Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Jika Ada Sulam Alis, Mengapa Tidak Ada Sulam Kumis?

Bernadeta Diana oleh Bernadeta Diana
4 November 2017
0
A A
sulam alis

sulam alis

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Ingin jadi cantik kok ya dipersoalkan. Mbok sekali-sekali kamu merasakan penderitaan jadi cantik.”

Beauty is pain, jare. Cantik itu butuh pengorbanan. Cantik itu mahal, butuh biaya. Buktinya, makin banyak saja online (atau offline) shop yang menyediakan aneka produk kecantikan, mulai dari skin care, makeup, dan fafifu pendukung lainnya.

Belum lagi dukungan akun-akun byuti vlogger atau byuti influencer yang menjadi referensi ciwi-ciwi untuk akhirnya memutuskan mengorbankan uang bulanan demi tampil kinclong dengan segala jenis sulam. Perkara cocok atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting usaha. Namanya juga pengorbanan.

Aneka macam upaya untuk mempercantik diri belakangan saya rasa makin nganu saja. Tren sulam-sulaman pun tidak pernah bosan melintas dalam bentuk postingan sponsored di lini masa Instagram. Mulai dari sulam alis, sulam bibir, bahkan sulam bedak.

Padahal, boro-boro tertarik untuk mencoba sulam-sulaman itu tadi. Untuk meluangkan uang dan waktu hanya demi facial di klinik-klinik kecantikan tadi saja saya ogah. Padahal, teman-teman dekat sudah akrab dengan tempat-tempat begituan sejak SMA. Alasan saya sepele, saya ogah ketergantungan.

Saya cukup sadar diri bahwa perawatan-perawatan macam itu butuh konsistensi dan ketabahan. Usai facial, misalnya, akan ada fase manakala kulit wajah memerah dan mengelupas. Meski konon kabarnya usai fase ini kulit muka bisa jadi kinclong, saya enggan ambil risiko. Kulit muka saya gampang jerawatan.

Iya, kalau cocok terus muka saya jadi mulus, kalau jerawat-jerawat saya malah membelah diri jadi banyak seperti Mars Perindo, siapa yang mau tanggung jawab? Paling-paling orang-orang hanya akan berkata begini, “Buajilak, rupamu kenopo kuwi?” atau “Siapa suruh coba-coba?”

Kembali lagi ke tren sulam-sulaman. Kebetulan teman-teman perempuan di lingkaran pertemanan saya belum ada yang mencoba tren sulam-sulaman itu tadi (kayaknya, sih. Hehe). Yang ada mungkin sekadar bermain aman dengan menggunakan produk-produk kecantikan penumbuh bulu-bulu di daerah tertentu demi mempertebal alis atau bulu mata gitu.

Meski hasilnya tidak secepat teknik sulam-sulaman itu tadi, paling tidak mereka tidak harus melukai diri mereka sendiri. Cukup punya pengalaman disakiti lelaki aja, menyakiti diri sendiri jangan.

Tren lain berkaitan dengan bulu-buluan rupa-rupanya turut menjangkiti para lelaki. Buktinya, produk-produk penumbuh jambang dan kumis juga berseliweran iklannya. Sebetulnya kalau dibilang tren masa kini, saya tidak sepenuhnya setuju. Ini lebih mirip perasaan yang inferior, takut kalau kurang berbulu dianggap kurang laki-laki.

Ini mengapa iklan minyak penumbuh bulu Firdaus atau iklan Wak Doyok yang sering saya lihat di surat kabar adalah koentji.

Ikon lelaki berjambang, berkumis, berambut cepak, namun berbulu dengan mata lentik tersebut akan selalu menjadi sosok pertama yang melintas di benak saya manakala kata Firdaus terdengar. Lho, jangan salah, emang cuma laki-laki saja yang punya imajinasi?

Tren mempertebal bulu-bulu wajah bagi lelaki rupa-rupanya saya temui di lingkaran pertemanan saya. Jika ciwi-ciwi berupaya memusnahkan bulu ketiak, lengan, serta kaki melalui waxing, cukur, atau laser, lelaki yang dikaruniai kaki mulus bebas bulu justru merasa kurang lakik!

Mereka bahkan menganggap kaki mereka tak ubahnya kaki meja. Lha, kalau kaki meja ada bulunya, medeni dong, Mz? Akuilah bahwa perihal bulu-buluan tidak dapat dilepaskan dari faktor genetis dan tak perlu keracunan budaya maskulin.

Jika kaki, tangan, ketiak mz-mz sekalian tidak berbulu lebat, ya wajar belaka. Memang ada manusia yang populasi bulu kumis dan jambangnya jarang-jarang. Bahkan, sejauh pengamatan saya, lelaki yang berbulu wajah lebat pun terkadang ada bagian yang pitak juga.

Namun, atas nama emansipesyen, sekarang banyak juga produk-produk penumbuh bulu untuk lelaki. Salah seorang teman saja sudah mencoba hal ini. Biar ketok lanang aja gitu, jare. Saya akui, bulu wajah doi memang makin lebat, meski tingkat kegantengan doi masih sangat jauh dari Chicco Jerikho di mata saya. Ini mau niat ganteng apa reboisasi bulu sih?

Menilik tren penebal bulu bagi kalangan lelaki, lagi-lagi atas nama emansipesyen, mengapa tidak ada yang tertarik untuk menciptakan tren sulam kumis (dan jambang)? Bukankah layanan perawatan khusus pria sudah bukan lagi hal yang tabu?

Nyatanya, sekarang sudah banyak jasa-jasa perawatan rambut khusus lelaki. Lagi pula, bukankah secara teknis kumis dan jambang juga merupakan rambut? Atau kumis kamu sebetulnya sekadar bulu hidung yang kelewat memanjang, Mas?

Sekali-sekali perlu dibikin gebrakan semacam sulam kumis dan bulu hidung untuk masa depan yang lebih ambyar.

Terakhir diperbarui pada 6 November 2017 oleh

Tags: beauty bloggercantikemansipasijomlokumislajangMaskulinobat peninggi badansalonselebgramsulam aliswak doyok
Iklan
Bernadeta Diana

Bernadeta Diana

Artikel Terkait

Saya Insecure Ketika Bapak Kos Tanya, Asalmu Mana? MOJOK.CO
Kilas

Saya Insecure Ketika Bapak Kos Tanya, Asalmu Mana?

18 Juni 2023
Beauty Privilage itu Benar-benar Nyata dan Mengerikan. MOJOK.CO
Kilas

Beauty Privilege Itu Benar-benar Nyata dan Mengerikan

28 Mei 2023
Begini rasanya jadi perempuan cantik
Uneg-uneg

Begini Rasanya Jadi Perempuan Cantik 

15 Januari 2023
perempuan berkumis mojok.co
Uneg-uneg

Stigma tentang ‘Perempuan Berkumis’ yang Mengganggu

27 November 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Penyesalan mahasiswa biarkan kuliah berantakan dan tinggal skripsi hingga DO gara-gara putus cinta. Kecewakan ibu karena susah cari kerja MOJOK.CO

Tinggalkan Skripsi Gara-gara Urusan Asmara, Berujung DO dan Sakiti Ibu hingga Susah Cari Kerja

19 Juni 2025
Sarjana (lulusan S1) gaji kecil ngaku bergaji Rp10 juta biar bisa dipamerkan orangtua MOJOK.CO

Sarjana Gaji Kecil Ngaku Bergaji Rp10 Juta biar Bisa “Dipamerkan” Orangtua ke Tetangga, Berujung Repot dan Nelangsa

20 Juni 2025
sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Lulus Kuliah IPK 3,7 tapi Susah Dapat Kerja Gara-gara Tidak Mendengarkan Nasihat Orang Tua

18 Juni 2025
Pertandingan sepak bola putri di Jogja dalam laga MLSC. MOJOK.CO

Sepatu Rusak: Saksi Bisu dari Atlet Sepak Bola Putri di Jogja yang Penuh Nyali dan Nilai Mahal yang Mereka Pelajari

19 Juni 2025
kuliah di Universitas Amikom Yogyakarta. MOJOK.CO

Bahagianya Mahasiswa Amikom Yogyakarta, Bisa Lulus Cepat dan Nggak Pusing Mencari Kerja bahkan Sebelum Wisuda

18 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.