MOJOK.CO – Segala perbuatan jahiliyah yang terjadi di pesantren saya bisa menjadi gambaran bobroknya pendidikan di Tasikmalaya. Miris sekali.
Saya pernah menulis tentang Tasikmalaya yang mendapat julukan kota santri. Tapi, ironisnya, kasus pencabulan kiai ke santriwati bertebaran di kota ini.
Kali ini, saya akan menuliskan sisi gelap pesantren di Tasikmalaya. Mungkin sebagian besar dari orang tua belum mengetahui isu ini. Khususnya orang tua yang punya rencana memasukkan anaknya ke pesantren. Saya tidak ingin menjelekkan, tapi memang ini kenyataan.
Enam tahun nyantri di Tasikmalaya
Saya sendiri pernah nyantri selama enam tahun di sebuah pesantren di Tasikmalaya. Pengalaman tersebut jujur saja membuat saya sangat muak. Mengapa pesantren sering disebut sebagai “penjara suci”?
Penjara ya penjara. Mau sesuci apapun, gelapnya pasti tercium. Sialnya, mereka membalut penjara itu dengan kata “suci”. Akibatnya, kita seakan-akan harus memaklumi segala kebusukan di dalamnya.
Mungkin para pembaca sering mendengar kasus senioritas di asrama militer. Banyak kasus hingga kematian yang terjadi karena siksaan dari senior. Nah, pesantren juga begitu. Kendati tidak dilatih menjadi tentara, kehidupan di sana juga tidak jauh beda.
Bedanya, yang satu dididik menjadi aparat. Satunya lagi dididik menjadi pengemban amanat. Lantas, bagaimana kita akan percaya dengan lulusannya? Apalagi jika wadah pendidikannya rusak dan pendidiknya juga menormalisasi tradisi setan tersebut!
Berikut sisi gelap pesantren di Tasikmalaya yang tidak mencerminkan kesuciannya, sebagaimana julukannya.
Menjadi babu dan disuruh kriminal
Bukan pesantren kalau nggak ada senioritas. Baik itu pesantren tradisional, maupun modern. Namun, dari pengamatan saya, kasus senioritas di pesantren modern di Tasikmalaya justru lebih parah. Karena bukan hanya feodal, tapi juga seperti kriminal.
Saya sendiri nyantri di pesantren modern. Budaya senioritas sangat lestari. Saking gilanya, angkatan genap dan ganjil dibuat bermusuhan. Meskipun pada akhirnya itu juga tidak berlaku. Intinya senior adalah dewa.
Bentuk senioritasnya juga beragam. Pokoknya di hadapan senior, junior itu bagaikan budak. Misal, kalau permisi, badan kita harus membungkuk. Kalau perlu, tangan kita sampai menyentuh lantai. Ini adalah bentuk senioritas paling kecil yang biasanya masih dianggap wajar oleh banyak orang di Tasikmalaya dan banyak tempat lainnya.
Lanjut ke level selanjutnya, yaitu menjadi babu pembawa makanan. Yaitu ketika jam makan, baik itu sarapan, siang, maupun malam. Santri junior harus siap-siap disuruh mengambil makan oleh senior.
Santri junior bisa bolak-balik mengantar makanan. Tentu tidak sekali karena banyak senior yang malas jalan kaki. Lebih menjijikkan karena piring para senior di sebuah pesantren di Tasikmalaya ini belum dicuci. Jadi, sebelum mengambil makanan, santri junior harus mencuci piringnya dulu.
Lebih gila lagi, santri junior juga harus mempunyai reflek menangkap piring. Kami menyebutnya sebagai “piring terbang”. Jadi, santri senior akan melemparkan piringnya dari lantai dua ke lantai satu. Santri junior di pesantren ini harus bisa menangkapnya. Kalau tidak tertangkap, siap-siap saja dimaki.
Harus siap upeti
Kasus piring terbang itu hanya salah satu dari fenomena aneh di sebuah pesantren di Tasikmalaya ini. Tidak puas menyuruh santri junior membawakan makan, santri senior juga sering meminta bekal makanan. Mau tidak mau, yang junior harus menuruti permintaan itu. Ibaratnya kayak upeti. Santri junior wajib memberikan “sesajen” ke senior.
Apabila tidak punya makanan, si junior akan disuruh memalak temannya sendiri atau adik kelasnya jika sudah kelas dua. Dan yang paling parah, santri senior menyuruh junior mencuri.
Senior tidak mau tahu. Makanan wajib ada. Tidak peduli caranya. Menjadi babu ini tidak hanya dalam konteks membawa makanan saja. Si junior juga harus mau mencuci pakaian kotor, membersihkan kamar senior di pesantren, memijat, pakaiannya diminta dengan dalih meminjam, dan juga dipalak.
Contoh pemalakannya kayak gini. Si senior ingin jajan jus, cilok, dan seblak. Dan, si junior cuma diberi Rp5 ribu rupiah saja, tapi harus sanggup membeli itu semua. Kalau tidak sanggup, siap-siap malam ila hujroti.
Sebuah pesantren di Tasikmalaya yang bikin badan harus siap babak belur
Malam ila hujroti artinya ‘akan ada malam penghakiman di kamar senior’. Alasan dipanggil ke kamar senior di tengah malam. Bisa jadi karena kita dianggap tidak sopan, atau di pesantren saya disebutnya polontong.
Bisa juga karena dianggap melanggar. Aturan yang dilanggarnya terserah senior di pesantren di Tasikmalaya ini. Karena senior yang mempunyai aturan dalam kepalanya sendiri.
Nah, di kamar senior ketika malam itu, hukumannya beragam. Semua alat dipakai untuk kekerasan. Bisa ditampar memakai sandal Eiger yang tebal, dipukul sampai lebam pakai rotan, dan yang paling parah dikeroyok satu kamar.
Jadi, para santri junior akan dibuat berbaris. Lampu dimatikan, senior ceramah soal kebajikan dan kekecewaan. Kemudian, sumpah serapah sambil mereka bergantian menampar, memukul, menendang, hingga akhirnya semua pukulan, tamparan dan tendangan datang bersamaan.
Setelah santri babak belur, ada satu senior dihadirkan sebagai penenang. Dia membawakan kalimat bijak supaya junior tidak sampai mengalami hal itu untuk kedua kalinya.
Situasi jahiliyah tersebut kami beri nama penggablogan atau digablogan. Artinya ‘dipukuli’, entah tangan kosong atau pakai barang.
Apakah para ustaz mengetahui tradisi penggablogan tersebut? Mereka tahu persis! Karena mereka juga dihasilkan dari tradisi serupa. Alhasil, ustaz di sebuah pesantren di Tasikmalaya ini membiarkan tradisi setan tersebut lestari.
Perilaku oknum ustaz
Seperti kebanyakan pesantren, di tempat saya juga tidak boleh membawa gawai. Namun, ada ustaz yang berkompromi. Jadi, kami boleh membawa gawai asal beli kuotanya dari dia. Si ustaz ini juga menjamin kalau dia tidak akan menyita gawai kami.
Tidak hanya itu, biasanya ustaz juga berebut kekuasaan. Jadi, mereka berebut program yang paling bagus untuk santri. Tapi ternyata, tidak ada yang bagus sama sekali.
Saya sendiri pernah membuat acara besar yang membutuhkan anggaran besar. Sayangnya, pihak pesantren tidak mau membantu. Namun, saat acara itu sukses, televisi dan koran meliputnya. Setelah itu, ada oknum ustaz yang tiba-tiba berdiri paling depan dan mengaku paling berusaha.
Selain dua hal di atas, ada lagi yang paling sial, yaitu diam saja ketika ada santri sedang digebuki. Si ustaz tahu, tapi membiarkan. Menyebalkan sekali.
Para oknum ustaz di sebuah pesantren di Tasikmalaya ini juga kurang terbuka dengan masukan, apalagi kritik dari para santri. Pernah ada ustaz yang merespons ketika santri mengkritik. Eh, dia menjawab dengan berkata, “Ya Allah, dirasuki setan apa kalian.” Hasilnya, dialektika jadi tidak terbangun.
Ustaz juga tidak mennggelar sex education. Akibatnya ada kasus yang melakukan pengemutan burungnya itu di kamar mandi. Sebagaimana makan es krim dalam keadaan sadar. Mau sama mau. Suram.
Sisi gelap sebuah pesantren di Tasikmalaya
Kira-kita itu dulu sisi gelap pesantren versi pondok saya. Tidak semua bisa saya tuliskan. Tapi sebagai gambaran, kejadian di atas adalah bukti betapa bobroknya lingkungan pendidikan di Tasikmalaya.
Angkatan saya mengajak angkatan lain untuk bersama memutuskan tradisi setan tersebut. Kami mengikrarkan diri untuk menghilangkan segala macam perilaku jahiliyah. Walau perlahan.
Namun sayangnya, para ustaz dan ustazah di pesantren saya itu tidak banyak berbenah. Mereka terus tenggelam dalam kekolotan. Karena buktinya, segala hal perilaku jahiliyah yang saya tuliskan di atas, sebagiannya, ternyata masih terjadi.
Memangnya saya terpantik menulis sisi gelap ini karena apa? Ya karena beberapa waktu lalu saya bertemu adik kelas. Ternyata, sebagian sisi gelap pesantren saya di Tasikmalaya itu terus berulang. Miris sekali.
Penulis: Rizky Fajar Nur Azis
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kekerasan di Pondok Pesantren Ditutupi Lagi dan catatan menyedihkan lainnya di rubrik ESAI.
