Ekspresi “Duuuuh” saja rasanya kurang nendang buat mengomentari fakta terkini terkait jumlah anak SD yang tidak naik kelas. Menurut ikhtisar data pendidikan 2015/2016 yang dikeluarkan oleh Kemdikbud, jumlah siswa yang mengulang alias tidak naik kelas SD mencapai 422.082 anak. Dari angka tersebut, jumlah tertinggi diraih oleh kelas 1, yakni 194.967 anak, disusul kelas 2 sejumlah 89.561 anak, dan kelas 3 sejumlah 65.493 anak (Kompas/10 Oktober 2016)
Jaman dulu, era 90-an, siswa yang tidak naik kelas biasanya memang siswa yang kelewat badung, nggentho, nggak mau belajar, atau memang punya kesulitan belajar khusus. Plus lagi, mereka nggak naik kelas biasanya di tingkat kelas “tinggi”, yakni kelas 3, 4, atau 5.
Nah, di jaman sekarang ini, abad 21, mayoritas siswa yang nggak naik kelas kok ya malah kelas yang “lucu dan imut”, kelas 1 sampai 3. Ada apa ini? Padahal anak saya yang pernah ngicipin PAUD udah ditatar baca ABC dan A Ba Ta setiap sebelum jam masuk sekolah di usia 3-4 tahun. Mantep tho? kurang kecil apa coba? disuruh belajar baca sedari kecil. Disuruh lho ya, bukan maunya si anak sendiri. Trus kok bisa-bisanya angka nggak naik kelas paling tinggi justru di kelas 1 SD. Benar-benar aneh bin nggapleki.
Kelas 1 SD adalah tahun pertama anak anak memasuki gerbang dunia pendidikan. Kesan terhadap belajar akan terbentuk di kelas kelas dasar ini. Apa mereka akan senang dan cinta belajar?
Ditambah lagi, anak kelas 1 sampai 3 SD cara belajarnya berbeda dengan anak anak di usia yang lebih tua. Mereka masih harus belajar dengan cara konkrit, alias mempelajari sesuatu dengan mengoptimalkan seluruh inderanya. Kalau mau belajar matematika, misalnya, ya harus bisa mereka lihat pegang dan hitung bendanya, bukan sekadar simbol angka. Ini sudah disebutkan oleh banyak ahli pendidikan selama lebih dari puluhan tahun dan telah didukung oleh aneka penelitian sampai yang melibatkan scan otak! Saya yakin semua guru pasti sudah tahu teori ini, lawong dipelajari pas kuliah, kalaupun nggak kuliah pendidikan, teori ini banyak diketahui.
Tapi kenyataan di lapangan seringkali lain. Entah apa mungkin karena guru jaman sekarang terlalu menghargai penemuan kertas dan pensil serta tata krama terhadap kertas dan pensil agar digunakan secara proper. Padahal buat anak kecil, pensil itu enaknya ya buat dideretin, dihitung, atau dibikin bentuk rangka kapal-kapalan. Kertas itu enaknya ya diguntng, disobek, dicoret-coret, dilipat. Toh nantinya, mereka juga akan sampai pada usia di mana mereka menemukan “aha” momen bahwa kertas dan pensil enaknya memang buat nulis.
Di kota, Bimbel-bimbel calistung dengan spanduk unyu dan warna warni sudah menjamur, target marketnya ya orangtua anak balita. Katanya buat persiapan masuk SD. Guru guru TK sekarang nggak lagi senang mengajar tari, nyanyi, dan meronce, tapi sibuk mengejar calistung. Biar lulus masuk SD katanya.
Guru SD juga sejalan, jaman sekarang banyak guru yang nggak mau repot repot mengajari calistung kepada anak kelas 1 SD. Maunya yang sudah bisa. Dikasih buku dan soal langsung mudeng. Standar siapa? Nggak tahu. Pemerintah saja nggak mensyaratkan bisa calistung sebagai syarat masuk SD. Kadang-kadang kan begitu, tuntutan sosial lebih didengarkan daripada tuntutan ilmu dan logika.
Orangtua juga demikian, memang menggoda sih melihat anak anak balita bisa baca hitung tulis kayak orang gedhe. Pinter gitu. Trus di rumah anak itu sudah belajar apa saja, sehingga siap dan bisa calistung di usia dini. Pokoknya anak kecil bisa baca itu keren dan pinter.
Nah yang dilakukan kemudian adalah menyamakan cara kerja otak anak dengan orang dewasa, digeberlah pakai latihan soal. Bisa? Ya mungkin banyak yang bisa. Lha wong singa laut aja juga bisa diajar ngitung. Perkara si anak seneng atau nggak, merasa terbebani atau nggak, itu perkara nomor enam belas.
Kata salah satu pakar pendidikan kita, faktor utama hal ini adalah kualitas guru kelas 1 yang kapabilitasnya semakin hari semakin menurun. Saya setuju dengan beliau. Dulu, yang namanya guru kelas 1 biasanya adalah guru yang sudah baya, yang senior dan berumur, sehingga ketlatenannya teruji, kesabarannya mantap, juga paham benar terhadap pemahaman tumbuh kembang anak. Berbeda dengan guru kelas 1 jaman sekarang yang rata-rata masih muda dan junior, mungkin kencang dan langsing juga agar lincah mengejar anak anak yang masih senang berlarian atau agar pitch-nya masih tinggi buat neriakin anak anak yang ribut.
Sebagaimana para orangtua junior, guru-guru junior juga masih kurang jam terbangnya dalam “membaca” gaya belajar anak, perkembangan kognitif mereka, dan yang terpenting, trik trik agar mereka termotivasi untuk terus belajar. Terus termotivasi untuk sekolah dan jadi orang berpengetahuan.
Motivasi ini super penting, apalagi untuk anak-anak yang sekolah di pelosok dan pinggiran yang infrastrukturnya tampak sengaja dibiarkan “jejaka” oleh pemerintah. Mungkin agar citra eksotis Indonesia tetap terjaga. Bersekolah pun harus jalan berkilometer, melewati sungai dan jurang. Kalau bukan gurunya yang memotivasi, lantas siapa lagi? Dora the Explorer?
Anak kecil itu cerdas, tapi lugu, karenanya sangat mudah dibentuk otak dan hatinya. Ke sekolah, mereka sedari awal sudah siap dan ingin belajar. Demi apa? demi disayang orangtua pastinya. Anak anak memang sesederhana itu.
Lha kalau masih piyik, baru mulai belajar sudah “digampar” dengan label tidak naik kelas, yang bukan disebabkan karena ketidaksiapan mereka untuk belajar di SD, melainkan lebih karena faktor sistem pendidikannya yang terlalu maksa, lantas bagaimana mereka bisa tetap tetap positif memandang diri mereka dan sekolah? Bagaimana mereka akan terus semangat? Bagaimana mereka akan cinta dengan ilmu pengetahuan? Bagaimana berharap Iptek Indonesia maju di masa depan? Dan bagaimana membuat mereka seperti pak Habibie? padahal setahu saya, pak Habibie tidak pernah tidak naik kelas, apalagi kelas 1 SD.
Haduuuuh, Pucing Pala Mendikbud…