Pemakluman dan sikap permisif itu mengerikan. Seorang pendukung presiden meminta agar junjungannya jangan ditekan, sekarang sang presiden menurutnya punya banyak musuh; sang presiden baru bisa bicara HAM nanti kalau terpilih di periode kedua. Presiden disandera para jenderal dan politisi yang menolak penuntasan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, sehingga ia tak bisa memenuhi janjinya.
Saya menolak percaya hal ini. Logika begini adalah logika kekuasaan; logika yang menganggap bahwa untuk menegakkan keadilan dan menjamin hak asasi manusia, seseorang mesti melakukan kompromi kepada penjahat. Penjahat diberi keleluasaan, ditunggu dan diayomi, dituruti apa maunya supaya mereka mau diadili, sesederhana karena mereka kuat dan berkuasa. Saya tak mau ambil bagian membenarkan nalar ini.
Demokrasi adalah tirani mayoritas. Demokrasi kerap kali tidak bicara siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling banyak mengantongi suara. Dari ini kita dibuat percaya bahwa pada praktiknya demokrasi melayani kepentingan orang paling banyak, bukan yang paling butuh.
Seorang teman menyebut bahwa presiden kita sedang melayani kepentingan orang banyak. Negara ini sedang butuh perbaikan infrastruktur, pemerataan dan keadilan ekonomi, dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak.
Kawan saya bilang harus ada yang dikorbankan; kita tak bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik dengan menjamin supremasi hukum. Kalau ingin proyek infrastruktur baik, pasokan material harus terjamin: semen, aspal, dan lahan. Negara kerap harus menyediakan itu semua, meski dalam usaha itu ia harus mengorbankan banyak orang. Lahan pertanian yang subur dihancurkan untuk pembangunan bandara, gunung kapur penyimpan air harus dihancurkan demi pabrik semen, dan pantai yang baik-baik saja harus dikeruk untuk proyek reklamasi.
Pemakluman dan sikap permisif itu mengerikan.
Pembangunan selalu menghasilkan korban. Mereka yang direbut rumahnya, terancam lingkungannya, dan mereka yang memberontak dipenjara, dipersekusi, lantas dibuat buruk citranya. Saat kita bersuara membela orang-orang ini, dengan data, dengan advokasi, tidak sedikit dari kita yang diancam penjara; Joko Prianto dikriminalisasi dengan tuduhan pemalsuan dokumen, Dandhy Laksono diancam penjara melalui UU ITE karena dianggap menghina mantan kepala negara.
Tapi apakah kita harus berdamai dengan keadaan lantas diam saja?
Presiden jangan dibebani utang penuntasan kejahatan HAM masa lalu. Biarkan dia fokus pemerataan pembangunan. Bukankah saat ini harga BBM merata di seluruh nusantara? Bukankah kita akan memiliki bangunan perpustakaan tertinggi di dunia? Bukankah proyek-proyek infrastruktur yang dulu mangkrak satu per satu dituntaskan pemerintah.
Pemakluman dan sikap permisif itu sungguh mengerikan.
Pakde, begitu para pendukungnya memanggil, merasa bahwa ia perlu dijauhkan dari janjinya sendiri, komitmen yang ia ucapkan saat kampanye.
Para pendukung Pakde menyebut tak elok ngotot memintanya menegakkan HAM. Orang yang bijak harus fokus memandang ke depan, agar bisa maju, masa lalu sebaiknya dilupakan saja. Terlalu banyak orang yang berkuasa terlibat kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Jangan mengekang Pakde.
Mengerikan sekali.
Mungkin para pendukung Pakde itu benar. Tapi tak kuasa hati ini meminta ibu-ibu yang kehilangan anaknya secara misterius, kakek-nenek yang masa mudanya direnggut oleh penjara, dan mereka yang dirampas hak dasarnya, untuk tak menuntut keadilan.
Para pendukung Pakde merasa yang terpenting saat ini adalah menjamin beliau terpilih kembali. Ini momen penting di mana orang sipil bisa memimpin. Seolah-olah presiden ketiga, keempat, dan kelima berasal dari kalangan pedagang dan kolektor bedil.
Mereka lupa bahwa yang membuat presiden keempat kita jadi istimewa, jadi diingat, dan jadi sosok penting karena ia memegang janji, berkomitmen pada kemanusiaan serta anti kompromi.
“Tapi bukankah ia akhirnya digulingkan?” kata mereka.
Benar ia digulingkan dari kekuasaannya. Benar, ia terjungkal. Tapi kita tahu bahwa ia membawa perubahan; orang Tionghoa tak lagi perlu sembunyi-sembunyi menjalankan keyakinannya, dan mereka yang ditindas bisa sekali lagi merasakan harapan.
Kita tidak sedang berdiskusi dengan rampok yang menyandera rumah, kita sedang bicara tentang pemimpin tertinggi negara yang memiliki akses kekuasaan untuk memenuhi janji-janjinya. Tentu kita boleh mengalah, tapi ia adalah pilihan terakhir; bukan satu-satunya pilihan.
Jika pemimpin tak mengeksplorasi pilihan dan langsung memilih menyerah sebelum bertindak, ia sebenarnya sedang jadi pengecut. Mutu seorang pemimpin tidak hanya diuji ketika dia memiliki kekuasaan absolut, tetapi juga pada saat ia tak punya kekuasaan tetapi berani bertindak benar.
Kalau kalian mau memberikan sikap maklum, permisif, dan berpikir bahwa pemerintah harus mengalah dengan para penjahat kemanusiaan, silakan. Tapi saya pikir kita tidak bisa berunding dengan para bramacorah untuk perkara keadilan.
Pemakluman dan sikap permisif itu berbahaya. Sungguh berbahaya.