Sepuluh hari terakhir di bulan Desember memang selalu menjadi masa-masa krusial yang menarik, terutama bagi penduduk negara yang super heterogen seperti Indonesia.
Lima hari menjelang natal hingga hari-h natal, selalu saja muncul agenda protap yang mungkin akan selalu ada setahun sekali, entah sampai kapan: debat boleh tidaknya mengucapkan selamat natal. Ini sejatinya bagus, karena ini berarti, masyarakat kita bukanlah masyarakat yang sekadar nrimo, tapi juga kritis dalam mempertahankan apa yang diyakininya. (Kritis mbahmu dansa, Gus!)
Untunglah perdebatan itu tidak berlangsung lama, karena persis sehari berselang setelah natal, pro-kontra yang sudah selama lima hari full menjadi bahasan di berbagai media itu hilang mak slep entah kemana. Masyarakat seakan lupa dengan perdebatan yang sebelumnya pernah diikutinya, entah sebagai pihak yang pro dengan ucapan natal, maupun sebagai pihak yang kontra. Hal ini tak kalah bagus, karena menjadi representasi gencatan senjata antara dua kubu fundamentalis. Yah, setidaknya sampai H-5 natal tahun depan, dimana orang-orang kembali menyiapkan dalil dan argumen yang itu-itu lagi dengan kutipan dari tokoh pendukung yang juga itu-itu lagi.
Pro-kontra ucapan selamat natal selesai, muncullah pro-kontra yang baru: pro-kontra menuliskan resolusi tahun baru di media sosial.
Pihak yang pro menilai, menuliskan resolusi tahun baru di jejaring sosial dirasa cukup perlu, karena bisa menjadi pengingat sekaligus cambuk penyemangat untuk bisa mewujudkan resolusi tersebut. Sedangkan yang kontra tak kalah argumentatif, kubu kontra ini menilai, menuliskan resolusi tahun baru di media sosial dianggap sebagai ajang pamer yang teramat lebay, beberapa malah ada yang menganggap sebagai penyombongan diri, tatkala resolusi yang ditulis dinilai terlalu mokal dan terlalu tinggi.
Sehari-dua hari menjelang tahun baru. Masyarakat kita lagi-lagi kembali terpecah menjadi dua kubu. Apalagi kalau bukan karena pro-kontra boleh tidaknya merayakan perayaan tahun baru. Ini tak kalah hebohnya dengan debat natal tadi.
Yang pro beranggapan bahwa tahun baru boleh dan bahkan perlu dirayakan, karena dinilai sebagai ajang hiburan dan puncak pencapaian, tak ubahnya seperti pesta ulang tahun. Sedangkan yang kontra menilai bahwa perayaan tahun baru adalah budaya kafir yang sangat identik dengan hura-hura dan pemborosan.
Untuk pro-kontra yang satu ini, biasanya pihak pro yang lebih dominan. Karena mau bagaimanapun debatnya, toh pesta tahun baru tetap dilaksanakan di berbagai kota. Kembang api tetap menyala di seantero langit nusantara. Gemuruh suara terompet pun tetap menggema dimana-mana.
Tapi dasar masyakarat kulina pro-kontra. Pihak yang pro dengan perayaan tahun baru ini pun lagi-lagi terpecah menjadi dua kubu. Kali ini sebabnya adalah penggunaan terompet tahun baru yang dijual oleh para tukang terompet di pinggir jalan.
Masing-masing kubu punya pembelaan yang kuat. Pihak yang pro menilai terompet adalah simbol karya UMKM, sehingga sangat perlu didukung dan dilarisi. Sedangkan pihak yang kontra menilai, terompet yang dijual di pinggir jalan harus dihindari, mengingat terompet tersebut pastilah klomoh dan jauh dari kata higienis, karena pasti sudah pernah dicoba terlebih dahulu oleh si penjual (dan bisa jadi juga oleh pembeli-pembeli lain). Tak ada penjual yang berani menjamin bahwa terompet dagangan mereka adalah terompet kualitet bibir pertama.
Namun sekali lagi, itu bagus. Masyarakat kita agaknya memang harus dibiasakan dengan pro-kontra. Karena sejatinya, urip ki mung mampir pro-kontra. Dan ya, mojok.co ini pun, sejatinya juga besar salah satunya karena pro-kontra.
Semoga tahun 2015 ini membawa banyak keberkahan dan kebahagiaan untuk Anda, segenap pembaca setia mojok.co. Mari kita sambut aneka pro-kontra yang sudah siap menghadang kita di tahun 2015 dengan senyuman. Karena kata Dewa 19, semua akan baik-baik saja kalau kita menghadapi dengan senyuman.
Tapi jangan lantas Anda senyam-senyum sendiri tanpa sebab lho, ya..
Selamat Tahun baru.