MOJOK.CO – Bagi para snobis kopi di Jogja, tahu tidak soal Badrun? Iya, Badrun pemilik warung kopi legendaris di Jogja bernama Blandongan. Pionir kafe kopi yang sekarang sudah menyebar macam gulma.
Saya sudah ngopi sejak bayi. Mungkin, orangtua saya percaya sama kaul orangtua sebayanya, bahwa bayi yang sesekali dikasih minum kopi dapat menolak sawan, apalagi step, apalagi stres. Efek sampingnya mungkin cuma satu, yaitu berubahnya warna kulit, dari kuning langsat ke agak kelabu.
Ketika sudah menjadi anak-anak, saya sering nyicip kopi ayah, biasanya joinan ketika beliau saya sedang nyolder kabel atau memperbaiki jam tangan, pekerjaan sampingan beliau di samping mengajar. Hingga akhirnya merantau ke Jogja, mulailah saya mendapatkan masalah. Kopi hitam susah didapat. Kalau datang ke warung makan, kalaupun ada kopi, biasanya kopinya encer, mirip teh yang terlalu kental atau oli mobil yang baru diganti. Kalau harus beli di warung burjo, harganya agak mahal, itupun kopi takaran pabrik, kopi kemasan.
Saya coba beli bubuknya saja. Salah satunya Cap Kreteg (kalau tak salah), tapi saya kurang suka aromanya. Mau beli kopi instan saya kurang suka entitasnya karena alasan ideologis, di mana pelayan warung tidak mengeluarkan keahlian apa pun, tak perlu menakar dan kecakapan dalam mengaduk, hanya butuh kepiawaian menuang air. Masa sudah dijajah kompeni ratusan tahun masih pula selera kita yang dijajah juga? Betapa tidak berdaulatnya!
Akhirnya, saya bawa bubuk kopi sendiri dari rumah, kopi yang disangrai dan ditumbuk sendiri. Teman-teman berdatangan sehingga meja di serambi depan kos saya—kalau dilihat dari jarak 10 meteran—sudah mirip warung: ada gelas, ada sendok, ceret, toples, dll. Entah karena posisi kos (bernama Losmen Hantu) tersebut yang strategis karena berada di mulut gang atau karena unsur kopi gratisnya, teman-teman jadi semakin rajin singgah. Untung saja demitnya tidak ikut-ikutan ngopi.
Gelombang pertama kopi dunia itu memang dimulai oleh kopi instan, jadi harus diakui pengaruhnya. Karena itu, kawan-kawan saya senang dengan kopi sajian ini karena kopinya bukan kopi toko, tapi seperti kopi rumahan, gampangnya; “Kopi Madura” kata mereka. Tapi, sebutan ini kadang jadi modal olokan kawan dari Jawa: “Emang di Madura itu ada kebun kopi?” Mareka yang bilang seperti ini tentunya tidak tahu kalau pernyataan tersebut adalah semacam kesombongan tentang identitas, kepercayadirian.
Yang dipikirkan orang adalah bahwa “Kopi Madura” itu adalah kopi rakyat yang dibeli di pasar, biasanya varietas robusta, kiriman dari Jember atau Banyuwangi, makanya frase kopi Madura itu salah karena di Madura tidak ada pohon kopi. Tapi, orang Maduranya cuma tiru-tiru sama “Kopi Turki” dan “Cokelat Swiss”. Ternyata, secara spesifik, Turki tak punya kebun kopi tapi mereka punya “Turk Kahveci”, Swiss pun tak punya kebun cokelat seperti Indonesia, tapi mereka punya Delfi.
Pagi sekali saya sudah menjerang air, bikin kopi. Jam 7, saat banyak mahasiswa berangkat kuliah, banyak pula yang mampir untuk nyeruput. Kadang ada gerombolan garis keras di antara mereka: cangkir masih hangat, isi sudah tinggal ampas.
Nah, karena tahu begitu, sempat terpikir untuk bikin warung kopi yang jualannya adalah kopi yang benar-benar terbuat dari biji kopi yang disangrai, bukan kopi yang berasal dari kulit kopi atau daun kopi, atau malah beras yang dikasih perisa kopi. Rentetan kejadian dan ide ini ternyata sama persis dialami Badrun, CEO Blandongan, sebuah warung kopi paling legendaris di Jogja.
Menurut teman kosnya, Heri Jauhari, yang tinggal satu “Limit” di Gang Genjah, kebetulan juga satu gang dengan kos saya, ide bikin warkop bermula dari banyaknya penumpang seruput. Ternyata, yang mewujudkannya itu Badrun, bukan saya.
Badrun lantas membuka warung kopi di selatan Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Gaten, dengan luas yang hanya sedikit lebih lebar dari kamar kosnya. Pengunjungnya pun belum seberapa ramai. Kala itu, seingat saya yang pernah mengitari ringroad Jogja bagian luar dan bagian dalam, belum saya lihat adanya penampakan “kafe” seperti Blandongan pada era 1999-2000. Entah kalau sejenis Starbuck dan Excelso apa sudah muncul di Jogja apa tidak, saya tak tahu.
Akhirnya, ide itu terwujud, tapi Badrun-lah yang mengeksekusi. Ia buka warkop bernama “Blandongan” yang terletak di selatan PP Wahid Hasyim, Gaten. Kala itu, orang masih risih menyebut “warkop” dengan “kafe”. Mungkin karena kata kafe mengandung kesan elite dan mahal, varietas kopinya beragam, proses penyajiannya macam-macam (kopi tetes, espresso, dll). Sekarang, yang jualan satu menu kopi dan bahkan sembari jualan kopi sasetan dan mi rebus pun bisa disebut kafe. Ini adalah salah satu contoh bahwa makna kata bisa berkembang atau menyempit, bergantung pada keadaan.
Sekitar 2005, Blandongan pindah ke Sorowajan, setelah sebelumnya di depan pondok dari sebelah selatannya. Perpindahan itu bikin situasi langsung berubah. Pengunjungnya mirip orang sedang tahlilan, ramai sekali. Dan sejak saat itulah, warung-warung kopi mulai bermunculan di Jogja area Gaten dan Selokan Mataram.
Ternyata, di Aceh, tahun tersebut juga menjadi tahun penanda kebangkitan kopi Aceh, terutama Gayo. Warung kopi yang dulunya hanya Kopi Solong di Ulee Kareng, lantas tumbuh berkembang seiring banyaknya relawan mancanegara yang membantu pemulihan korban tsunami besar di akhir tahun 2004. Relawan-relawan itu akhirnya tahu, kopi enak yang mereka minum di kafe-kafe selama ini, sebagian besar bijinya, berasal dari sana, dari Gayo dan sekitarnya.
Di Jogja, warkop-warkop bermunculan dan mereka mulai tidak segan mengganti nama menjadi kafe. Ada warung yang sangat beragam menjual cara dan varietas. Ada warung yang pembelinya diberi penjelasan dulu—kalau ditanya—sebelum meminumnya, sebagaimana ciri “gelombang ketiga” jagat perkopian dunia ini.
Berkesan ribet, tapi begitu adanya. Makanya, tak heran jika lantas ada tudingan munculnya kelompok snobis kopi. Siapa mereka? Orang yang ribet banget kalau bicara kopi, tentang single originnya kek, tentang temperatur air terbaik kek, tentang kadar air dalam setiap biji kopi setelah roasting kek, dan seterusnya.
Aslinya, ini wajar karena penyajian kopi dan prosesnya itu memang matematis, rumit. Bagi penggemar kopi ala jurusan IPA macam ini, wajar kalau mereka menolak cara bikin kopi dengan mode “guting-tuang-aduk”. Apalagi, mereka biasanya tahu betul bagaimana kopi itu pahit bukan hanya dalam bijinya, tetapi juga sejarahnya. Salah satunya adalah sisa cultuurstelsel di Sumatra Barat.
Di Payakumbuh, misalnya, dikenal “kawa daun”, yaitu sejenis teh beraroma kopi, yang tentu saja kastanya beda dengan cascara. Kawa, kemungkinan besar, berasal dari ‘kahwa’/’qahwa’ yang artinya kopi [sebagai minuman, sedangkan kopi sebagai biji, dalam Bahasa Arab, disebut “bunn”].
Kata kawa juga dikenal di masyarakat Takengon, di Gayo, seperti tersurat dalam Doa Pernikahan Kopi mereka: “Bismillahirrahmanirrahim, hai Siti Kawa, kao kukawinkan urung kuyu, wihkih walimu, tanoh kin saksi muhrimmu, mata uroe kin saksi pernikahanmu, kao kawinkan urung kuyu sebagai suamimu”
Kawa daun adalah kelas kedua jika kopi adalah kelas pertamanya, padahal, mestinya kawa daun adalah minuman tersendiri yang khas dan unik, bukan semacam “kopi yang tertunda” atau “minuman pengganti kopi”. Pandangan inferior seperti ini mungkin tercipta oleh sejarah panjang kolonialisme dan upaya penipuan yang dilakukan penjajah terhadap masyarakat untuk selanjutnya menjadi hantu di alam pikir orang banyak.
Semua ini bermula sejak adanya tanam paksa pada 1840, saat masyarakat harus menanam kopi tapi tidak dapat memimum kopinya. Dampaknya, mitos yang ditinggalkannya, seperti “kalau minum kopi yang sudah merah akan bikin mata merah” bahkan masih dipercayai sampai sekarang. Kejam sekali, padahal itulah biji kopi yang sudah matang.
Sejujurnya, saat ini, kondisi masyarakat kita masih mirip-mirip dengan zaman itu. Kopi-kopi terbaik dari Nusantara, dari Toraja sampai Bajawa, dari Ijen sampai Takengon, dikirim ke luar negeri.
Contoh: kopi terbaik Gayo dan Toraja atau Sumbawa dikirim ke Atlanta, kita dapat yang buruk-buruknya. Bahkan, seperti kopi yang unik karena tumbuh di lingkungan gunung belerang yang menyemburkan api biru yang konon hanya ada dua di dunia (di Bondowoso, Indonesia dan Islandia) bahkan banyak warga setempat pun tidak tahu-menahu soal ini, apalagi sampai menyicipinya.
Oke cukup, balik lagi ke Blandongan…
Setelah “Blandongan” berjaya, muncul yang lain, di sekitar situ, dari kafe “Nusantara” yang ketika itu sudah nggaya karena menyediakan hotspot, “Mato” yang parkirannya sangat luas, hingga banyak kafe lain yang bermunculan dan berjualan fasilitas, seperti nobar dan musik. Belakangan ada Basabasi yang disamping ada musik, juga sering dibuat pengajian dan diskusi. Warung Mojok? Entah, saya belum pernah ke situ.
Warung kopi yang disebut kafe itu menunya juga biasa, kopi giras ala Gresik dan Jombang, jarang yang jualan kopi Nusantara, tetapi tetap saja disebut kafe meskipun tak jarang ada pengunjung yang datang buat beli mi rebus dan minum es teh. Kafe-kafe khas Jogja adalah sepi di pagi hari karena orang-orangnya baru tidur setelah semalam begadang. Di Eropa, kalau pagi malah ramai karena ngopi dianggap penyemangat buat pergi kerja, bukan buat melek semalam atau ronda. Makanya, beda tempat, beda peruntukannya.
Apakah snobis kopi harus digusur? Bagaimana nasib penggemar kopi aliran sesat, eh, saset? Biarlah semuanya setara di hadapan kopi, akur saja tak usah bertengkar. Jika setelah minum Anda tetap melek tetapi tidak melihat persoalan ruwet dengan jernih, pasti itu ampas yang diberi perisa kopi. Kalau setelah minum Anda ngantuk, pastikan kalau yang Anda minum itu kopi tidak dicampur aprazolam atau diguyuri air rebusan buah pala. Ngopi itu mestinya bikin cerdas karena kopi itu minuman surgawi yang tersesat di dunia.
Pertanyaan: Apakah banyaknya kafe di Jogja ikut memperlambat laju melubernya pengangguran dari perguruan tinggi ini? Kita tanyakan sama Badrun, tentu di esai yang lain karena ini sudah terlalu panjang.