MOJOK.CO – Salmafina yang pindah agama memang jadi hajat besar media. Hingga banyak yang kemudian abai soal etika jurnalismenya.
Kalau kamu ingin tahu betapa anjloknya kualitas jurnalisme di Indonesia saat ini, coba simak berita-berita semingguan ini tentang Salmafina yang pindah agama. Kamu akan membaca berita-berita yang bikin dahi mengernyit. Dari mulai Salmafina yang disebut suara.com (((terciduk))) beribadah di gereja, sampai Salmafina yang disebut detik.com (((bersembunyi))) karena menolak diwawancara wartawan terkait kabar ia pindah agama.
Tidak hanya soal kabar Salmafina beribadah, segala macam kehidupan pribadinya juga dibuka. Dari cerita ia ingin bunuh diri sampai ia mengganti bio Instagram-nya yang mengutip ayat.
Pertanyaannya, kenapa orang pindah agama jadi hajat besar bagi media?
Menurut saya, ini terjadi karena persilangan dua hal. Pertama, agama dianggap sebagai salah satu bagian yang penting bagi masyarakat Indonesia. Survey yang dibikin PEW Research Center menyebutkan bahwa 93% penduduk Indonesia menganggap bahwa agama sangat penting bagi mereka. Jumlahnya sedikit lebih rendah dari Ethiopia yang mencapai 98%, tapi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Turki yang tingkat kepercayaan terhadap agama di angka 68%.
Karena tingkat kepercayaan yang demikian tinggi, setiap berita tentang agama—apalagi pindah agama—akan membuatnya memiliki news worthy. Pasti akan banyak yang tertarik untuk membaca berita-berita tentang agama. Apalagi di Indonesia, isu agama ini juga sedang menghangat, atau bahkan sudah mendidih 2-3 tahun belakangan. Kamu semua belum cukup tua kan untuk mengingat demo berjilid-jilid yang menghasilkan alumni itu?
Nah yang kedua, tren jurnalisme kuning di media. Ini yang menjadi dasar untuk menjelaskan berita-berita clickbait dan ramah SEO itu. Jurnalisme kuning itu kira-kira praktik yang menjadikan hal-hal sensasional sebagai panglima. Semakin personal dan sensasional sebuah isu, semakin layak tayanglah dia. Kata teman saya: Mashoook!
Dalam pemberitaan Salmafina pindah agama, praktik ini sudah demikian terlihat dengan jelas. Coba lihat berita di Detik yang berjudul “Kabar Salmafina Pindah Agama Turut Dibicarakan Gereja Tiberias Indonesia”. Kalau kamu hanya punya waktu untuk membaca judul ini, tentu beranggapan bahwa berita ini tentang gereja yang memberikan pertanyaan terkait Salmafina.
Tapi tapi tapi, salah. Sebagaimana banyak dilakukan media online saat ini, judul sama sekali tidak menggambarkan isinya. Itu berita ternyata berasal dari pertanyaan wartawan Detik kepada staf gereja ((yang tidak mau disebut namanya)) dan hanya menjawab, “Oh yang berita tadi pagi itu. Gereja mana emangnya? Nggak disebut ya?” Jadi dengan kutipan sekalimat itu jadilah judul “Turut Dibicarakan Gereja Tiberias”.
Oh iya, salah kalau kamu menganggap bahwa model jurnalisme kuning ini hanya dipraktikkan oleh media-media yang memang sudah terkenal sensasional seperti Detik atau Tribun. Media seperti Tempo.co pun tak mau ketinggalan. Dalam berita mengenai Salmafina ini, kamu akan menemukan berita-berita tentang celana dalam dan potret seksi Salmafina. Serius.
Praktik jurnalisme kuning memang menggejala di media Indonesia karena ia sudah terbukti ampuh dalam mendatangkan klik, yang dalam dunia media online berarti pemasukan. Dan tentu saja, beberapa media akan protes atau menolak kalau disebut melakukan praktik ini. Malu-malu tapi tetap dilakukan karena menguntungkan.
Nah, kembali dalam kasus berita-berita agama tadi, meski banyak media sama-sama menganggap berita pindah agama sebagai isu yang penting diberitakan, tapi cara memberitakannya akan jauh berbeda antara artis-artis yang pindah dari Islam ke agama lain dibanding sebaliknya.
Saya iseng menggoogling “Salmafina pindah agama” dan “Deddy Corbuzier pindah agama”. Hasilnya? (((Mencengangkan))). Untuk Salmafina, kamu akan menemukan 3.520.000 hasil pencarian, sementara Deddy Corbuzier hanya 395.000. Bedanya hampir sepuluh kali lipat.
Tentu hasil pencarian itu bisa berarti banyak hal. Dan kuantitas memang tidak selalu mencerminkan kualitas. Tapi yang segera terlihat kalau didalami lebih jauh mengenai berita-berita di dalamnya, berita-berita mengenai Deddy Corbuzier – dan secara umum mengenai mereka yang pindah ke agama Islam—akan terasa lebih adem. Kamu akan dengan mudah menemui frase seperti “mendapatkan hidayah”, “perjalanan spiritual”, dan lainnya. Bahkan, “peresmian” Deddy Corbuzier pindah agama yaitu dengan mengucapkan kalimat syahadat diliput banyak media.
Tapi bagaimana bila sebaliknya? Kasus Salmafina ini menunjukkannya. Salmafina, remaja berusia 19 tahun, tidak digambarkan “mendapatkan hidayah” tapi yang dikulik adalah berita perceraiannya, drama keluarganya, dia yang masih labil, dan hal-hal yang negatif lainnya. Nada pemberitaan sejenis ini bisa ditemukan dalam berita pindah agama yang lain. Beberapa tahun lalu misalnya menimpa Lukman Sardi yang pindah agama.
Mengapa ada standar ganda?
Rasanya tidak perlu dijelaskan tapi singkatnya, media-media ini memang butuh berita pindah agama sebagai konten yang seksi. Tapi, tetap ada batasnya. Apakah batasnya privasi? Oh, tentu saja bukan. Batasnya sederhana, media-media ini tidak akan berani menulis hal-hal yang sifatnya sensasional, apalagi kontroversial yang melibatkan agama mayoritas, dalam hal ini di Indonesia adalah Islam. Apa mau didemo berjilid-jilid?
Saya sendiri beranggapan bahwa urusan agama adalah urusan privat. Beberapa media akan menyebut bahwa selama yang pindah agama adalah tokoh publik, maka ia tidak bisa dibilang privat lagi. Oke, di titik itu saya setuju, tapi apakah perlu memberitakannya dengan cara yang sensasional dan mengabaikan etika jurnalisme?
Ini pertanyaan retoris yang akan dianggap angin lalu karena prinsip jurnalisme kuning sudah berhasil diterapkan. Semakin dibicarakan, semakin kontroversial, semakin laris, semakin menguntungkan. Kita akan melihat berita Salmafina-salmafina berikutnya di tahun-tahun mendatang.