tampuk kepemimpinan Mataram Islam, beliau memindahkan ibu kota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta pada 17 Februari 1745.  Perpindahan tersebut terjadi setelah Keraton Kartasura hancur akibat adanya pemberontakan yang dipimpin Mas Garendi atau Sunan Kuning pada 1742 dan mengakibatkan istana Mataram Islam di Kartasura rusak. 

Hal ini semakin memperkuat Raden Mas Said ingin merebut takhta Mataram Islam dari pamannya, Pakubuwana II. Karena memiliki tujuan yang sama, akhirnya Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut takhta Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.

Pada 20 Desember 1749, Pakubuwono II wafat. Kekosongan pemerintahan ini kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mengangkat dirinya sebagai raja baru Mataram Islam. Mengetahui hal tersebut, VOC tidak mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai penguasa dari Mataram Islam karena sebelum Pakubuwana II wafat, beliau memberikan wewenang pengangkatan raja baru kepada VOC. 

Situasi memanas ketika VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi menjadi raja Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.

Untuk mengatasi serangan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi, VOC kemudian menyusun siasat adu domba kedua tokoh tersebut. VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya. 

Politik adu domba yang dilancarkan VOC membuahkan hasil. Pada 1752, terjadi perselisihan antara Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk berunding dengan Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Pakubuwana III.

Pada 22 dan 23 September 1754, VOC mengadakan perundingan dengan mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, dan kerja sama VOC dengan kesultanan. Perundingan ini akhirnya mencapai kesepakatan dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, Pangeran Mangkubumi mendapat setengah wilayah Mataram Islam yang kemudian memunculkan kerajaan baru bernama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi lalu mendeklarasikan sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I. Dengan demikian, riwayat Kerajaan Mataram Islam telah berakhir, baik secara de facto maupun de jure (Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta).

Ada sumber yang mengatakan bahwa sebenarnya oleh Belanda, Mangkubumi diberi wilayah dari Sragen sampai Surabaya. Namun, Mangkubumi menolak. Beliau memilih bagian barat, yakni wilayah yang kini dikenal dengan sebutan Yogyakarta. Alasannya, beliau memilih daerah yang dekat dengan aura kekuasaan dinasti Mataram yang ditandai dengan bekas Kerajaan Mataram (Kotagede, Kerta, Pleret, dan makam Imogiri). Bagi Mangkubumi, situs-situs itu memiliki kekuatan supranatural yang turut menjaga kekuasaannya.

Resonansi Perjanjian Giyanti dan dampaknya secara psikologis, sosial, kultural, dan politik sangat panjang. Bahkan gema itu sampai saat kerajaan Surakarta dan Yogyakarta memasuki zaman modern.

Cara kultural-persuasif

Budayawan Umar Kayam, yang menghabiskan masa remajanya di Surakarta, ayahnya guru di Mangkunegaran, pernah mengenang soal persaingan antara pendukung Persis Solo dengan PSIM Jogja pada tahun 1950. 

Di situ, kata Kayam, tidak ada konflik fisik yang nggegirisi. Dalam pertandingan misalnya, ejek-mengejek antarsuporter berlangsung secara kultural, yakni dengan menggunakan simbol-simbol budaya. 

Misalnya, ketika pemain Persis Solo berhasil mencetak gol ke gawang PSIM Jogja, para suporter Persis sontak mengeluarkan blangkon mondolan (bulatan sebesar telur asin di belangkang blangkon) khas Jogja, lalu tangan mereka berulang kali menyelentik mondolan tersebut, sambil bilang “Kapok ora! Kapok ora?” 

Sontak, semua penonton tertawa. Ini merupakan kecerdasan budaya, di mana orang memiliki kematangan dengan mengolah konflik jadi kreativitas. Pihak yang diejek pun tidak marah. Malah cekikikan.

Beda dengan generasi selanjutnya. Kemampuan orang mengolah simbol semakin menurun, dan keringanan menggunakan okol semakin meningkat. Pada era 1970-an, problem psikologis yang paling tajam sering muncul. Setiap Persis Solo dan PSIM Jogja bertanding, selalu terjadi ketegangan, bahkan sering pula berakhir kericuhan antarsuporter dan pemain. Ini berlanjut hingga era 1980-an,1990-an dan 2000-an. Kemunduran? Bisa jadi benar. Kekerasan semakin jadi pilihan. Orang semakin miskin akan simbol-simbol budaya. Lebih suka meluapkan emosi daripada menggunakan nalar dan akal sehat.

Ketika masih sama-sama jadi penghuni Liga 2, Persis Solo dan PSIM Jogja pun bertanding secara home and away (Oktober 2021). Namun, tak ada gesekan suporter. Aman. Damai. 

Hal ini tak lepas dari pendekatan kultural yang dilakukan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Gibran, waktu itu, menemui Wali Kota Jogja, Haryadi Suyuti di Yogyakarta. Pertemuan ini dilakukan menjelang digelarnya Derbi Mataram antara Persis Solo dengan PSIM Jogja (12/10) di Stadion Manahan, Surakarta. 

Tujuan pertemuan ini adalah untuk meredakan tensi masing-masing pendukung kesebelasan (Brajamusti-PSIM Jogja dan Pasoepati-Persis Solo). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, elite sosial memegang kunci untuk meredakan ketegangan.

Benarkah konflik atau gesekan horizontal antara pendukung Persis Solo dengan PSIM Jogja dipengaruhi oleh warisan konflik Perjanjian Giyanti? Benarkah ada sindroma Perjanjian Giyanti?

Saya pribadi sangsi hal itu terjadi karena warisan konflik itu sudah sangat lama mengendap dan lapuk dalam laci sejarah. Saya juga tidak yakin, anak-anak muda, para suporter itu, membaca sejarah dengan tekun dan memaknai dan mewarisinya menjadi energi konflik. 

Namun kalau toh warisan konflik Perjanjian Giyanti tersebut dijadikan salah satu faktor penyebab, maka sifatnya hanya tipis-tipis saja atau semburat/tidak terlalu signifikan. Itu pun sangat spekulatif. Kalau ada yang menggunakan sejarah sebagai alasan, saya rasa mereka justru terlalu mengada-ada dan memaksakan egonya.

Saya lebih setuju jika persoalan sentimen negatif antara pendukung Persis Solo dan PSIM jogja adalah persoalan kekinian. Pertama, terkait sepak bola dijadikan katup pelepas atas tekanan masalah sosial dan ekonomi. Kedua, sentimen kedaerahan antara Solo dan Jogja yang sama-sama kota budaya dan kota modern, meskipun ini tidak berlaku secara umum. Ketiga, persaingan olahraga (sepak bola) di mana masing-masing pihak merasa paling unggul. Keempat, krisis penalaran atau akal sehat, di mana bukan kebudayaan dan peradaban yang jadi pertimbangan utama atas tindakan, tapi kekerasan dan kepuasan diri “menaklukkan musuh bebuyutan”.

Para pendukung sepak bola punya karakter khas, di mana emosionalitas untuk mengungguli lawan sangat dominan. Suporter bola pada dasarnya adalah crowd, kerumunan yang lebih digerakkan sentimentalitas dan emosionalitas daripada rasionalitas. 

Oleh sebab itu, dibutuhkan cara yang persuasif dan kultural untuk membangun kesadaran kolektif: bahwa konflik demi bola adalah sia-sia dan merugikan. Tujuan bermain sepak bola adalah membangun karakter melalui sportivitas. Dalam sportivitas, semua insan bola adalah saudara.

Ramayana Prambanan

Di luar sepak bola, warisan konflik Solo dan Jogja yang diakibatkan Perjanjian Giyanti 1755, sudah melapuk, bahkan menguap. Hal ini tak lepas dari upaya para tokoh budaya dan munculnya kesadaran masyarakat.

Kita bisa menyebut contohnya dalam dunia tari dan karawitan, di mana telah terjadi rekonsiliasi kultural dan sinergi estetik yang indah antara penari-pengrawit Surakarta-Yogyakarta. Hal itu diwujudkan  dalam pagelaran Ramayana di Candi Prambanan, sejak era 1950-an hingga sekarang. Mereka telah menghasilkan repertoar Ramayana kelas dunia. Tokoh-tokoh tari yang pernah aktif antara lain maestro tari Sardono W Kusumo, Retno Maruti, Sentot HS, dan tokoh-tokoh tari dari Jogja.

Di jagat seni modern juga terjadi sinergi kreatif para pelaku seni budaya Solo dan Jogja. Misalnya dalam aktivitas teater, film, kajian budaya, workshop dan lainnya.

Horison Nilai

Dendam adalah warisan yang buruk karena hanya memuaskan nafsu. Melenyapkan dendam adalah jalan menuju pembebasan diri demi menemukan horison nilai.

Dalam konteks ini, melenyapkan semua dendam atau luka suporter Persis Solo dan PSIM Jogja akibat Perjanjian Giyanti 1755, terutama bagi para suporter bola, menjadi jalan untuk menemukan masa depan.

Setiap sejarah punya logika dan cara mengatasi persoalan yang dihadapi berdasarkan konteks zamannya. Menurut sejarawan Dr. Kuntowijoyo, gunanya mempelajari sejarah bukan untuk melihat ke belakang, tapi menatap ke depan demi menemukan nilai-nilai kebaikan yang bisa meningkatkan mutu peradaban bangsa.

Bangsa yang bisa berkembang dan maju adalah bangsa yang mampu mengatasi problem masa lalu dengan kepala tengadah menatap masa depan. Bukan malah mengkorek-korek luka lama. Masyarakat Solo dan Jogja adalah saudara, berasal dari satu rumpun budaya Mataram. Budaya itu mempertemukan, bukan memisahkan.

BACA JUGA Solo Tembus Jogja? Apakah Hanya Kekerasan yang Akan Kita Wariskan Kelak? dan analisis indah lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Indra Tranggono

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version