Sejak bekerja di lembaga yang intensif memfasilitasi pendidikan bagi masyarakat adat 5 tahun lalu, kata “primitif” jadi sering saya dengar dan seringkali membuat panas telinga. Biasanya, kata “primitif” muncul ketika ada yang bertanya atau berkomentar tentang masyarakat tempat saya bertugas.
Beberapa pertanyaan yang sering saya terima antara lain sebagai berikut:
“Oh, kamu kerja jadi guru di pedalaman ya? Masih primitif dong murid dan masyarakatnya?”
“Di sana masih primitif banget ya, Waz?”
“Gimana rasanya tinggal bareng orang primitif, Waz?”
“Sulit nggak tuh tinggal bareng orang-orang primitif gitu?”
Dan pertanyaan lain yang bentuk dan maksudnya tak jauh berbeda dengan pertanyaan di atas.
Jika suasana hati sedang nyaman, saya akan menjawab mereka dengan memberikan penjelasan secara literal arti “primitif” sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Sementara jika sebaliknya, saya biasanya mengabaikan saja pertanyaan itu.
Dalam KBBI, “primitif” adalah kata sifat yang memiliki arti: dalam keadaan yang sangat sederhana; belum maju (tentang peradaban; terbelakang). Dari penjelasan itu bisa disimpulkan: “primitif” adalah (sifat yang menunjukkan) belum maju, sangat sederhana, terbelakang dan tidak beradab.
Jika yang mampir sekadar pertanyaan, saya sebetulnya masih bisa maklum. Namun jika tiba-tiba ada yang langsung berkomentar dan memberikan pelabelan primitif terhadap masyarakat tempat saya bertugas, kuping rasanya mendadak panas betul.
Begini, saya merasa, dalam tataran tertentu, nilai-nilai kemanusiaan yang saya jalani dalam keseharian justru semakin terasah dan menjadi lebih baik usai belajar dari mereka yang dianggap primitif itu.
Misalkan saja tentang kesederhanaan, bagaimana menahan diri untuk tidak rakus, kesadaran untuk menjaga kebersihan lingkungan, memelihara mata air dengan baik, saling berbagi kepada sesama, dan sejumput nilai lainnya yang kini makin terkikis dalam kehidupan masyarakat dalam peradaban yang (katanya) modern itu.
Dahulu, saya kerap berbusa-busa mendebat siapa saja dan membela habis-habisan masyarakat adat yang dilabeli primitif dan tidak beradab itu. Saya siap berdebat sehari semalam untuk menang, hanya untuk menang, karena saya menolak kalah untuk hal ini.
Namun kini, setelah beberapa kunjungan ke Jakarta, Jogja, Denpasar, dan kota-kota besar lainnya di Indonsia yang dilakukan rekan-rekan saya dari masyarakat adat, saya hanya akan menertawai mereka yang masih mencap “primitif” suku-suku pedalaman seenak dengkulnya.
Sekali waktu di Jakarta, saya bersama beberapa rekan dari Orang Rimba, komunitas masyarakat adat di Jambi, terjebak dalam berengseknya kemacetan di Jakarta. Kami bersebelas berdesak-desakan di dalam sebuah mobil yang seharusnya hanya diisi maksimal 8 orang.
Ketika menoleh ke kanan, kami melihat bis Trans Jakarta dengan penumpang yang berjejal tak karuan. Lalu setelah ganti menoleh ke kiri, tampak sebuah sedan mewah yang hanya diisi seorang penumpang saja. Melihat pemandangan tersebut, Pengendum–Orang Rimba tulen–spontan bertanya:
“Faway, kenapa mereka yang desak-desakan di bis itu nggak pindah ke mobil-mobil lain yang masih banyak tempat kosong?”
Dalam suasana kesal karena macet yang tak kunjung terurai, saya menjawab pertanyaan tersebut dengan malas: “Ya nggak bisa, bukan mobil mereka itu.”
“Kenapa nggak bisa? Kan boleh saja ikut.”
“Ya nggak bisa, karena memang nyatanya yang kamu lihatkan gitu, Ndum.”
“Gila orang kota, begitu saja nggak boleh. Egois.”
Di lain kesempatan, masih di Jakarta, saya mengajak mereka mengunjungi objek wisata Kota Tua. Saat di jalan menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, kami menyeberangi sungai. Kali ini Menosur, adik dari Pengendum bertanya:
“Faway, orang di sini ambil air minumnya di mana?”
“Ada yang beli, ada yang ambil dari dalam tanah.”
“Baguslah. Kirain dari sungai ini. Kotor, banyak sampah, nggak kayak sungai di kampung kami, bersih, bisa langsung diminum.”
Kemudian Menosur lanjut bertanya:
“Ini sengaja orang-orang buang sampah di sungai?”
“Iya, banyak yang kayak gitu, kenapa?”
“Katanya orang kota sekolah, lebih pintar dari kami, sekolahnya tinggi-tinggi, kok buang sampah saja masih di sungai.”
Saat menginap di sebuah rumah di bilangan Bekasi, saya berbincang dengan beberapa anak-anak rimba. Mereka rupanya heran melihat begitu penuhnya pakaian di lemari. Keheranan mereka bertambah saat melihat banyaknya piring, gelas, dan sendok padahal penghuni rumah tak lebih dari 7 orang.
“Faway, kenapa pakaian kalian ini banyak sekali?”
“Ya untuk bisa sering ganti saat kotor. Ada juga pakaian-pakaian yang dipakai khusus di saat tertentu saja. Ada pakaian santai, pakaian tidur, pakaian resmi dan lain-lain.”
“Kalau harus ganti saat kotor kan juga nggak harus sebanyak ini. Satu dipakai, satu dicuci, satu atau dua untuk cadangan, kan cukup. Kenapa juga harus ada pakaian yang macam-macam begitu? Bukannya fungsi pakaian sama, untuk melindungi tubuh. Repot sekali, ribet kalian orang-orang kota ini, suka menyulitkan diri sendiri.”
Sesekali saya tertawa di sela obrolan tersebut, meski dalam hati saya termenung. Perbincangan dilanjutkan.
“Terus kenapa ini piring, gelas, sendok dan perabotan lain banyak sekali. Bukankah kalian cuma sedikit orang saja di rumah?”
“Ya itu bukan cuma untuk kita saja, kalau ada pesta, kalau ada tamu, dan acara-acara yang dikunjungi banyak orang.”
“Kenapa nggak bawa piring sendiri. Atau dikumpul saja dari rumah-rumah di sekitar sini kalau butuh piring banyak? Kan nggak setiap hari butuh piring banyak.”
Kali ini saya tak tertawa. Saya sepenuhnya termenung. Mudah saja sebetulnya membalas pertanyaan tadi dengan sebuah pungkasan, seperti misalnya: “Hidup di kota dan di udik itu beda.” Akan tetapi, benarkah demikian? Benarkah hidup berkalang aspal dan dikelilingi gedung pencakar langit itu mesti boros?
Atau jawaban itu hanya sekadar dalih yang klise untuk menutupi fakta bahwa kita, orang-orang kota ini, sebetulnya lebih primitif dari mereka?