MOJOK.CO – Meski punya banyak julukan mewah, Iwan Fals tetaplah manusia biasa. Dia juga menua, berubah, dan sudah jadi haknya untuk menikmati hidup.
Tuhan barangkali pilih kasih. Ada manusia yang dijuluki setengah dewa, digelari Asian Heroes, menyandang sebutan legenda, Begawan Musik Tanah Air, dianggap wali, dan sederet puja-puji lainnya.
Hanya ada satu manusia pilihan itu di negeri ini. Walaupun di Twitter dia memposisikan diri seperti bapak-bapak biasa yang gagap dengan segala macam perkembangan zaman dan pemberitaan.
Iwan Fals genap berusia 60 tahun, hari ini. Jika dirangkum, sudah 40 tahun kariernya mewarnai khazanah musik Indonesia.
Nada lagunya merangsek ke gang-gang sempit di kota urban untuk dinyanyikan kalangan marginal dengan mulut bau miras oplosan. Lirik lagunya sederhana, lugas, namun tetap relevan dengan kehidupan orang-orang pinggiran. Karya-karyanya berpendar ke pelosok negeri, mengilhami, dan menginspirasi banyak orang.
Saya membayangkan jika Iwan Fals bukan manusia pilihan, mungkin hidupnya sudah berakhir di penjara Pekanbaru karena memuat lagu yang bikin kuping Orde Baru panas.
Lagu itu berjudul “Mbak Tini”, yang bercerita soal Pekerja Seks Komersial dan sopir truk yang jadi langganannya. Beruntung ibunya, Lies Haryoso, yang saat itu mendengar kabar anaknya diinterogasi aparat, bergegas terbang dan menyelamatkannya, kemudian terciptalah lagu “Ibu” yang menyayat hati itu.
Jika Iwan Fals bukan manusia pilihan, di pertengahan 1980-an, bisa saja dia jadi salah satu korban ketika Kompleks Bulungan markas Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) diobrak-abrik aparat. Entah perihal apa, yang jelas Iwan Fals tidak biasanya datang terlambat. Dia selamat.
Jika Iwan Fals bukan manusia pilihan, kariernya bisa saja mandeg dan berakhir sebagai pengamen yang mencari nafkah menyusuri jalanan Jogja dan Bandung seperti yang dia lakukan saat remaja.
Membuat lagu humor, tampil di satu undangan, dan panggung-panggung kecil. Bukan musikus besar yang menghiasi panggung megah dengan jutaan penggemar.
Jika Iwan Fals bukan manusia pilihan, tidaklah mungkin W.S. Rendra memberikan panggung Kantata Takwa kepadanya. “Ini panggungnya Iwan!” Perintah Si Burung Merak saat Kantata membuat Konser bersejarah di beberapa kota tahun 1990.
Meski saat latihan, Iwan Fals mengaku diplonco oleh W.S. Rendra dan rekan-rekannya di Kantata. Saat latihan Iwan Fals hanya disuruh memukul gong.
Tapi, Iwan Fals toh tetaplah manusia, pembatalan “Konser 100 Kota” dalam tajuk promo album Mata Dewa membuat mentalnya ambruk seketika. Bersama musikus lain seperti Nicky Astria dan Ian Antono, mereka menangis sejadinya.
“Ternyata bermusik bisa (memberikan dampak) seserius itu,” kata Iwan Fals baru-baru ini di kanal YouTubenya.
Dia juga pernah berada di titik nadir dalam hidup, tatkala Galang Rambu Anarki wafat. Momen yang dinilai banyak kalangan mengubah cara pandang, dan karakter Iwan Fals dalam bermusik.
Iwan Fals yang biasa keras, sarat kritik sosial, jadi lembek, dengan lagu cinta-cintaan melulu. Padahal zaman berubah, cara orang menikmati karya juga berubah. Orang-orang masih memaksa Iwan Fals membuat lagu kritis pada penguasa, meski mereka sendiri adalah netizen sompral yang mudah mengumbar amarah.
Beberapa waktu lalu, saya dan beberapa rekan memiliki kesempatan langka untuk bersua dengan Iwan Fals dan Mbak Yos di rumahnya, Desa Leuwinanggung. Perjamuan khusus itu mengentaskan kerinduan kami, sebagai penggemarnya, sebab sejak pandemi merebak praktis tidak ada konser Iwan Fals yang digelar secara terbuka.
Dalam pertemuan berdurasi empat jam dan telah melewati serangkaian prokes ketat itu banyak hal yang Bang Iwan sampaikan; Soal Raja Airlangga yang ketika Jawa terjadi Pralaya rakyatnya tetap bekerja dengan tekun.
Seperti ungkapan tersirat, meski elite dan penguasa semena-mena, yang bisa menyelamatkan negeri adalah rakyatnya sendiri sebagai pemegang daulat.
Membahas barisan pengemis Kaypang yang anti kebatilan karya Khoo Ping Hoo, meskipun berpenampilan lusuh tetap disegani seantero negeri. Sampai Maria Zaitun, sosok pelacur yang dilimpahi kasih sayang Yesus dalam gubahan puisi Rendra.
Metafor yang sama sebetulnya bisa ditemui di lagunya sendiri “Adzan Subuh Masih di Telinga” atau “Doa Pengobral Dosa”.
Maksudnya, agak berfilosofi, pada masa sekarang saat penghakiman begitu mudahnya dilancarkan lewat jempol, ternyata masih ada ruang kasih Tuhan, manusia sepatutnya tidak boleh enteng menghakimi manusia lain seperti yang terlihat dan berjejalan di kolom komentar media sosial.
Dalam pertemuan singkat dengan kami itu, Iwan Fals memakai kaos polo coklat dan celana cargo hitam pudar. Rambutnya sudah memutih seluruhnya, guratan-guratan di wajahnya semakin tampak, tulang sudah tak prima menopang tubuhnya, otot leher terlihat seperti sudah lelah berteriak.
Meski begitu, wibawa tetap mengiringi usianya yang sudah menginjak kepala enam. Wibawa yang justru muncul ketika kami (penggemarnya) sadar, dia adalah manusia biasa yang juga bisa menua.
Dan justru dengan merasa Iwan Fals sebagai manusia biasa, kami merasa diwakilkan sepenuhnya. Lewat lagu-lagunya, lewat suara-suaranya. Bukan Iwan Fals sebagai manusia setengah dewa, legenda, atau mitos yang jauh tak tersentuh di ujung sana.
Selamat ulang tahun, Bung. Tetap sehat dan panjang umur kehidupan.
BACA JUGA 3 Lagu Bung Iwan yang Kalau Diciptakan Sekarang Pasti Rame atau ESAI lainnya.