MOJOK.CO – Penulis yang merupakan konsultan keamanan siber menjelaskan mengapa orang di Indonesia masih harus fotokopi e-KTP yang notabene kartu elektronik. Di tengah pandemi, buruknya sistem informasi kependudukan Indonesia sudah sampai menghilangkan nyawa.
Belakangan kembali ramai keluh kesah warganet yang sepertinya sudah sangat kesal harus melulu direpotkan ketika berhadapan dengan birokrasi di Indonesia. Baik di daerah dan pusat, ketika mengurus sesuatu dan melibatkan beberapa dokumen, yang selalu wajib untuk dilampirkan adalah fotokopi e-KTP. Lalu apa gunanya KTP elektronik atau yang dikenal dengan e-KTP? Apa makna kata elektronik yang nempel di sana? Kenapa kita harus selalu fotokopi e-KTP?
Karena banyaknya pertanyaan seperti itu, saya terpanggil untuk memberi satu jawaban yang simpel saja.
Kamu pernah dengar soal Kemendagri memberikan akses data kependudukan ke pihak pinjol kan? Ketika pihak pinjol memiliki akses tersebut, apakah mereka pernah meminta fotokopi e-KTP milik kamu? Nggak pernah kan. Palingan yang diminta oleh mereka adalah foto dari KTP kamu dan juga foto selfie kamu bersama KTP, yang mana itu adalah syarat untuk memenuhi regulasi dari OJK.
Bermodalkan akses data kependudukan dari Kemendagri tersebut, yang dibutuhkan oleh pihak pinjol hanya NIK milik kamu. Ketika mereka memasukkan NIK milik kamu, data kamu akan ditampilkan dengan sangat lengkap, bersumber dari data dukcapil yang dikelola oleh Kemendagri. Selain nama lengkap, ada juga nomor KK, tempat dan tanggal lahir, alamat, nama ayah dan ibu kamu, pekerjaan, golongan darah, status perkawinan, dan informasi lainnya. Jadi itu kenapa pihak pinjol tidak akan pernah meminta fotokopi e-KTP milik kamu, karena dengan mudahnya mereka bisa mendapatkan informasi lengkap yang berhubungan dengan kamu hanya bermodalkan sebuah NIK.
Lho ini gimana pemerintah bisa memberikan akses tersebut ke pihak swasta tapi ke pemerintahnya sendiri nggak bisa menerapkan hal yang sama? Saya akan coba bercerita untuk menjawab pertanyaan ini.
Sejak dulu, pemerintah Indonesia itu punya sistem informasi dengan berbagai nama yang aneh-aneh. Sistem informasi ini sangat banyak dan dibuat oleh masing-masing lembaga dan kementerian. Mereka sangat terbiasa bekerja sendiri-sendiri dan anti dengan yang namanya koordinasi antar-lembaga dan kementerian. Sistem informasi satu pintu, istilah apa itu?
Karena begitu banyak sistem informasi yang dibuat, masyarakatlah yang dibikin bingung. Setiap mau begini, disuruh mengisi yang itu. Setiap mau begitu, disuruh mengisi yang ini.
Nah, dari sekian banyak sistem informasi yang dibuat oleh berbagai lembaga dan kementerian, sangat sedikit yang diintegrasikan dengan akses data dukcapil dari Kemendagri seperti yang diberikan ke pinjol tersebut. Baik di pusat ataupun di daerah, masih banyak sistem informasi yang sifatnya manual dan belum diintegrasikan dengan data Kemendagri. Karena itu, kamu sering kali harus mengisi informasi milik kamu secara manual atau diminta untuk melampirkan fotokopi e-KTP.
Sekalinya ada sistem informasi yang sudah diintegrasikan dengan sistem dari Kemendagri, sering kali itu tak diinformasikan atau didokumentasikan kepada operator yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Hasilnya, lagi-lagi sistem tersebut menjadi tak berguna dan kamu tetap diminta melampirkan fotokopi e-KTP.
Ketidaksinkronan koordinasi ini ternyata bukan cuma merepotkan, bahkan bisa menghilangkan nyawa orang. Kita belajar dari kasus yang diceritakan warganet bernama Soe Tjen Marching di Twitter ini. Ia bercerita bahwa ART kakaknya ditolak ketika ingin vaksinasi hanya karena urusan KTP, lalu keburu meninggal karena tertular Covid-19. Dari kasus tersebut kita bisa melihat sangking buruknya urusan birokrasi di Indonesia ini, sampai bisa menghilangkan nyawa seseorang.
Jika Kementerian Kesehatan sudah memiliki sistem informasi yang terintegrasi dengan Kemendagri, kasus seperti itu seharusnya tidak terjadi dan masyarakat tidak akan direpotkan dengan harus membawa fotokopi e-KTP ketika ingin vaksinasi. Atau jika sistem informasi itu sudah tersedia, kemungkinan penerapannya di lapangan masih sangat kacau dan operator tidak diedukasi dengan baik tentang bagaimana menggunakan sistem informasi tersebut.
Itulah yang terjadi selama ini, setiap lembaga dan kementerian terbiasa membuat sistem informasi milik mereka masing-masing dan sering kali mengesampingkan integrasi yang seharusnya memberikan kemudahan. Selain menghabiskan banyak biaya dari uang pajak yang kamu bayar, sistem informasi yang mereka buat pada dasarnya tak berguna ketika masyarakat masih diminta untuk fotokopi ini dan itu.
Jadi, pada dasarnya masalah fotokopi e-KTP ini dapat diselesaikan jika koordinasi antar-lembaga dan kementerian dilakukan. Jika sudah dilakukan dan setiap sistem informasi saling terintegrasi, selanjutnya yang dibikin pusing adalah pengusaha jasa fotokopi yang biasanya selalu ada di sebelah kantor pemerintah.
Teknologi itu seharusnya hadir untuk memudahkan. Bila ia malah merepotkan, teknologi itu hanyalah sebuah sampah yang tak berguna. Teruslah marah jika kamu berhadapan dengan birokrasi di Indonesia karena bisa jadi kemarahanmu akan memberikan perubahan suatu hari nanti.
BACA JUGA Hanya Budiman Sudjatmiko yang Bisa Wujudkan Perlindungan Data Pribadi di Indonesia dan esai Teguh Aprianto lainnya.