MOJOK.CO – Memilih menjadi anak IPS adalah sebuah jalan pedang, ia penuh dengan stereotip-stereotip menyebalkan.
Beberapa waktu yang lalu, secara tak sengaja, saya melihat sebuah video di Tiktok tentang perbandingan karakter anak jurusan IPS dan IPA. Seperti selayaknya konten-konten perbandingan yang sudah-sudah, video tersebut menampilkan stereotip-stereotip standar bin basic bin klise tentang anak jurusan IPS dan IPA. Dalam video tersebut, tentu saja anak IPA disebut cenderung lebih unggul secara akademis dan punya segudang prestasi dibandingkan anak IPS.
Saya pikir, stereotip ini sudah hidup amat lama dan tampaknya masih akan terus awet kayak potongan rambut Kak Seto. Tak peduli sedahsyat apa pun gempuran pengetahuan parenting terkait konsep minat dan bakat anak, orang tua-orang tua saat ini masih sangat banyak yang berharap agar anaknya bisa masuk IPA.
Entah kenapa, orang-orang terlalu meyakini bahwa ilmu hayat adalah kunci segala perkara.
Sebagai seorang anak IPS, saya tentu saja selalu punya kegelisahan pada stereotip tersebut. Sampai pada satu titik, saya merasa ingin sekali mengabdikan hidup saya untuk melawan stigma buruk (atau setidaknya tidak lebih baik) yang melekat pada diri anak-anak IPS.
Dari pengalaman empiris saya bergulat dengan kehidupan IPS, saya merasa bahwa stereotip tentang anak IPS adalah hal yang sudah terlalu berlebihan untuk terus dilanggengkan.
Saya terlahir di keluarga yang sangat moderat. Orang tua mengizinkan saya untuk masuk jurusan apa saja. Masuk IPA atau IPS, terserah, kata orang tua saya.
Kelak, walaupun moderat, orang tua saya tetap saja kaget saat mengetahui kalau saya memilih masuk IPS. Saya meminta pindah dari IPA ke IPS. Tentu saja saya memilih IPS bukan agar dianggap edgy, namun memang saya merasa kemistri saya ada di ilmu sosial, bukan ilmu hayat. Selain itu, saya juga sudah punya bayangan mau ambil jurusan apa saja ketika saya kuliah nanti.
Di kelas IPS di sekolah saya, jumlah siswanya hanyalah separuh dari jumlah siswa kelas IPA. Kendati demikian, dengan anggota yang sedikit ini, kami jadi lebih solid. Kalau ada acara keluar, mobilisasinya mudah.
Kelas anak IPS selalu diidentikkan dengan kelas yang penuh dengan makhluk-makhluk bebal dan beringas. Maklum, orang kadung menganggap kalau jurusan IPS adalah buangan jurusan IPA. Pada kenyataannya, di kelas saya, tidak demikian yang terjadi. Kelas saya sangat-sangat kondusif. Tidak ada keberingasan seperti yang dicitrakan oleh banyak orang tentang kelas IPS.
Urusan makhluk bebal, ini juga debatable. Saya cermati siswa-siswa di kelas IPS di sekolah saya, dan saya menemukan ada banyak sekali siswa berprestasi. Ada yang saat SMP langganan juara kompetisi pidato bahasa inggris, bahkan ada juga yang merupakan penyandang nilai UN terbaik.
Tidak hanya siswa berprestasi, aktivis organisasi siswa juga banyak yang ada di kelas saya. Ketua Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) sebagian besar ada di kelas IPS, bukan di kelas IPA. Begitu pula dengan OSIS, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, sampai Palang Merah Remaja.
Sayang sekali, dengan fakta-fakta seperti itu, ketimpangan stigma tentang anak IPA dan IPS tetap tumbuh subur.
Salah satu yang paling menyebalkan adalah mudahnya anak IPA kalau ingin pindah ke IPS dan susahnya anak IPS kalau mau pindah ke IPA.
Hal tersebut berlanjut sampai jenjang kuliah. Bayangkan, saat seleksi masuk perguruan tinggi, anak IPA bisa dengan mudah mengambil jurusan kelompok IPS dan menikung teman-teman IPS. Sedangkan anak IPS dipaksa tetap istiqomah dengan jurusan IPS. Ini tentu saja adalah sebuah ketidakadilan besar. Ketidakadilan yang negara ikut serta di dalamnya.
Kalau bukan karena anak IPS yang selow dan penuh sopan santuy, bukan mustahil pelataran Monas sudah penuh oleh anak-anak IPS yang salat jumat di sana lantas berorasi menuntut penghapusan ketidakadilan sistemik dan struktural itu.
Dunia sudah membuktikan, bahwa kesuksesan toh bukan didominasi oleh anak-anak IPA.
Urusan peluang, anak IPS setara, Pada titik tertentu, mereka bahkan jauh lebih visioner, sebab banyak dari mereka yang masuk IPS murni karena keteguhan hati dan memang sudah punya visi tentang masa depan mereka. Berbeda dengan anak IPA yang, tak bisa dimungkiri, banyak yang sejak awal berkeinginan masuk IPA karena merasa ia lebih unggul ketimbang IPS.
Lagipula, segala kesuksesan peradaban dunia ini dibangun oleh anak-anak pembelajar ilmu sosial dan ilmu hayat dengan porsi yang sangat berimbang.
Benar bahwa banyak penemu teknologi kehidupan ini didominasi oleh orang IPA, namun tak bisa disangkal bahwa segala penemuan akan selalu berhubungan dengan pembiayaan, dan urusan pembiayaan, pastilah erat dengan ekonomi, dan ekonomi, tentu saja adalah bagian dari ilmu sosial.
Benar bahwa perusahaan-perusahaan teknologi banyak diisi oleh insinyur-insinyur jebolan IPA, namun tak bisa disangkal bahwa yang mengurus gaji insinyur-insinyur itu adalah orang-orang manajemen keuangan, dan tentu saja mereka kebanyakan orang IPS.
Benar bahwa anak-anak IPA berpotensi menjadi dokter-dokter spesialis, namun tak bisa dimungkiri, banyak anak IPS yang berpotensi menjadi pemilik atau komisaris rumah sakit tempat para dokter itu bekerja.
Sudah saatnya stereotip ngehek dan menyebalkan tentang anak IPS untuk mulai diluruhkan, baik secara bertahap maupun tidak.
BACA JUGA: Stereotip Anak IPA dan IPS yang Nggak Habis-Habis.