MOJOK.CO – Faisol Abod Batis ditangkap gara-gara memaparkan data korban konflik agraria di era Pemerintahan Jokowi. Lho, lho, kok jadi galak begini?
Saya sedang menikmati senja yang tenteram bersama secangkir kopi ketika sebuah berita merusak segalanya. Adalah Tirto yang memuat berita tersebut: pada Rabu (17/7) lalu, Subdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menciduk Faisol Abod Batis gara-gara statusnya di Instagram.
Ini bukan kabar yang terlalu mengejutkan; polisi selama ini sudah sering menangkapi orang-orang yang kelewat vokal di internet. Namun, kasus Faisol ini berbeda. Dia tidak mengunggah foto editan Jokowi, tidak ngata-ngatai Jokowi, tidak menyebarkan fitnah soal Jokowi. Faisol ditangkap karena membeberkan data konflik agraria di era Jokowi.
Lelaki malang yang ditangkap di Malang ini menulis kritik dalam status yang dipaparkan dengan data. Rasanya tak perlu saya sampaikan di sini (status tersebut) agar saya tidak ikut-ikut dijerat dengan pasal yang sama sebagai penyebar ujaran kebencian. Duh, tak pernah diduga sebelumnya, kenapa jadi sulit begini sih mengkritik Pemerintahan Jokowi?
Faisol dijerat dengan UU ITE soal ujaran kebencian dan penghinaan Presiden. Menurut keterangan polisi, Faisol ditindak bukan atas laporan masyarakat, melainkan oleh Polisi sendiri yang melakukan patroli siber.
Tuduhan menghina Presiden Jokowi mungkin terdengar menggelikan. Bagaimanapun, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menganulir pemidanaan model begitu sejak 2006. Menurut MK, Presiden di era modern semestinya boleh dikritik oleh semua pihak, bahkan andaipun kritik tersebut dalam bentuk hinaan.
Sementara soal ujaran kebencian, yah, kita harus mengakui bahwa di situlah UU ITE menjadi pasal karet. Tidak ada batasan definitif soal bagaimana suatu ujaran bisa disebut ujaran kebencian. Ketiadaan batasan itu membuat pasal tersebut bisa diinterpretasikan semau-maunya.
Mending kalau yang mengartikannya adalah penanam kecubung di Bondowoso sana. Lha kalau yang mengartikannya adalah polisi, bisa ruwet urusannya. Persis kayak kasus Faisol ini.
Akar keruwetan itu berasal dari pembuat Undang-Undang tersebut yang tidak bisa membedakan ujaran kebencian dengan penistaan, satire, dan sarkasme. Pokoknya, apa-apa yang ofensif dianggap ujaran kebencian. Sedihnya, aparat penegak hukum juga sama awamnya.
Oleh sebab itu, sebelum kita melanjutkan kasus Faisol tadi, mari kita kenalan lebih jauh dengan ujaran kebencian.
Suatu tindakan bisa disebut ujaran kebencian ketika ia mengandung fitnah, defamasi, dan false statement. Oleh sebab keofensifannya, pernyataan penistaan, satire, dan sarkasme sering diseragamkan, seringnya oleh si objek penderita.
Tentu saja itu keliru. Berbeda dari ujaran kebencian dan penistaan (blasphemy), satire dan sarkasme harus memiliki atau lahir dari hasrat menyatakan kebenaran.
Perbedaan antara penistaan dengan satire dan sarkasme adalah penistaan bermaksud meyakinkan pendengar. Sehingga pendengar melakukan atau menjadi yang diinginkan si pengujar. Ia menyatakan A dengan A. Satire dan sarkasme bisa sebaliknya: ia menyatakan A dengan -A.
Satire dengan sarkasme, sementara itu, punya perbedaan dalam kadar ke-ofensif-an. Satire tak melulu ofensif. Namun, sarkasme pasti kasar, blak-blakan, dan ofensif.
Pusing bacanya? Gini aja, deh. Kita bikin gampang dengan contoh. Anggaplah bahwa kamu adalah seorang cewek SMA yang sedang mengikuti pesta sweet seventeen di rumah temanmu.
Karena keawamanmu soal pesta beginian, kamu mengenakan tank top berpadu celana jins ketat sepaha, bersepatu lars, dan memulas wajahmu dengan riasan apa pun yang kamu temukan di kamar ibumu.
Saat tiba di sana, kamu mendapati seorang teman cowokmu melambai-lambaikan sebundel duit sambil berkata, “Tarifmu semalem cukup nggak, nih?”
Nah, sikap temanmu itulah yang disebut dengan ujaran kebencian. Ada tuduhan serius berujung fitnah di sana.
Lalu temanmu yang lain menarikmu dan menuding-nuding sambil berkata, “Lu gimana sih? Dandanan lu norak abis, Bego!” Itulah contoh sarkasme. Jelas, kasar, intens, tapi apa yang disampaikan benar.
Temanmu yang lain ikut nimbrung, lalu melempar kalimat satire, “Kalem banget riasan lu. Wah, pasti tajir banget deh lu, bedak satu toko bisa lu abisin semua dalam semalem.”
Dari pemaparan di atas, saya sungguh tidak tahu letak ujaran kebencian pada unggahan status Faisol yang mengritik Jokowi sampai bikin dia ditangkap. Faisol, saya pikir, sedang ketiban apes saja akibat UU ITE, sama seperti yang dialami Uril Unik dan Martha Margaretha tahun lalu.
Berbeda dari Faisol yang mengungkap data konflik agraria di era Jokowi, Uril dan Martha kena ciduk aparat gara-gara menulis status soal potensi gempa besar di Pulau Jawa. Polisi berdalih bahwa status mereka membuat masyarakat resah.
Padahal data pada status Faisol yang mengkritik Jokowi ini diambil dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria, sementara Uril-Marta mengambil data dari LIPI, BMKG, hingga pelbagai media nasional. Intinya, mereka bertiga tidak sedang menyulap data-data itu dari udara kosong, tapi ketiganya tetap saja ditangkap.
UU ITE memang bermasalah karena justru digunakan oleh Pemerintah untuk membungkam kritik. Tentu saja solusinya adalah mengajukan judicial review ke MK. Ya siapa tahu UU karet itu bisa diedit atau dihapus sekalian.
Namun, gimana kalau tidak ada yang mengajukan judicial review sehingga kita harus hidup berdampingan dengan UU ITE tersebut selamanya?
Untuk masyarakat sipil, kayaknya kita mesti terbiasa menulis untuk menyampaikan gagasan dengan baik dan benar sejak sekarang. Dengan begitu kita mampu memilih moda yang paling tepat untuk mengritik atau menyentil kebijakan Pemerintahan Jokowi.
Kita bisa menulis sarkas secara sadar, melempar satire dengan cara yang tepat, yang bisa menghindarkan kita dari jeratan pasal karet semacam UU ITE. Misalnya, jika kamu ingin mengkritik Presiden Jokowi, kamu bisa menulis kalimat ini, “Sulit sekali ya mengkritik Pemerintahan Jokowi saat ini?”
Kalimat yang bisa punya dua tafsir. Sulit dikritik karena kelewat bagus atau sulit dikritik karena kamu bisa ditangkap—seperti yang dialami Faisol Abod Batis.