Sudahkah Anda Speak English Hari Ini?

Susahnya Jadi Mahasiswa Madura di Jogja Kena Stigma Buruk: Sudah Biasa Dianggap Arogan, Egois, dan Dicap Maling.MOJOK.CO

Ilustrasi Susahnya Jadi Mahasiswa Madura di Jogja Kena Stigma Buruk: Sudah Biasa Dianggap Arogan, Egois, dan Dicap Maling (Mojok.co)

Insiden itu terjadi di New York tiga tahun lalu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menghadiri Panel Tingkat Tinggi Sekretariat Jenderal PBB dengan agenda pembangunan pasca-2015, ikut hadir dalam acara konferensi pers bersama Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Perdana Menteri Inggris David Cameron, Rabu 26 September. Pada saat konferensi pers tersebut, seorang wartawan radio dari salah satu negara Eropa bertanya kepada SBY tentang usulan resolusi antipenodaan agama.

Di Tanah Air, saat itu memang sedang hangat-hangatnya terjadi kasus kekerasan dengan isu agama: pembantaian pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, serta pengusiran penganut Syiah di Sampang, Madura. Tampaknya, pertanyaan si wartawan memang diarahkan ke peristiwa tersebut. Tentu pertanyaannya disampaikan dalam bahasa Inggris.

Tapi SBY, yang biasanya selalu pamer English setiap kali berpidato, saat itu malah tampak bingung dengan pertanyaan si wartawan. Beberapa media menggambarkan SBY cukup lama terdiam. Dua alisnya dideskripsikan terangkat. Sebab melihat SBY clingak-clinguk, dan belum menjawab pertanyaan, si wartawan mengulang bertanya. Hasilnya sama saja: SBY tetap tak menjawab dan malah tampak semakin kebingungan.

Dia menoleh ke arah Sirleaf dan Cameron, dan seolah berseru pada keduanya, “Heh, elu pada ngarti kagak?” atau “Bantuin gue dong!”, tapi keduanya membiarkan SBY tetap kebingungan sendiri. Untungnya kemudian seorang penerjemah tanggap dengan apa yang terjadi. Dia menerobos barisan petugas keamanan lalu naik ke panggung dan membantu SBY. Suasana menegangkan bagi SBY pun berakhir.

Dibantu penerjemah, dia menjawab pertanyaan si wartawan, tapi SBY menolak membahasnya karena alasan, pertanyaannya tidak relevan dengan topik konferensi pers. Acara tanya-jawab siang itupun lalu ditutup, tapi beberapa wartawan kemudian menjadikan insiden SBY yang kebingungan menjawab pertanyaan wartawan tadi sebagai kelakar.

Kata mereka, orang Indonesia membingungkan. Entah apa maksudnya, karena mereka pasti paham, SBY bisa berbahasa Inggris. Bahkan mungkin sangat lancar, karena kalau tidak, percuma dia menganggap Amerika sebagai “Tanah Air” keduanya. Hampir di setiap kesempatan berpidato atau berbicara, SBY juga hampir selalu menyisipkan kata-kata atau istilah bahasa Inggris.

“…Saya katakan minimizing the impact of the global economic crisis.

“Inilah peluang emas atau golden opportunity…”

Saking seringnya SBY berbahasa Indonesia yang diselingi bahasa Inggris, sampai-sampai ada anekdot percakapan antara SBY dan malaikat. Konon, suatu hari malaikat berjumpa dengan dirinya dan langsung menebak, manusia yang dijumpainya adalah SBY. SBY ge-er dan segera menjawab:

“Benar. But how did you know me?”

Mendengar jawaban SBY, si malaikat membalas: “

“Lah itu, ente ngomong bahasa Indonesia dicampur bahasa Inggris.”

* * *

Bahasa adalah cara pandang manusia atas dunia secara kolektif kultural. Ia merupakan fakta sosial yang mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat. Berbahasa tidak hanya perkara mengatakan kepada orang lain sesuatu hal dengan sebuah lambang verbal. Berbahasa adalah berpikir, karena bahasa adalah pikiran. Ia bukan wujud otonom tapi mewakili pengalaman manusia atas dunia. Bahasa apa pun, karena itu, menyediakan perangkat berpikir yang khas. Dengan bahasanya, setiap masyarakat bahasa mengungkapkan cara berpikir yang unik, otentik, dan mungkin sangat renik.

Itulah penjelasan P. Ari Subagyo, doktor bahasa di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, tentang bahasa. Dengan penjelasan tersebut, mestinya tak ada yang lebih atau kurang dari bahasa yang satu atas bahasa lainnya. Berbahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang memalukan dan bisa berbahasa Inggris pun juga tak perlu dipandang lebih terhormat.

Problemnya: kini ada kecenderungan yang menganggap (ber)bahasa Inggris jauh lebih keren, lebih bergengsi, dan lebih modern ketimbang (ber)bahasa Indonesia.

Di siaran televisi atau radio, banyak penyiar mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris meski bahasa Indonesianya sungguh buruk. Para orang tua pun juga banyak yang lebih senang bila anak-anak mereka bersekolah yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris. Lihat pula bagaimana iklan-iklan di media massa atau papan nama di kota-kota besar yang ditulis dengan setengah bahasa Inggris, setengah bahasa Indonesia:

The door is under construction, silakan cari pintu lain,” “Konsep hunian kami adalah green garden,” “Ikuti lomba The Color Run Jakarta”, dan sebagainya.

(Ber)bahasa Inggris pun kemudian seolah menjadi penanda derajat sosial atau derajat intelektual yang lebih tinggi. Padahal orang Indonesia yang paling sedikit pernah mengenyam bangku SMP, niscaya pernah mengenal bahasa Inggris. Sementara orang-orang yang di negara berbahasa Inggris, seperti Amerika Serikat, misalnya, murid-murid SMP di sana belum tentu mengenal dan diajar bahasa Indonesia. Letak geografis Indonesia pun mungkin mereka tidak tahu. Tidak seperti di sini di mana banyak murid SD yang sudah mengenal peta Amerika.

Maka semestinya, berbanggalah menjadi orang Indonesia. Sebab sejak bersekolah, selain mengenal bahasa Indonesia, kita juga dikenalkan dengan bahasa Inggris. Kalau pun tidak lancar berbahasa Inggris, kebanyakan dari kita masih mengenal beberapa kata dan istilah dalam bahasa Inggris seperti, “What is your name?”, “How are you?”, “My name is Tono”, atau minimal “Little-little I can-lah”.

Andaipun tidak mengenal bahasa Inggris sama sekali, sebetulnya juga tak perlu minder karena hal itu jelas bukan sesuatu yang memalukan. Bangsa Prancis dan Jerman, misalnya, dikenal sebagai bangsa yang bangga dengan bahasa mereka dan tidak rendah diri walaupun tidak bisa berbahasa Inggris. Begitu juga dengan bangsa Jepang.

Sekadar contoh lain, sewaktu menjadi presiden, Soeharto tak pernah sok-sokan berbahasa Inggris ketika tampil di forum dunia. Sebaliknya dia selalu menggunakan penerjemah. Mungkin Soeharto sadar diri, bahasa Inggrisnya buruk atau logatnya masih sangat Jawa sehingga merasa tidak enak jika harus berbicara dalam bahasa Inggris. Meskipun beberapa orang dekatnya–salah satunya sang istri–pernah membuat kesaksian, Soeharto juga mahir berbahasa Inggris.

Presiden Jokowi pun begitu. Dia juga menggunakan penerjemah, atau ketika berpidato dalam forum-forum internasional, dia memanfaatkan naskah pidato yang ditulis oleh stafnya dalam bahasa Inggris, untuk dibaca. Tentu bahasa Inggris Jokowi berlogat Jawa, dan hal itu tidak jadi masalah karena tidak ada yang keliru. Faktanya Jokowi memang orang Solo.

Juga tidak ada yang salah, seandainya Jokowi kemudian memerintahkan para menterinya untuk menjawab pertanyaan dalam acara tanya-jawab berbahasa Inggris. Misalnya dalam tanya-jawab di sebuah forum ketika melawat ke Amerika beberapa hari lalu, Jokowi cukup menjawab dengan kalimat pendek: “I want to test my minister. Please answer the question.” Dan bila jawaban tersebut diulanginya kembali saat harus menjawab pertanyaan berikutnya dan hanya ditambah dengan kata “again,” jawaban Jokowi tetap tak keliru.

Bukan karena dia tak bisa berbahasa Inggris, tapi sebagai presiden, dia hanya ingin menguji para pembantunya, dan dia memang berhak untuk melakukan hal tersebut. Soal apakah kemudian para menterinya ternyata (lebih) jago berbahasa Inggris dari Jokowi, tentulah itu perkara lain.

* * *

“Okay, sampai di sini I hope you understand, tak iye.” Begitulah kata orang Madura yang sedang belajar bahasa Inggris.

Exit mobile version