Stasiun Tugu Jogja, Stasiun Modern yang Terus Bersolek tapi Ternyata Belum Ramah Driver Ojol dan Para Penggunanya

Stasiun Tugu Jogja Belum Ramah Driver Ojol dan Penggunanya MOJOK.CO

Ilustrasi Stasiun Tugu Jogja Belum Ramah Driver Ojol dan Penggunanya. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COStasiun Tugu Jogja adalah stasiun yang menyenangkan. Namun, ia masih belum sepenuhnya ramah untuk driver ojol dan calon penumpangnya.

Sebelumnya, saya wajib mengapresiasi perkembangan stasiun di Provinsi DIY, yaitu Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu Jogja. Keduanya menjadi stasiun yang jauh lebih modern, seiring modernisasi yang dibidani oleh Ignasius Jonan. Naik kereta menjadi salah satu pilihan transportasi yang lebih menyenangkan.

Dulu, jujur saja saya agak malas naik kereta. Sudah peron stasiun yang super padat dan agak chaos, sampai kereta ekonomi yang kurang manusiawi. Makanya, saya lebih memilih naik bus saja ketika kembali ke Malang dari Jogja untuk kuliah. Saat itu, hanya kereta api eksekutif yang terasa paling manusiawi.

Selain modernisasi kereta, perubahan besar juga terjadi di banyak stasiun. Untuk Jogja sendiri, Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu Jogja bersolek menjadi lebih indah. Mulai peron yang lebih nyaman, hingga proses pembelian tiket yang lebih tertata. Oleh sebab itu, menunggu kereta di stasiun jadi lebih menyenangkan dibanding dulu.

Stasiun Tugu Jogja, stasiun dengan lokasi yang strategis

Stasiun Tugu Jogja adalah stasiun jarak jauh. Perjalanan ke barat, misalnya Bandung atau Jakarta, lalu ke timur menuju Malang atau Surabaya, berawal dari sini. Kini, kamu juga bisa naik KRL dari sini untuk menuju Solo dan sekitarnya. Tugu, menjadi stasiun yang komplet.

Stasiun Tugu Jogja juga terletak di lokasi yang sangat strategis. Posisinya hanya sepelemparan batu dari Malioboro, salah satu pusat keramaian dan ekonomi Provinsi DIY. Lantaran terletak sangat dekat dengan pusat tujuan pelancong, artinya, stasiun ini juga dekat dengan hotel-hotel besar. Maka, tidak heran jika volume pengguna kereta dari stasiun ini semakin meningkat.

Jika sebuah landmark berdekatan dengan pusat tujuan pelancong dan hotel besar, maka ia membutuhkan satu lagi unsur penting. Unsur yang saya maksud adalah moda transportasi. 

Baca halaman selanjutnya: Stasiun modern, menyenangkan, tapi ada 1 kekurangan yang agak mengganggu.

Ketika ojek online menjadi opsi paling ideal ketimbang Trans Jogja  

Bagi orang asli Jogja, atau yang sudah lama menetap, pasti merasakan bahwa kendaraan pribadi adalah pilihan paling logis. Khususnya bagi mereka yang dikejar oleh waktu harus segera menuju stasiun atau terminal. Salah satu yang membuat kendaraan pribadi sulit ditinggalkan adalah soal jarak dan waktu.

Iya, Jogja memang punya Bus Trans. Namun, bus umum ini punya masalah dalam hal kedatangan. Orang yang, misalnya, harus segera menuju Stasiun Tugu Jogja, tidak mungkin mau menunggu 20 hingga 30 menit lebih lama. Sudah begitu, Jogja tidak punya kendaraan feeder, yang mengantar/menjemput dari rumah sampai hale terdekat.

Oleh sebab itu, demi menghemat waktu, kebanyakan orang memilih ojek online. Apalagi bagi mereka yang rumahnya tidak begitu jauh dari Stasiun Lempuyangan atau Stasiun Tugu Jogja. Tarifnya saja murah. Misalnya, rumah teman saya ada di Baciro atau dekat Stadion Mandala Krida. Untuk sampai Stasiun Tugu Jogja, dia hanya perlu mengeluarkan uang Rp14 ribu.

Perjalanan paling lama 10 menit saja. Sudah begitu, driver ojek online mengantarnya sampai ke depan pintu masuk sebelah timur. Ini pintu masuk yang berhadapan dengan Jalan Mangkubumi (Jalan Margo Utomo). Teman saya bisa juga berhenti di gerbang Pasar Kembang. Tarif dan durasi perjalanan hampir tidak berbeda.

Jadi, untuk “menuju” Stasiun Tugu Jogja, memang jauh lebih enak naik ojek online. Saya membayangkan betapa pengguna kereta api akan sangat bahagia apabila ada Trans Jogja bisa masuk sampai depan pintu masuk. Yah, maklum, tidak semua orang Jogja mau agak repot mencari halte terdekat dari stasiun tersebut. Kalau ada yang lebih praktis, kenapa kudu repot baik Trans yang peminatnya semakin turun itu?

Nah, jika untuk “menuju” tidak menjadi masalah, lantas bagaimana dengan pengguna kereta api yang mau “meninggalkan” Stasiun Tugu Jogja? Nah, di sini, ada sedikit masalah.

Harga yang terlampau tinggi

Untuk “meninggalkan” Stasiun Tugu Jogja, menurut saya, paling enak tetap naik ojek online. Mau kamu pelancong yang belum pernah main ke kota pelajar sampai akamsi. Naik ojek online itu praktis dan murah. Nah, izinkan saya menjelaskan masalah di Stasiun Tugu lewat cerita teman saya.

Suatu malam, sekitar pukul 9 malam, dia turun di Stasiun Tugu Jogja. Teman saya ini baru saja meliput Piala Dunia U17 di Surabaya. Lelah, dia ingin segera pulang. Maka, begitu sampai Tugu, dia langsung memesan ojek online. Namun, malam itu, dia hendak memilih cara berbeda. Dia ingin naik ojek stasiun.

Begitu keluar dari area steril pengantar, beberapa driver ojek stasiun menawarkan jasanya. Setelah basa-basi sebentar, teman saya menanyakan tarif sekali antar menuju daerah dekat Stadion Mandala Krida. Si driver ojek stasiun menjawab: “Tiga puluh lima ribu, Mas.” MAHAL SEKALI.

Teman saya membatin. “Kalau dari rumah ke stasiun cuma Rp14 ribu, berarti pulangnya ya nggak berbeda jauh.” 

Setelah mendengar jawaban dari si bapak driver, teman saya senyum lalu pamit. Eh, si bapak driver masih berusaha menahan. 

“Mas, kalau macet begini, susah dapat ojol.” Si bapak tahu saja kalau teman saya sudah mau membuka aplikasi Gojek tepat setelah balik badan.

Ya, di depan Stasiun Tugu Jogja, arah Pasar Kembang, memang macet. Maklum, malam minggu plus ada acara kebudayaan di Malioboro. Lantas, benarkah susah mendapatkan ojol di saat-saat seperti ini? Teman saya membuka aplikasi Gojek, lalu memesan GoRide. Tidak sampai 30 detik, dia sudah mendapat driver. Cepat dan komunikatif pula driver-nya.

Lokasi penjemputan yang kurang manusiawi

Nah, di sinilah masalah sebenarnya. Tarif ojek stasiun memang mahal, tapi harga selalu relatif untuk masing-masing orang. Namun tidak dengan lokasi penjemputan.

Yah, kita sama-sama tahu kalau dulu ada gesekan antara ojek pangakalan dengan ojek online. Oleh sebab itu, di Stasiun Tugu Jogja, driver ojol tidak bisa sembarangan “mengangkut” penumpang. 

Biasanya ada 2 lokasi penjemputan, yaitu di depan Hotel Neo Malioboro dan Hotel Arte. Driver ojol tidak boleh menjemput di depan Hotel Abadi, yang terletak persis di seberang stasiun. Artinya, calon penumpang harus berjalan ke kiri atau kanan stasiun, yang mana ini bukan masalah besar.

Masalah ada di titik penjemputan di depan Hotel Arte. Titik tersebut memang seperti disiapkan oleh pihak stasiun, supaya calon penumpang ojol bisa menunggu. Namun, lokasinya, menurut saya, kurang manusiawi. Lokasinya ada persis di trotoar pinggir jalan.

Sudah begitu, lokasinya tanpa peneduh. Jadi, kala siang dan panas menyengat Jogja, calon penumpang ojol harus mandi sinar matahari. Kalau malam dan hujan, ya tentu jadi perkara. Malam minggu dan jalanan super padat, calon penumpang bisa terserempet pengendara yang tidak waspada. Bahaya sekali.

Sudah begitu, lokasi tersebut BAU PESING! Entah bagaimana awalnya, tapi kok ya ada manusia yang tega kencing sembarangan di tempat orang menunggu ojol. Lokasi tersebut sama sekali tidak nyaman dan aman. Menurut saya, pihak Stasiun Tugu Jogja tidak akan kesulitan secara keuangan jika membuatkan peneduh yang cukup menampung banyak orang.

Pengelola Stasiun Tugu Jogja perlu memikirkan ini

Saya, sih, punya saran kepada pengelola Stasiun Tugu Jogja untuk mengatasi masalah ini. Pertama, membuat peneduh seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Bakal jadi lebih indah jika lokasi penjemputan tersebut dibuat menjadi semacam taman. Pihak pengelola bisa juga membuatkan semacam “kantin kecil”. Jadi, semua orang yang menunggu di sana bisa membeli minuman. Ah, semua dapat cuan, bukan.

Kedua, membuka kembali akses keluar ke arah Jalan Margo Utomo. Saat ini, pintu tersebut hanya boleh dipakai untuk masuk saja (mengantar). Saya, sih, memahami bahwa kebijakan ini untuk mencegah antrean dan penumpukan kendaraan. Maklum, di sana ada rel kereta yang sangat aktif dan bisa membahayakan.

Namun, dengan manajemen yang baik, saya rasa bahaya itu bisa dihindari. Jadi, mereka yang akan “meninggalkan” Stasiun Tugu Jogja, bisa menuju ke sana. Sudah begitu, driver ojol juga jadi enak untuk menjemput. Tidak ada penumpukan dan calon penumpang ojol bisa menunggu di lokasi yang lebih manusiawi.

Ingat, calon penumpang ojol artinya pengguna jasa Stasiun Tugu Jogja dan PT KAI. Moda transportasi yang saling terhubung pasti menguntungkan semua pihak. Cuan pasti mengalir dan yang paling diuntungkan adalah masyarakat. Kalau begitu, bukankah ini win-win solution? Enak, kan?

Penulis: Moddie Alvianto W.

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Stasiun Lempuyangan Jogja, Stasiun Sederhana Saksi Pertemuan yang Manis dan Perpisahan yang Tragis dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version