Cara pandang ini setali tiga uang dengan perspektif “utilitarianisme” ala Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Tapi persoalannya, seberapa bermoralnya sebuah negara sampai-sampai berwenang menentukan mana yang baik dan mana yang buruk untuk masyarakatnya? Perspektif ini telah lama dilabrak oleh penganut mazhab libertarianisme John Locke, atau oleh penganut filsafat moral Immanuel Kant, atau pula penganut mazhab egalitarianisme John Rawl.
Karena itu, kemudian negara mengambil posisi moderat. Negara tidak berani terang-terangan melarang, tapi justru mengambil keuntungan di tengah-tengahnya, yakni dengan menerapkan aturan pajak. Negara tetap pada pandangan bahwa merokok adalah aktivitas buruk, tapi tak kuasa melarangnya, karena satu dan lain hal. Salah satunya karena besarnya potensi pendapatan yang bisa diraih negara atas rokok.Â
Pertanyaan sederhana, jika rokok menyebabkan inflasi dan mengurangi porsi pendapatan masyarakat menengah ke bawah untuk berbelanja kebutuhan pokok, maka dengan menaikan cukai rokok, otomatis akan semakin tinggi harga rokok dan akan semakin besar pendapatan masyarakat yang tersedot ke sana?
Tutup industrinya kalau berani!
Bukankah kebijakan menaikan cukai rokok pada ujungnya akan semakin merusak postur belanja masyarakat? Artinya, jalan terbaik bagi pemerintah untuk memecah relasi negatif rokok dan inflasi adalah dengan menurunkan pajak rokok. Sehingga saat harga rokok turun drastis, sisa uang dari penurunan biaya pembelian rokok akan digunakan oleh masyarakat untuk menambah biaya belanja kebutuhan pokok.Â
Karena jika pemerintah justru semakin menaikan pajak yang menyebabkan kenaikan harga rokok, relasi rokok dan inflasi akan semakin destruktif, lantaran perokok akan sulit untuk berhenti merokok. Dan saya yakin, pemerintah hanya “basa-basi” dengan asumsi moral di atas.
Jika pemerintah ingin aktifitas merokok dihentikan, cukup dilarang dan ditutup semua industri rokok. Beres urusan. Risikonya, tak ada lagi pendapatan negara dari rokok. Tapi kembali kepada alasan pertama di atas, pemerintah ingin mengeksploitasi dunia “rokok merokok” untuk dijadikan sapi perah keuangan negara.Â
Karena itu pemerintah tak berniat melarangnya di satu sisi dan tak berniat pula untuk menurunkan pajaknya di sisi lain. Maka yang akan terjadi dua atau tiga tahun lagi, pemerintah akan menaikan lagi cukai rokok dan harga rokok akan semakin terbang tinggi.
Solusi: turunkan cukai rokok serendah mungkin
Pasalnya, saat harga rokok naik, pendapatan masyarakat akan semakin tersedot kepada pos biaya pembelian rokok dan daya beli masyarakat atas komoditas pokok lainya akan semakin tertekan. Walhasil, hasil survei inflasi di tahun-tahun mendatang akan sama dengan hari ini kesimpulannya. Lalu pemerintah akan menaikan lagi cukai rokok. Lah, sampai lebaran monyet akan seperti itu relasinya.Â
Jadi untuk memutus relasi “menyesatkan” rokok dan inflasi ini adalah dengan menurunkan pajak rokok serendah-rendahnya, sehingga harganya juga turun drastis. Setelah itu, biaya pembelian rokok masyarakat akan berkurang dan bisa digunakan untuk menambah biaya pembelian kebutuhan pokok. Dengan begitu, relasi negatifnya akan terhenti. Inilah pemikiran paling rasional
Tapi, apakah pemerintah dan Sri Mulyani bisa berfikir rasional? Saya kurang yakin bahwa rasionalitas publik adalah raison d’etre dari semua kebijakan pemerintah. Yang mereka butuhkan adalah kenaikan pajak untuk kenaikan pos pendapatan negara agar bisa berbelanja ini dan itu atas nama negara. Inilah arti rasionalitas bagi pemerintah, sedangkal rasionalitas beruang yang mencari makan di tengah hutan, tak lebih.
BACA JUGA KNPK: Sri Mulyani Memang Ingin Membunuh Industri Strategis Bangsa Ini dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno