MOJOK.CO – Dilihat dari perspektif literasi visual, ada banyak hal yang ingin ditunjukkan oleh Anies Baswedan melalui foto dirinya yang sedang membaca buku itu.
Melihat orang-orang berlomba-lomba mengunggah foto dengan pose sedang membaca buku, saya tak bisa menahan diri lebih lama lagi untuk tidak berkomentar. Bayangkan, seleb Facebook sekelas Iqbal Aji Daryono pun sampai merasa perlu mengunggah tidak hanya satu, tapi tiga foto dirinya saat sedang membaca buku. Masing-masing adalah buku tuntunan sholat, buku Iqra, dan satu buku sisanya adalah buku biografi Maryam. Kalau cuma satu foto, saya masih bisa menganggapnya sebagai bentuk daripada ketahanan konten belaka. Tapi kalau tiga? Tentu itu sudah melewati garis batas kelaziman.
Dan kita semua paham, bahwa segala bentuk pelanggaran batas kelaziman di atas dipicu oleh satu hal: unggahan foto Mas Anies Baswedan di Instagramnya saat sedang membaca buku “How Democracies Die” karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
Bukan hanya memicu gelombang foto dengan buku di media sosial, unggahan Mas Anies tersebut juga langsung memicu konspirasi netizen yang dengan segala kemampuan othak-athik-gathuk-nya berusaha menghubungkan foto tersebut sebagai sindiran halus Mas Anies atas pemanggilan dirinya oleh Polda Metro Jaya terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi pada acara pengajian Maulid Nabi sekaligus acara mantunya “dia yang namanya tidak boleh disebutkan”.
Beberapa lainnya menganggapnya sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah.
Jujur, saya merasa gerah dengan netizen yang merasa sah untuk menafsirkan foto Mas Anies sebagai sindiran atau bahkan kritik terhadap pemerintah. Seolah-oleh Mas Anies mau bilang bahwa demokrasi di Indonesia mau mati.
Saya mengamati betul hal ini, dan saya merasa di sinilah letak kesalahan besar netizen dalam melihat sesuatu yang lebih luas. Mereka terlalu sembrono mengartikan sesuatu.
Sebagai orang yang merasa melek dengan visual literacy alias literasi visual, saya merasa punya beban moral untuk men-jlentreh-kan lebih jauh perihal foto Mas Anies tersebut. Hal ini semata agar tidak makin banyak orang yang mudah salah tafsir atas sebuah foto dan kemudian membikin ruwet sesuatu yang sebenarnya nggak penting-penting amat.
Pertama, mari kita mulai dari yang paling menarik dilihat. Hal ini disebut sebagai “point of interest”, yakni titik di mana mata kita langsung melihatnya dan berhenti di sana. Dalam kasus foto Mas Anies ini, tentu saja yang menjadi point of interest adalah buku yang sedang dibaca Mas Anies. Buku yang cukup tebal dengan judul yang ditulis besar-besar, seolah yang membaca adalah anak-anak yang baru belajar mengeja atau sedang tes mata di gerai Optik Melawai.
Berapa banyak netizen yang melihat foto itu dan sudah membaca bukunya? Saya yakin tidak sampai 1%. Tenang, tidak usah minder, saya juga belum baca walau saya sudah punya versi pdf-nya. Sebagai mantan mahasiswa abadi, saya paham betul bahwa untuk tahu isi buku, tidak perlu membaca keseluruhan buku sampai selesai, cukup baca judul dan daftar isinya.
Dari judulnya, “How Democrasies Die”, sesungguhnya jelas belaka bahwa Mas Anies tidak sedang mengkritik pemerintah. Mas Anies justru sedang mengaminkan apa yang sedang terjadi di Nusantara yang sedang beliau rajut benangnya ini dengan apa yang sedang terjadi di negeri Paman Sam seperti yang ditulis di buku itu. Tahu kan maksudnya? Ya intinya ancang-ancang jadi Joe Biden lah. Jadi bukan mengkritik, melainkan meyakinkan bahwa yang terjadi saat ini memang sudah on-the-right-track. Gitu lho.
Kedua, gaya duduk Mas Anies. Kalau saya baca buku serius, apalagi buku setebal itu, secara naluriah, buku akan saya taruh di meja tepat di samping cangkir kopi. Maklum saja, buku tersebut bukan hanya berat secara isi, namun juga secara bobot. Sementara Mas Anies tampak membacanya sambil duduk santai bersandar menghadap serong ke kamera. Jangan salah, ini ada maknanya.
Kenapa buku sebesar itu harus diangkat/dipegang? Itu artinya Mas Anies sudah siap mengangkat hasil dari matinya demokrasi. Mungkin negara kita akan jadi kerajaan, khilafah, atau sekedar neo-demokrasi (pokoknya bukan demokrasi) dan beliau sudah siap dengan itu.
Dan kenapa harus duduk dengan posisi serong dari arah kamera? Selain untuk urusan estetika, juga tak mungkin kalau Mas Anies menghadap tepat ke arah kamera, itu artinya menantang. Menantang apa? Menantang takdir dari nasib demokrasi. Seolah-olah yakin bahwa demokrasi pasti mati. Ingat, Mas Anies orang yang lemah lembut. Beliau tidak akan sefrontal itu dengan berpose menghadap langsung ke kamera seperti foto anak yang habis disunat.
Juga tak mungkin bagi Mas Anies untuk menghadap ke belakang kayak selebgram-selebgram yang ingin memunculkan kesan misterius itu, sebab hal tersebut kalau dilakukan oleh Mas Anies malah rentan diartikan sebagai bentuk pengingkaran jalan demokrasi.
Kalau menghadap ke samping? Itu artinya tidak peduli. Kalau menghadap ke bawah? Itu artinya mengheningkan cipta. Paham?
Ketiga, pakaian yang dikenakan Mas Anies. Mas Anies memakai baju putih dan bawahan sarung. Kenapa putih? Anak SD juga tahu kalau putih itu artinya suci. Sesuci hati Mas Anies. Nah, pada baju putih tersebut, kerah baju Mas Anies tidak jelas terlihat apakah modelnya spread atau mandarin karena memang tertutup oleh buku.
Hal tersebut menunjukkan Mas Anies memiliki jiwa toleran. Kerah spread tradisi Eropa, sementara kerah mandarin tradisi China. Jadi kalau ada tuduhan Mas Anies menggunakan politik identitas, itu fitnah. Dari kerah bajunya yang tertutup buku saja sudah tampak bahwa Mas Anies punya keinginan besar untuk mengubur segala bentuk perbedaan.
Sementara itu, pemakaian sarung bisa diartikan sebagai cerminan dirinya yang walau kerap bicara tentang masa depan yang progresif, namun ia tetap mempertahankan dan menghargai sikap-sikap konservatif.
Keempat, latar belakang (background) foto. Mas Anies bisa saja berfoto dengan latar belakang tembok bersih yang akan memperkuat figur dan gesturnya yang sedang khusyuk membaca. Pada kenyataannya, ia justru memilih latar belakang rak buku selayaknya peserta diskusi Zoom.
Kenapa rak buku? Tentu saja untuk menunjukkan bahwa Mas Anies berasal dari kaum terpelajar. Doctor of Philosophy lho beliau ini. Jangan main-main. Ini tentu saja penting. Di tengah kondisi yang serba keras seperti sekarang ini, hal-hal yang berhubungan dengan intelektualitas memang akan selalu krusial. Akal bakal selalu lebih berharga ketimbang okol.
Kelima, properti pelengkap. Di belakang foto Mas Anies, kita bisa lihat kaligrafi yang menempel di dinding dan foto keluarga di meja. Nggak usah ditanya itu foto keluarga siapa, sudah pasti keluarganya Mas Anies, bukan keluarganya Pong Harjatmo atau Sophan Sophiaan.
Foto tersebut penting karena seorang kepala keluarga yang baik pasti memajang foto keluarga di rumahnya. Semacam bentuk kebanggaan atas keluarga yang sudah ia bangun.
Dan di dinding belakang tentu saja ada kaligrafi. Ini semata untuk menunjukkan bahwa Mas Anies adalah sosok yang agamais. Tak mungkin bagi Mas Anies untuk mengunggah foto saat membaca buku sambil tangannya menggenggam tasbih. Maka, sebagai gantinya, ornamen kaligrafi tentu sudah sangat cukup mewakili.
Nah, dari literasi visual sederhana ini, bisa kita simpulkan bahwasanya Mas Anies adalah sosok yang baik dan luhur, yang kalau mengkritik pastilah disampaikan secara langsung, bukan dengan sok-sokan menyindir pakai foto kayak anak umur tanggung bulan seperti yang dituduhkan oleh banyak orang.
Semoga penjelasan ini bisa membuat orang-orang tak lagi baper dengan unggahan-unggahan foto Mas Anies.
Kalau di lain waktu ternyata Mas Anies mengunggah foto yang tampak menyimpan pesan, misal memandikan kodok, memberi makan onta, atau memakai sorban ala-ala Pikolo, tak perlulah dihubung-hubungkan dengan agenda politik tertentu.
Cukup di-like saja, lalu tulis di kolom komentar, “Mashoook, Mas Anies.”
BACA JUGA Pesan di Balik Hebohnya Foto Anies baswedan Baca Buku ‘How Democracies Die’ dan tulisan Agus Nonot lainnya.