MOJOK.CO – Ditanya kerja apa, saya jawab ngajar di Taman Pendidikan Al-Quran alias TPQ. Yang tanya pasti tertawa, dianggapnya saya ini bercanda.
Seorang teman jauh menelepon. Sudah lama kami berpisah sampai Facebook mempertemukan kami kembali. Malam itu akhirnya ia menghubungi saya lewat telepon. Kehabisan bahan setelah berbasa-basi tentang kabar, tentang info teman-teman lain, dan tak lupa bertukar ingatan tentang peristiwa-peristiwa lucu di masa lalu, ia lalu menanyakan soal pekerjaan saya.
“Kerja apa sekarang?” tanyanya.
Saya tidak segera menyahut. Ini pertanyaan sulit. Sangat sulit. Saking sulitnya saya pernah berpikir bahwa selain kolom tentang agama di KTP, kolom tentang pekerjaan seharusnya juga dihilangkan. Beberapa pengalaman traumatis mengajarkan kepada saya betapa tidak mudah menjawab pertanyaan soal pekerjaan.
Pernah ibu saya bertanya tentang itu dan—biar terdengar keren—saya menjawab jadi penulis. Bukannya bangga, ibu saya malah mengira saya jadi tukang ketik seperti di Kantor Kelurahan. Pada saat membuat KTP kejadian yang sama berulang. Kepada petugas yang bertanya tentang pekerjaan, saya menjawab sebagai editor.
“Oh, yang tugasnya menarik kredit itu, ya?” tanya Petugas.
Saya garuk-garuk kepala. Petugas itu lantas meminta saya menjelaskan pekerjaan seorang editor, tapi ia tetap gagal merumuskan jawaban-jawaban saya.
“Ditulis karyawan swasta, ya, Dik?” ia bertanya.
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai usulan. Saya langsung mengiyakan agar urusan cepat kelar.
“Jadi guru TPQ.” Akhirnya saya memberi jawaban kepada teman di seberang sambungan telepon. Lalu saya mendengar suara tawa. Begitu panjang sehingga saya harus menunggu agak lama untuk mengetahui apa yang ia tertawakan.
“Jangan bercanda ah,” katanya. Jawaban saya dianggapnya main-main.
“Iya, serius,” kata saya mengulangi. Dan teman lama saya ini malah tambah ngakak.
Embel-embel TPQ dari kependekan Taman Pendidikan Al-Quran itu barangkali yang membuatnya geli. Kalau saya menjawab kerjaan saya sebagai guru atau dosen, responsnya pasti berbeda. Bisa jadi ia akan melanjutnya pertanyaan tentang sertifikasi, inpassing, dan hal-hal lain yang tidak saya mengerti. Tapi kerja saya memang membantu mengajar di TPQ yang ada di musala kampung.
Kepadanya saya bercerita tentang seorang peneliti yang baru-baru ini melakukan studi mengenai TPQ. Si peneliti lalu berkesimpulan bahwa TPQ adalah proses islamisasi paling awal. Sebab dalam banyak kasus, TPQ adalah tempat interaksi awal seorang muslim dengan kitab sucinya. Dan itulah pentingnya guru TPQ.
Kalau tidak penting, buat apa KH. As’ad Humam repot-repot menyusun metode kitab Iqra’ sampai 6 jilid itu, misalnya. Juga para ulama lain dengan beragam metodenya seperti An-Nahdliyah, Qiraati, Yanbua, Ummi, Al-Karim, dan sebagainya. Bahkan jauh sebelum itu, anak-anak kecil di Nusantara sudah mengenal kitab turutan (atau Juz ‘Amma), yang disusun mengikuti kaidah Baghdadiyah karena konon diadaptasi dari tradisi Baghdad, dan menjadi pelajaran dasar membaca Al-Quran di Nusantara selama ratusan tahun.
Tadinya, penjelasan-penjelasan ini saya maksudkan untuk menyadarkan teman saya tentang pentingnya pekerjaan guru TPQ. Tapi ia agaknya tidak memahami perkara sepenting itu. Semakin saya menegaskan, semakin ia menganggap saya bercanda. Oalah, dasar bocah sekuler~
Mengajar di TPQ itu susah. Bukan saja karena pesertanya kebanyakan adalah anak-anak. Tahu sendiri kan bagaimana tingkah anak-anak? Metode mengajarnya juga tidak boleh monoton karena tingkat konsentrasi mereka yang pendek. Apalagi yang diajarkan adalah Al-Quran. Bentuk hurufnya saja berbeda. Huruf-huruf hijaiyah tersebut juga harus dibaca dari arah yang berlawanan dengan cara membaca huruf latin. Belum lagi soal tajwidnya.
Kesulitan makin lengkap ketika sudah berkaitan dengan hafalan. Kita mungkin sering mendengar cerita tentang orang yang terjebak dalam lingkaran surat Al-Kafirun, berputar-putar tak ketemu ujungnya. Seorang sahabat Nabi, bahkan diriwayatkan pernah mengalaminya, saat sedang mabuk.
Banyak ayat dalam Al-Quran yang memiliki kemiripan antara yang satu dengan lainnya. Tidak sedikit orang yang membaca surat At-Tin kemudian kesasar ke surat Al-Ashr pada akhir ayatnya. Seharusnya yang dibaca adalah illa ladzina amanu wa ‘amilus shalihati falahum ajrun ghairu mamnun tapi ia malah membacanya menjadi illal lazina amanu wa amilus sholihati watawasau bil haqqi watawasau bis-shabr. Begitu juga sebaliknya dari Al-Ashr malah jadi At-Tin.
Bahkan pada surat-surat yang populer, seseorang juga bisa terlepeset. Pernah ada seorang santri membaca Al-Fatihah. Pada ayat-ayat awal bacaannya melaju dengan lancar. Saya manggut-manggut mendengarnya, sampai kemudian terjadi turbulensi di bagian akhir. Ayat terakhir itu ia baca menjadi shiratal ladzina amanu waamilus sholihati.., padahal semestinya ia baca shiratal ladzina anamta alaihim ghairil maghdlubi ‘alaihim wala dhaallin.
Sampai beberapa hari bacaan itu memenuhi pikiran saya. Setiap membaca surat Al-Fatihah, bacaan murid saya nongol di kepala. Al-Fatihah tiba-tiba menjadi surat yang licin. Saya harus berhati-hati, beberapa kali harus mengerem bacaan agar tidak tergelincir.
Semakin ke sini, tugas guru TPQ kayaknya makin berat. Karena yang berpotensi tergelincir bukan hanya bacaan dan hafalan. Banyak ustad baru yang muncul dengan tafsir yang aneh-aneh. Yang menganggap Nabi Saw. pernah sesat lah, yang anu lah. Mereka memaksakan pemahaman mereka yang ganjil terhadap ayat. Mungkin maksudnya baik, tapi lebih banyak malah cari sensasi, biar kelihatan beda daripada yang lain. Begitu benar-benar jadi sensasi bahkan sampai kontroversi, buru-buru minta maaf.
Perkembangan tersebut saya kira juga menjadi tantangan dan tanggung jawab guru TPQ. Untuk paling tidak jadi gambaran bahwa mengaji atau belajar agama itu sebaiknya jangan otodidak, soalnya ini ngaji bukan pelajaran menggambar.
Ya, kendati saya sadar, nasib jadi guru ngaji di TPQ seperti saya ini bakalan jadi bahan tertawaan teman lama saat bertanya, “Kerja apa sekarang?”