Sebagai Partai Anak Muda, Harusnya PSI Jangan Keseringan Negative Campaign

MOJOK.COMembiarkan negative campaign ala PSI berkeliaran, kayak Piala Kebohongan PSI untuk kubu Prabowo—sungguh, itu bukan tugas anak muda, Kisanak.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bikin gebrakan lagi. Setelah bikin agenda kontroversial penghapusan Perda Syariah, kebijakan anti-poligami, dan penganugerahan Piala Kebohongan pada Prabowo, Sandi, dan Andi Arief tempo lalu.

Beberapa waktu lalu Ketua Umum PSI, Grace Natalie mengatakan punya agenda baru untuk kalangan anak muda, yaitu memasukkan profesi Youtuber, Influencer, dan Gamer dalam kolom profesi KTP.

Pidato itu disampaikan Grace dalam Festival 11 di Kota Bandung. Tak hanya bicara soal profesi baru—sebelum itu—Grace juga melayangkan kembali negative campaign tentang hoaks-hoaks Prabowo-Sandi, Capres-Cawapres urut 02, lalu dukungan terhadap Ahok. Tentu dengan kobaran semangat ala anak muda.

“Bro and sist,” ujar Grace, “PSI akan mendorong profesi-profesi baru seperti Youtuber, Influencer, Gamer, dan lain-lain, supaya profesi-profesi baru ini bisa dicantumkam dalam kolom pekerjaan di KTP.”

Saya tidak heran dengan kebijakan “anak muda” ini.  PSI mah memang begitu. Bukan saja karena Grace Natalie lebih cantik dan lebih populer ketimbang Surya Paloh dan Hary Tanoe, PSI memang menarik karena umpannya yang selalu menyasar kaum muda. Dan anak muda memang diprediksi jadi pemilih mayoritas dalam Pemilu nanti.

Unicorn baru dalam perpolitikan Indonesia versi Pak Jokowi ini, memang pakai standar ideal anak muda dalam usulan kebijakannya. Seperti dibangunnya citra PSI sebagai partai yang bakal konsisten memerangi korupsi. Dan karena partai baru, hal itu jadi jualan utama PSI dalam percaturan politik Tanah Air.

Sebagai partai baru dengan ide-ide segar, istilah milenial kemudian diidentikkan dengan PSI. Sebab ketika kata itu muncul, dalam pikiran kita berseliweran bayangan sosok Tsamara Amany, kader muda-cantik-cerdas. Apalagi ketika Tsamara bicara antipoligami, waduh, ramailah publik.

Sementara banyak anak muda progresif (kebanyakan gadis-gadis) seakan mendapat perwakilan suara, lalu jingkrak-jingkrak menyuarakan “stop poligami”.

Nah, sebagai sebagai unicorn dalam partai politik universe, PSI membawa proyek-proyek kekinian. Apa-apa harus anak muda, perspektif kebijakannya pun anak muda. Poinnya dari anak muda untuk kemajuan bangsa.

Hal yang seperti memberi sekat bahwa formula politik sekarang sudah kelewat usang karena keseringan pakai model-model kebijakan zaman old. Progresif dan menentang—seolah-olah—semua pola pikir konservatif.

Masalahnya jadi njelimet ketika anak muda itu merambah pada sesuatu yang kurang elok: negative campaign.

Memang, sih, tidak seperti black campaign, negative campaign masih sah-sah saja. Boleh. Juga tak bermasalah secara hukum. Tapi, kan, katanya anak muda. Masa anak muda lebih suka mencecar kekurangan lawan ketimbang menaikkan grade diri. Memangnya untuk menaikkan grade ala anak muda harus sambil menunjukkan kekurangan lawan dulu sih?

Hal yang malah bikin saya curiga, apa jangan-jangan negative campaign PSI yang agresif itu merupakan wujud ketidakmampuan menaikkan grade lagi ya?

Dengan agenda program yang berkualitas, misalnya. Toh, kita semua tahu, agenda-agenda PSI, meskipun banyak, semua periferal bahkan cenderung remeh temeh. Belum menyasar ke hal-hal yang substantif. Kolom pekerjaan di KTP akan diisi Gamer atau Youtuber misalnya. Ya itu keren juga sih, tapi kan itu belum penting-penting amat untuk diperjuangkan.

Masalahnya, ketidakmampuan mencari tawaran kebijakan yang lebih penting kemudian ditutupi PSI dengan menjatuhkan lawan politiknya. Ya itu mah intrik politik yang sudah lumrah. Bahkan hal itu cenderung cara konservatif yang sudah dilakukan politisi dari zaman old. Cuma gimik-gimiknya aja yang beda.

Kalau pakai cara-cara old juga untuk menaikkan eletabilitas, ya nggak perlu anak muda lah untuk melakukan itu. Politisi lawasan juga sama canggihnya, Bro and Sist.

Meski begitu, bukan berarti saya mau membela Prabowo-Sandi. Toh saya juga bukan timses mereka. Saya hanya fokus pada jargon PSI sebagai partainya anak muda, dan apa yang harusnya dilakukan oleh anak muda itu sendiri.

Saya juga nggak mengritik PSI atas nama ia sebagai partai pendukung Jokowi-Ma’ruf. Tetapi membiarkan negative campaign berkeliaran—sungguh, itu bukan tugas anak muda.

Betul memang, semangat anak muda itu wajib—terutama untuk menjaring suara pemilih. Reformasi ’98 saja juga dilakukan generasi anak muda loh—pada zamannya tentu. Tetapi agenda saat itu benar-benar progresif, seperti kebebasan mengritik dan kebebasan berpendapat.

Namun kalau sudah sampai berencana menghapus identitas agama dalam KTP sampai kebijakan anti-poligami, ya jangan salah kalau kemudian PSI mendapat serangan dari sana-sini. Jiwa muda sih boleh-boleh saja, tapi ya bijak lah dikit.

Soalnya ide-ide progresif tetap membutuhkan ide-ide konservatif. Keduanya nggak bisa berdiri sendiri-sendiri. Baiknya sih kedua kutub ini (kaum progresif dan konservatif) saling mengerti satu sama lain. Bukannya sama-sama mau menang sendiri.

Kalau kata Bang Haji Rhoma Irama, “masa muda, masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri, walau salah nggak peduli…”

Lha kalau anak mudanya saja suka merasa menang sendiri begitu—dengan meledek senior-senior mereka—lalu bedanya PSI dengan partai-partai politik yang udah senior apa? Masa yang beda cuma gimiknya doang? Pakai piala sampai plakat segala lagi. Caranya aja yang anak muda, esensinya sih ya orang tua.

Ayolah, PSI, jangan politisir kata “anak muda”. Apalagi menciptakan citra bahwa anak muda belakangan ini juga lebih doyan sama negative campaign.

Elektabilitas bertambah, seyogianya didapat dengan kebijakan-kebijakan berkualitas, bukan cuma berhenti menghancurkan lawan politik sekuat-kuatnya. Jika, misalnya, berbicara secara politik sebagai pendukung petahana, ya sudah ngaku aja. Nggak usah bawa-bawa atas nama kesejahteraan umum dong.

Kalau memang betul-betul mengatasnamakan jiwa anak muda yang anti hoaks, intoleransi, dan korupsi, mestinya kubu petahana juga dikritik. Sebab justru merekalah yang memegang tampuk kekuasaan. PSI sebagai partai baru seharusnya memberi tawaran, apa saja yang kurang dari pemerintahan sekarang lalu kasih tawaran ke pemilih.

Ya meski kita juga tahu, hal itu agak nggak mungkin. Kan satu koalisi ya kan?

Berbicara boleh berapi-api, tapi gimik juga seharusnya lebih sopan, biar bisa “ngajarin” para politisi senior juga, bahwa anak muda itu nggak perlu selalu urakan, tapi bisa elegan juga.

Bro and Sist juga harus tahu, bahwa patokan jiwa muda itu bukan cuma perkara umur atau ide saja, tapi juga bagaimana cara menjelaskan ide tersebut. Jika yang dilakukan penyampainnya dengan negative campaign, masyarakat bakal lebih ingat kekurangan lawan ketimbang kekuatan PSI sendiri.

Oke deh, PSI mungkin nggak peduli karena menyasar orang-orang yang sepemikiran, tapi iya kalau orang risih sama cara ledekan politik ala PSI lalu malah milih PDI atau Golkar gimana?

Ya satu koalisi sih, tapi kan Pemilu urusannya bukan cuma Pilpres doang, tapi juga Pileg. Banyak-banyakan kader partai yang bisa masuk ke Senayan.

Ya bakal percuma dong kalau Jokowi akhirnya jadi Presiden, tapi kader PSI yang masuk parlemen cuma beberapa orang? Wah, berat diongkir dong, Sist.

Exit mobile version