Sang Terpidana Mati Kusni Kasdut

Hikayat-2019 - Mojok.co

MOJOK.CO – Kusni juga sudah delapan kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Hanya tiga kali dia gagal dan selebihnya berhasil.

Namanya Kusni Kasdut.

Terpidana mati atas kejahatannya membunuh anggota polisi di Semarang. Kusni dihukum penjara seumur hidup untuk nyawa Ali Bajened. Divonis dua belas tahun penjara untuk lakonnya memimpin perampokan berlian di Museum Pusat. Dan dia diganjar 5,5 tahun untuk kejahatannya –yang pertama–menculik seorang dokter.

Selain sebagai “orang rantai”, Kusni juga sudah delapan kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Hanya tiga kali dia gagal!

Tatkala Kusni mengembuskan napas terakhir dan secara resmi diumumkan mati, alam semesta turut beriba dan merasakan duka-lara Kusni, sebagaimana dengan menyentuh hati diberitakan oleh Majalah Tempo: “Waktu itu langit bersinar tiga per empat rembulan malam ke-18. Di cakrawala sebelah utara tampak pijar-pijar kilat yang tak berbunyi” (Tempo, 12 Januari 1980).

Menelusuri kapan Kusni Kasdut dilahirkan laksana “mencari jarum dalam karung jerami”; hampir tidak ada catatan yang bisa dipercaya untuk menentukan tanggal lahirnya.

Akan tetapi, untuk keperluan resmi tanggal lahirnya saja, dia ditakdirkan menjadi manusia marjinal; lahir dan hidup hanya dua hari dari tahun lama, dan hari ketiganya sudah melompat ke tahun baru 1930 yang, boleh disebut, itulah tahun kelahiran sang bayi yang langsung menjadi malapetaka bagi ibunya, dan menjadikannya bahan kecimus orang sekampung. Mereka bergunjing bahwa bayi itu adalah hasil hubungan gelap antara ibu yang sudah memiliki seorang anak perempuan dan seorang lelaki yang sudah beranak delapan orang sebelumnya.

Ibunda Kusni begitu terpukul oleh masalah ini, sehingga ia tidak pernah membuka rahasia siapa sebenarnya bapak sang bayi dengan hanya mengatakan, bahwa bapaknya adalah seorang yang berpengaruh, seorang lurah dari desa tetangga.

Kasdut baru mengetahui rahasia tersebut ketika dia berusia 16 tahun; saat itu dia menjadi bocah penjaja panganan di terminal bus yang menjual rokok, kukis, kepada para penumpang yang datang dan pergi.

Pengalaman tentang itu begitu pahit bagi dirinya dan merasa begitu terpukul, sehingga dia mengambil langkah maut untuk meninggalkan pekerjaan dan kampung halamannya.

Kusni kemudian masuk menjadi anggota Pemuda Pejuang Surabaya. Dia beruntung karena diterima dan juga ikut terlibat di dalam Perang Surabaya antara laskar dan Inggris.

Ini menjadi loncatan karier yang cerkas bagi Kusni, dari menjadi anak haram tak berguna ke dalam sumber kebanggaan semua pejuang yang kiranya akan menjadi anggota terhormat dari negara baru yang sebentar lagi akan merdeka.

Di samping itu, Kusni memilih sisi yang tepat di tengah pangkuan negara anyar yaitu dalam Pemuda Pejuang, di dalam laskar, dan sebentar lagi ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) (Matanasi 2012).

Meski Kusni putus sekolah di kelas dua sekolah teknik, dia dilatih menjadi Heiho, polisi masa Jepang, di dalam batalion Matsumura, dengan pangkat terakhir menjadi Jokotei; lalu dia masuk menjadi anggota Badan Keamanan Rakjat, BKR, cikal bakal TNI, dengan pangkat sersan.

Dia terlibat dalam hampir semua pertempuran besar di Surabaya. Ketika BKR diganti menjadi Tentara Keamanan Rakjat, TKR, Kusni masuk menjadi anggota Batalion Rampal. Mengalami kekalahan di Jawa Timur, dia pindah ke Yogyakarta dan masuk pasukan khusus yang terdiri dari segala macam orang dari jagat gelap: pelacur, germo, perampok, dan maling (Simbolon 1989).

Di dalam pasukan baru ini, Kusni menjadi anggota Staf Pertempuran Ekonomi, departemen ekonomi. Ini hanya merupakan nama cogah untuk kegiatan sesungguhnya seperti mencuri, membunuh, merampok, merampas demi kepentingan perjuangan, untuk merebut kemerdekaan Indonesia.

Salah satu tugasnya dalam departemen unik ini adalah merampok seorang Tionghoa kaya di Gorang Gareng, Madiun. Sesudah merampok intan di toko itu, semuanya diserahkan kepada seorang letnan kolonel perempuan yang tak dikenalnya secara pribadi, untuk kepentingan apa Kusni tidak diberitahu dan tak perlu tahu; satu-satunya yang boleh dia tahu adalah demi kepentingan Republik Indonesia (Simbolon 1989).

Setelah tertungkus-lumis dalam berbagai peperangan, ditembak, ditahan, memimpin sesama tahanan keluar dari penjara Belanda, Kusni bertempur untuk terakhir kalinya di Blitar, Jawa Timur, kira-kira pada pertengahan 1949, sedikit sebelum genjatan senjata menuju Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.

Ketika dalam KMB diputuskan bahwa negara baru ini menjadi negara serikat, maka Republik Indonesia dengan ibu kota Yogyakarta “hanya menjadi salah satu negara bagian” dari Republik Indonesia Serikat, RIS, yang terutama juga berarti RI dengan pendakuan berpijak di bekas wilayah Hindia Belanda secara de facto bercempera.

Pembubaran republik menyisakan banyak persoalan dan yang menjadi perhatian di sini adalah persoalan militer. Masalah yang paling menonjol ialah Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), dengan intinya bagaimana memperlakukan sejumlah besar pasukan yang setia kepada Belanda, tetapi dalam masa perjuangan berpihak kepada Indonesia.

Inilah yang menjadi pekerjaan rumah dari Kabinet Hatta pasca Perang, Desember 1949-Agustus 1950.

Salah satu rencana Kabinet Hatta adalah secara radikal mengadakan reshaping angkatan perang, dan memungkinkan diterimanya 65.000 anggota KNIL yang sudah masuk menjadi angkatan perang dengan syarat-syarat yang diajukan Republik Indonesia Serikat. Memberi bentuk baru angkatan perang, berarti dimobilisasi anggota angkatan perang.

Yang terang di depan mata adalah demobilisasi anggota KNIL yang ternyata tidak mudah karena hal itu merangsang  peranan kaum KNIL dalam gerakan-gerakan militer, seperti kasus Westerling, Andi Azis, dan Republik Maluku Selatan (Feith 1962: 75-81).

Namun, yang paling musykil, dan relevan dengan tokoh Kusni adalah: bagaimana merehabilitasi para anggota laskar yang kebanyakan berpendidikan rendah. Reorganisasi militer berarti profesionalisasi sekaligus juga rasionalisasi yang konkretnya, berarti mempertahankan kelompok inti TNI. Untuk keperluan itu, tidak ada jalan liyan dari melihat siapa saja yang namanya terdaftar secara resmi.

Dan, tentu saja, Kusni tidak pernah terdaftar sebagai tentara Indonesia. Bak disambar petir di siang bolong, Kusni mengutuki pemerintah dan memutuskan untuk membalas dendam kepada negara yang “mengkhianati” dirinya, dan memilih tempat yang “berseberangan” dengan negara, yakni menjadi bromocorah.

Daniel Dhakidae dengan cerkas meneroka, bahwa saat hari pertama melakukan aksi perampokan, Kusni mengubah namanya menjadi Kasdut. Di antara beberapa “buah tangan” perampokannya yang penuh petualangan ialah satu kejadian yang mengguncangkan republik, tahun 1963.

Sejumlah perhiasan intan berlian seharga Rp 10 juta milik museum negara dirampok oleh lima perampok, dua di antaranya mengenakan seragam polisi.

Perampokan berlangsung pada hari ini jam 08:30 pagi. Kelima perampok melarikan diri dari kejaran polisi dengan sebuah jip dengan nomor polisi AD-7474. Perhiasan yang dirampok termasuk 6 cincin berlian, 6 tusuk konde, dan 2 anting-anting. Semuanya adalah perhiasan antik Pulau Lombok.

Perampokan hanya berlangsung 10 menit (Dhakidae 2015: 223). Kasdutlah yang memimpin perampokan itu dan dalam pengejaran polisi, dia ditangkap di Semarang. Dalam usaha menyelamatkan diri, dia membunuh seorang brigadir polisi. Kasdut diadili dan diganjar hukum mati untuk kedua kalinya, pasca hukuman mati perdana ketika dia membunuh seorang milioner Arab tahun 1950-an.

Akan tetapi, hukuman mati tidak pernah dilaksanakan, walaupun dia harus tinggal di hotel prodeo dalam waktu yang lama sekali. Kasdut diterpa keputusasaan besar dan lari dari penjara dan ditangkap lagi dan ditempatkan di dalam sel yang sama, dengan dinding-dinding yang sama pula.

Lantas dipindahkan lagi dari satu penjara ke penjara lain dari Jawa Barat ke Jawa Timur. Kasdut pun tersungkur dalam kesendirian yang hampir absolut. Sorang pastor Katolik, Van Lersel SVD yang seberapa waktu bekerja di Flores dan pada waktu itu sedang berada di Jakarta, datang pada saat yang tepat bagi Kasdut. Menurut Kasdut, itulah kelahiran kembali dan Kusni Kasdut berubah nama menjadi Ignatius Waluyo. Dia bertobat.

Pertobatannya ini sama sekali tidak seperti yang biasa dibayangkan orang karena selain suatu kelahiran kembali semuanya, seperti suatu akumulasi dari Kusni-Kasdut-Ignatius Waluyo dalam satu diri di mana paradoks demi paradoks seolah-olah selalu berada dalam proses mencari solusi (Dhakidae 2015: 226).

Arkian, bromocorah kelahiran Blitar ini ditembak mati pada 6 Februari 1980. Tiga pelor menembus dadanya, dan lima di perutnya. Nasibnya sudah ditentukan ketika Presiden Soeharto menolak permohonan grasinya tanggal 10 November 1979. Berakhirlah telatah sang perampok legendaris.


Sepanjang Ramadan MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus soal hikayat dan sejarah peradaban Islam dari sejarahwan Muhammad Iqbal.

Exit mobile version