MOJOK.CO – Vaksin Sinovac mungkin jadi sekoci tersisa yang tak bisa menyelamatkan seluruh nyawa. Tapi kalau baru itu yang ada, kamu mau apa?
Sesudah Presiden Joko Widodo nge-live saat menerima suntikan intramuskular berisi vaksin CoronaVac, hal yang sama juga dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan. Iya, sama persis live-nya, tangan kirinya…
…plus sama pula vaksinnya~.
Saya tentu saja bukan duta vaksin Sinovac, tapi saya termasuk dalam kalangan yang mendukung vaksinasi.
Bukan apa-apa, pendekatan kesehatan masyarakat sebagai solusi utama untuk mengatasi pandemi sudah tampak mentok di negeri kita ini. Penyebarannya sudah level “komunitas”, bukan lagi “klaster”.
Kalau Ibu Siti Fadilah Supari waktu serah terima jabatan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ke Budi Gunadi Sadikin pernah bilang bahwa dulu kita berhasil mengatasi pandemi, ya konteksnya sudah jauh berbeda dengan sekarang.
Dulu itu levelnya masih bisa dikontrol. Hari ini? Separuh negara di dunia level transmisinya sudah bukan lagi klaster kasus, tapi sudah tingkat komunitas. Alias sumbernya sudah sulit ditemukan karena tercipta beberapa klaster dalam suatu area.
Harapan untuk mengatasi penyebaran COVID-19 pada akhirnya adalah vaksinasi. Ya supaya kejadian saling menulari di komunitas dapat berkurang dan kalaupun tertular tidak begitu parah.
Saat pertama kali vaksin Sinovac datang ke Indonesia untuk uji klinik, sudah muncul keramaian di negeri ini. Uji klinik secara sembrono disamakan dengan uji coba. Sampai ada tokoh penting yang menyamakan subjek uji klinik dengan kelinci percobaan pula. Ngeri, ngeri sekali, Bung.
Padahal uji klinik kayak gitu itu protokolnya ketat, modalnya gede, dan dikawal pakar pada setiap tahapannya.
Padahal lagi, ketika suatu negara menjadi lokasi uji klinik, cukup banyak manfaat yang diperoleh. Makanya nggak heran kalau negara-negara seperti Turki atau Brazil bahkan menggelar uji klinik untuk lebih dari satu jenis vaksin.
Oke, uji klinik mungkin tidak begitu meragukan, tapi gimana dengan fakta kalau vaksin Sinovac itu berasal dari Tiongkok?
Hehe. Dari 63 vaksin yang sudah masuk fase uji klinik, sebenarnya kita akan menemui banyak perusahaan Tiongkok sebagai pengembangnya. Ada Sinovac, Sinopharm, Cansino, Jiangsu Provincial Center for Disease Prevention and Control, dan sederet nama lainnya.
Sebagai gambaran, uji klinik tahap 1 untuk vaksin kolaborasi Pfizer, BioNTech, dan Fosun Pharma itu dilakukan di Jiangsu, Tiongkok, bisa dibaca sendiri di sini.
Hal ini juga sekaligus menjawab alasan kenapa Tiongkok punya vaksin sendiri tapi beli punya Pfizer. Ya mosok Fosun Pharma nggak boleh membeli vaksin yang mereka turut kembangkan?
Hal ini sebenarnya wajar karena virusnya kan bermula di Wuhan, Tiongkok. Jadi, akses data-data lebih mudah dan untuk uji klinik fase awal ada begitu banyak kasus yang sangat membantu untuk pengumpulan data.
Selain itu, yang namanya penyakit saluran pernapasan seperti COVID-19 itu setiap tahun selalu masuk ke dalam ancaman kesehatan global dan sudah diprediksi sejak lama oleh para ilmuwan bahwa suatu saat akan kejadian. Jadi pengembangan vaksin itu ya nggak yang dari nol-nol banget.
Saya sih ingin menyarankan satu hal kepada rakyat Indonesia yang literasinya luar biasa ini. Tidak perlu membawa preferensi politik dalam urusan vaksin. Yakin deh sama saya, nanti malah mumet sendiri.
Seperti belakangan ini, ketika Turki mengeluarkan kebijakan moneter terkait pandemi ini, banyak juga yang mengedarkannya ke grup WhatsApp sambil membandingkan dengan kebijakan yang diterapkan di Indonesia. Ya harap maklom, Presiden Erdogan di Turki itu lumayan banyak fansnya di Indonesia.
Rombongan yang menggemari Presiden Erdogan ini biasanya beririsan dengan rombongan anti-Tiongkok yang sering merundung Novi Basuki kalau lagi nulis di Mojok. Ketika kemudian melihat bahwa Presiden Erdogan menerima vaksin yang sama persis dengan Presiden Jokowi, boleh jadi muncul gejolak rombongan penolak vaksin yang bakalan sakit kepala.
Asal kamu tahu saja, Turki itu sudah memesan 50 juta dosis vaksin Sinovac (Indonesia amankan 100 juta vaksin). Artinya, baik Turki maupun Indonesia tengah berupaya mengamankan berjuta-juta dosis vaksin Pfizer-BioNTech. Indonesia sendiri juga bergerak mengamankan vaksin Novavax dan AstraZeneca.
Sejumlah netizen kemudian mengangkat kembali perbedaan angka efikasi di Turki dan Indonesia. Hebat ya, soal angka efikasi jadi menarik karena masyarakat kita mendadak jadi begitu peduli.
Padahal, efikasi vaksin influenza dari dulu rata-rata hanya 43 persen dan tidak ada yang mempermasalahkannya selama ini. Selow-selow aja.
Lagian kalau menurut penelitian di Amerika Serikat ini efikasi vaksin 40 persen dan separo rakyat mendapat vaksin saja pada dasarnya sudah dapat mencegah 61 juta kasus COVID-19.
Apalagi sebenarnya angka efikasi itu tidaklah pas kalau dibandingkan secara head to head dengan vaksin lain. Soalnya, ada banyak perbedaan dalam setiap uji klinik yang dilakukan, entah itu jumlah subjek uji maupun kriteria inklusi. Makanya WHO hanya menetapkan batas pokoknya di atas 50 persen.
Pakar saja sepakat sama angka 50 persen, kok ya pakar-pakaran di medsos ini pada ribut dengan angka 50, 65, 91, atau 95 persen. Buset, netizen Indo emang ngerasa udah di atas WHO levelnya. Suka-suka mereka aja kasih standar efikasi vaksin.
Hari-hari ini seluruh dunia berebut vaksin, terlebih negara-negara lintas ideologi politik yang penularannya sudah sampai tingkat komunitas. Jadi dalam hal pilihan vaksin ini sekali lagi saya menyarankan terutama untuk sesama rakyat jelata agar melepaskan dulu preferensi politik masing-masing. Nanti pusing sendiri.
Kemarin aja kan udah pusing pas Pak Prabowo dan Pak Sandiaga masuk kabinet, jangan tambah pusing lah gara-gara vaksin. Cukup, sudah. Cukup. Hop.
Untuk sekali ini saja. Yuk, mari kerja sama atau kita bakal modyar sama-sama.
BACA JUGA Cara Raffi Ahmad Kritik Pemerintah Adalah dengan Nongkrong Cantik usai Divaksin dan tulisan Alexander Arie lainnya.