MOJOK.CO – Banyak kaum beragama suka berbicara tentang sesuatu yang luhur dan suci sampai berbusa-busa, namun dalam praktiknya justru memperlihatkan hal bejat.
Hasan al-Basri, sufi agung dan kesohor dari Basrah itu, memiliki tetangga bernama Simeon, seorang Majusi yang menyembah api.
Suatu ketika, Simeon jatuh sakit dan ajalnya hampir tiba. Hasan menjenguknya. Oleh Hasan, didapatinya Simeon tengah terbaring di tempat tidur. Tubuhnya telah menghitam karena api dan asap.
“Engkau telah menghabiskan seluruh hidupmu di tengah api dan asap, Simeon, terimalah Islam, semoga Allah memberi rahmat kepadamu,” bisik Hasan yang terenyuh melihat kondisi tetangganya itu.
Simeon hanya diam sambil menatap Hasan, hingga akhirnya, ia berkata kepada Hasan, “Ada tiga hal yang menahanku untuk menjadi seorang Muslim, Hasan Saudaraku,” ujarnya lirih. Hasan menyimak.
“Yang pertama, kalian berbicara buruk tentang dunia, namun siang dan malam kalian tak henti mengejar-ngejar hal-hal duniawi. Kedua, kalian mengatakan bahwa kematian adalah kenyataan yang tak dapat disangkal, namun kalian sama sekali tidak melakukan persiapan untuk itu. Ketiga, kalian mengatakan bahwa wajah Tuhan akan terlihat, namun hari ini kalian melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan kesukaan-Nya,” terang Simeon.
Farid ad-Din Attar menuliskan kisah yang menggetarkan itu dalam kitabnya, Tazkiratul Auliya. Memang masih agak panjang dialog antara keduanya, namun penggalan dialog tersebut rasanya sudah sangat cukup untuk menghantam batin banyak orang.
Simeon mengingatkan kita bahwa setiap ekspresi keagamaan kita akan dipandang orang lain sebagai cerminan dari agama kita. Orang-orang percaya bahwa identitas dan personalitas seseorang berasal dan dibentuk dari nilai-nilai yang diyakininya.
Penilaian pukul rata semacam itu tentu saja tidak selalu benar. Di sana ada generalisasi. Simeon hanya melihat beberapa perilaku dan membuat kesimpulan. Lalu lahirlah stereotip yang boleh jadi dipercaya oleh orang-orang Majusi lainnya. Dan seperti selayaknya stereotip, ia didasarkan pada perilaku terburuk dari anggota komunitas yang dituju. Tak beda dengan anggapan kita bahwa perempuan Sunda itu matre, orang Batak itu pelit, orang Madura itu reseh atau orang Jawa itu hipokrit dan sebagainya.
Namun bukan berarti Simeon sepenuhnya keliru. Kesenjangan antara ajaran yang diklaim dengan kenyataan yang terlihat di masyarakat muslim pada kenyataannya merupakan fakta yang memang ada, bahkan hingga hari ini.
Banyak kaum beragama suka berbicara tentang sesuatu yang luhur dan suci sampai berbusa-busa, namun dalam praktiknya justru memperlihatkan hal bejat, hal yang blas nggak ada luhur-luhurnnya. Orang-orang mengutip Alquran tapi mengkhianati pesan-pesannya. Hadis-hadis Nabi saw. dicatut namun sekadar untuk melegitimasi ambisi dan kepentingannya sendiri.
Hasan al-Basri juga mengakuinya. Sebagai ulama senior, ia tak kurang-kurang mengkritik tingkah-polah para penguasa yang hidup pada masanya yang suka melacurkan agama, orang-orang yang sok suci, dan bentuk-bentuk kebrengsekan lainnya.
“Ada tiga jenis penghafal Alquran. Pertama, orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai barang dagangan. Mereka menjajakannya dari satu kota ke kota yang lain untuk memperoleh upah. Kedua, orang yang menghafal Alquran ayat demi ayat tapi mengabaikan pesan-pesannya. Ketiga, orang yang menghafal Alquran, menggunakan ayat-ayatnya untuk mengobati hatinya, membuatnya makin khusyuk, makin tenang dan banyak bersedih,” kata Hasan al-Basri suatu kali, mengomentari sikap para ulama terhadap Alquran.
Tokoh yang lahir pada 21 H ini memang hidup pada masa ketika pertentangan soal teologi dan politik begitu sengit, bahkan tak jarang memakan banyak korban. Banyak ulama yang terseret dalam pusaran konflik.
Di tengah situasi itu, Hasan al-Basri menjadi sakaguru. Majelisnya di Masjid Basrah dibanjiri orang yang ingin belajar tentang Alquran, hadis, fikih, teologi, tatabahasa, tasawuf dan ilmu-ilmu lainnya.
Hasan al-Basri juga dikenang sebagai seorang orator ulung. Nasihat-nasihatnya yang indah dan mendalam masih sering didengungkan hingga saat ini.
Ia kerap mengingatkan tentang kematian, ajakan untuk selalu takut kepada Allah, dan berhati-hari dengan prahara di akhirat. Nasihat-nasihatnya tentang neraka bahkan membuat orang berpikir bahwa seolah Hasan al-Basri baru pulang dari sana dan menceritakan keadaan yang dilihatnya.
Karenanya, Hasan al-Basri begitu sering menangis dan menasihati orang-orang agar menjadi muslim yang baik, salah satunya adalah tentang menjaga lidah. “Siapa yang tidak menjaga lisannya, berarti ia tidak memahami agamanya,” katanya. Lidah yang tak bertulang itu memang sering membuat masalah.
Maka Hasan al-Basri mengingatkan, “Akal orang cerdas mendahului mulutnya, sementara mulut orang yang bodoh lebih mendahuli akalnya.”
Nasihat ini mungkin terdengar klise, tapi saya kira ia tetap dan akan terus relevan untuk menjadi panduan kapan saja, terlebih di saat kata-kata makin gaduh seperti saat ini. Ketika setiap orang bisa berbicara apa saja atas nama apa saja, tak terkecuali agama.
Gara-gara lisan pula banyak orang yang berkedudukan rendah menjadi orang terhomat dan mulia karena berbicara dengan bahasa yang benar dan indah. Sama halnya, banyak orang yang lahir terhormat menjadi rendah dan hina di hadapan khalayak karena tidak memedulikan bahasa.
Hasan al-Basri sudah membuktikannya sendiri. Ia bukan keturunan ningrat. Bapak ibunya adalah budak. Tapi nama Hasan al-Basri menjulang dan harum hingga hari ini. Ilmu yang ia miliki, akhlak yang ia pelihara, serta tutur kata yang ia jaga pada akhirnya mengangkat derajatnya.
Tentu saja Hasan al-Basri jauh dari sosok yang pernah diceritakah oleh Husain Mu’nis, seorang penulis Sirah Nabi dari Mesir, tentang seorang ustad di kampungnya. Sang ustad adalah seorang penceramah yang fasih. Ia bisa menuturkan riwayat Nabi hingga membuat para jamaah terkesima dan bahkan tersedu-sedu.
Namun selepas ceramah, ia bergegas menuju tukang daging, meminta potongan daging berukuran besar dengan harga yang semurah mungkin, kalau bisa jauh di bawah harga normal. Sudah begitu, ia masih berkeras meminta bonus. Tak lama kemudian, ia tampak berbaring di pelataran rumahnya, sesak napas karena kekenyangan.
BACA JUGA Pentingnya Pelajaran Memasak bagi Sarjana Tafsir Hadis dan tulisan Zaid Sudi lainnya.