Serampangan Menaikkan Cukai Rokok Bukti Dangkalnya Rasionalitas Negara dan Sri Mulyani

Tapi, apakah pemerintah dan Sri Mulyani bisa berfikir rasional? Saya kurang yakin bahwa rasionalitas publik adalah raison d'etre dari semua kebijakan pemerintah.

Cukai Rokok Naik Bukti Dangkalnya Rasionalitas Sri Mulyani MOJOK.CO

Ilustrasi Cukai Rokok Naik Bukti Dangkalnya Rasionalitas Sri Mulyani. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSoal cukai rokok, rasionalitas negara dan Sri Mulyani memang dangkal. Nafsu sama pajaknya, tapi nggak punya nyali menutup industri rokok.

Pemerintah berniat menaikan cukai rokok di kisaran angka 11% untuk tahun depan. Kenaikan ini tentunya bukan yang pertama. Jika tak salah mencatat, kenaikannya sudah beberapa kali terjadi. Jadi, tak heran harga rokok hari ini setara dengan atau melebihi biaya makan sehari-hari. 

Bandingkan dengan saat Anda belajar merokok, katakanlah sekitar 1990an atau 2000an. Harga rokok hanya sereceh harga permen. Tapi sekarang, justru melebihi seporsi makanan di warteg. 

Apakah karena biaya untuk tembakau, cengkeh, kertas papir, lem, atau gaji karyawan perusahaan rokok melambung tinggi? Jawabannya tentu tidak. Tapi karena negara kian ketagihan mengeksploitasi rokok untuk kepentingannya. Dari tahun ke tahun selalu demikian.

Kesal kepada Sri Mulyani

Jadi, harga asli rokok boleh jadi sebenarnya hanya setengah dari harga yang Anda bayar. Biasanya, 30 persen lebih plus sekian ratus rupiah per batang rokok akan lari ke saku pemerintah. Sisanya adalah biaya produksi, distribusi, dan promosi. 

Gaji buruh yang bekerja di pabrik rokok itu termasuk ke dalam biaya produksi. Menurut teori ekonomi yang dianut para kapitalis, buruh setara dengan mesin alias masuk kategori faktor produksi semata. Ya, tak berbeda dengan lembaga pemerintah BPS atau Bank Indonesia, yang melihat rakyat banyak hanya sebatas angka di dalam tabel belaka. Tak lebih. 

Jadi, wajar kalau para perokok dan pekerja di perusahaan rokok, baik UMKM atau konglomerasi, kesal luar biaya kepada Sri Mulyani yang isi kepalanya hanya menaikan cukai rokok. Negara dengan mudah menaikan pajak rokok, tapi buruh setengah mati memperjuangkan kenaikan gaji di satu sisi dan para konsumen rokok pun demikian di sisi lain. 

Konsumen (harus) selalu jadi korban

Lalu, saat cukai rokok naik bersamaan dengan kenaikan UMR, siap-siap saja konsumen yang akan menjadi korban. Karena itulah harga rokok yang dulunya seharga permen, kini sudah seharga satu sak semen. Bahkan ada jenama tertentu yang harganya sudah lebih tinggi dari salah satu bahan bangunan itu. 

Lebih dari itu, konon ceritanya tidak hanya tentang pendapatan negara, tapi juga tentang inflasi. Temuan BPS menyatakan bahwa salah satu pos pengeluaran terbesar masyarakat menengah ke bawah adalah rokok. Imbasnya, daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok menjadi tertekan.

Untuk alasan pertama, kita tentu tak bisa berbuat apa-apa. Jika negara sudah berkehendak, misalnya secara serampangan mengerek cukai rokok, apa saja bisa dijadikan objek pajak. Mulai dari jumlah ikan yang berenang di akuarium sampai jumlah oksigen yang Anda hirup setiap hari. Itu semua bisa kena pajak suatu saat nanti, jika negara menginginkannya. 

Bahkan, negara bisa membuat Anda membayar pajak untuk sebuah aktifitas “onani atau masturbasi” dengan cara memberlakukan pajak “akses” terhadap video porno. Lagi-lagi jika negara berkehendak. Bahkan Tuhan pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Ketika negara sudah berkehendak

Taruhlah suatu waktu nanti negara kewalahan mengawasi situs film porno. Kondisinya seperti negara-negara maju yang melihat peluang pada komoditas ganja atau marijuana. Negara bisa saja cukup mengeluarkan aturan tentang situs video porno atau livestreaming porno/bugil. 

Perusahaan-perusahaan perlendiran diperbolehkan menyediakan layanan film biru atau livestreaming bugil, tapi berbayar. Bayarannya boleh jadi mahal, karena pajak yang dikenakan akan mahal. Dengan begitu, aktivitas masturbasi atau onani akan berbayar secara tidak langsung, kecuali Anda bisa melakukan aktivitas tersebut hanya dengan merenung tanpa alat stimulan. Itu tentu lain cerita. 

Jadi, hasrat untuk menaikan pendapatan negara adalah resep umum untuk melegitimasi kenaikan pajak, termasuk pajak rokok. Rakyat bisa berbuat apa? Sejarah membuktikan bahwa hanya revolusi yang bisa melawan nafsu “pajak memajak” negara ini. Sebut saja revolusi Perancis dan Revolusi Amerika, misalnya.

Tapi, cara berpikir pemerintah tentang relasi rokok dan inflasi ini hanya satu cara pandang. Dalam bahasa Aristoteles, kebijakan pemerintah diambil dalam perspektif “teleologis” alias berlandaskan pada tujuan, yakni mengurangi aktivitas merokok masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa merokok adalah aktivitas “tak baik”.

Baca Halaman Selanjutnya

Negara yang munafik

Cara pandang ini setali tiga uang dengan perspektif “utilitarianisme” ala Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Tapi persoalannya, seberapa bermoralnya sebuah negara sampai-sampai berwenang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk untuk masyarakatnya? Perspektif ini telah lama dilabrak oleh penganut mazhab libertarianisme John Locke, atau oleh penganut filsafat moral Immanuel Kant, atau pula penganut mazhab egalitarianisme John Rawl.

Karena itu, kemudian negara mengambil posisi moderat. Negara tidak berani terang-terangan melarang, tapi justru mengambil keuntungan di tengah-tengahnya, yakni dengan menerapkan aturan pajak. Negara tetap pada pandangan bahwa merokok adalah aktivitas buruk, tapi tak kuasa melarangnya, karena satu dan lain hal. Salah satunya karena besarnya potensi pendapatan yang bisa diraih negara atas rokok. 

Pertanyaan sederhana, jika rokok menyebabkan inflasi dan mengurangi porsi pendapatan masyarakat menengah ke bawah untuk berbelanja kebutuhan pokok, maka dengan menaikan cukai rokok, otomatis akan semakin tinggi harga rokok dan akan semakin besar pendapatan masyarakat yang tersedot ke sana?

Tutup industrinya kalau berani!

Bukankah kebijakan menaikan cukai rokok pada ujungnya akan semakin merusak postur belanja masyarakat? Artinya, jalan terbaik bagi pemerintah untuk memecah relasi negatif rokok dan inflasi adalah dengan menurunkan pajak rokok. Sehingga saat harga rokok turun drastis, sisa uang dari penurunan biaya pembelian rokok akan digunakan oleh masyarakat untuk menambah biaya belanja kebutuhan pokok. 

Karena jika pemerintah justru semakin menaikan pajak yang menyebabkan kenaikan harga rokok, relasi rokok dan inflasi akan semakin destruktif, lantaran perokok akan sulit untuk berhenti merokok. Dan saya yakin, pemerintah hanya “basa-basi” dengan asumsi moral di atas.

Jika pemerintah ingin aktifitas merokok dihentikan, cukup dilarang dan ditutup semua industri rokok. Beres urusan. Risikonya, tak ada lagi pendapatan negara dari rokok. Tapi kembali kepada alasan pertama di atas, pemerintah ingin mengeksploitasi dunia “rokok merokok” untuk dijadikan sapi perah keuangan negara. 

Karena itu pemerintah tak berniat melarangnya di satu sisi dan tak berniat pula untuk menurunkan pajaknya di sisi lain. Maka yang akan terjadi dua atau tiga tahun lagi, pemerintah akan menaikan lagi cukai rokok dan harga rokok akan semakin terbang tinggi.

Solusi: turunkan cukai rokok serendah mungkin

Pasalnya, saat harga rokok naik, pendapatan masyarakat akan semakin tersedot kepada pos biaya pembelian rokok dan daya beli masyarakat atas komoditas pokok lainya akan semakin tertekan. Walhasil, hasil survei inflasi di tahun-tahun mendatang akan sama dengan hari ini kesimpulannya. Lalu pemerintah akan menaikan lagi cukai rokok. Lah, sampai lebaran monyet akan seperti itu relasinya. 

Jadi untuk memutus relasi “menyesatkan” rokok dan inflasi ini adalah dengan menurunkan pajak rokok serendah-rendahnya, sehingga harganya juga turun drastis. Setelah itu, biaya pembelian rokok masyarakat akan berkurang dan bisa digunakan untuk menambah biaya pembelian kebutuhan pokok. Dengan begitu, relasi negatifnya akan terhenti. Inilah pemikiran paling rasional

Tapi, apakah pemerintah dan Sri Mulyani bisa berfikir rasional? Saya kurang yakin bahwa rasionalitas publik adalah raison d’etre dari semua kebijakan pemerintah. Yang mereka butuhkan adalah kenaikan pajak untuk kenaikan pos pendapatan negara agar bisa berbelanja ini dan itu atas nama negara. Inilah arti rasionalitas bagi pemerintah, sedangkal rasionalitas beruang yang mencari makan di tengah hutan, tak lebih.

BACA JUGA KNPK: Sri Mulyani Memang Ingin Membunuh Industri Strategis Bangsa Ini dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Ronny P. Sasmita

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version