Salah Apa HMI Kok Dihujat?

Salah Apa HMI Kok Dihujat?

Gelombang hujatan netizen terhadap aksi HMI begitu besar. Mulai dari memakan biaya APBD Provinsi Riau sebesar 3 miliar yang konon lebih besar dari anggaran untuk mengusir asap; aksi blokade jalan karena tidak mendapat fasilitas penginapan; sampai 21 bis berisi anggota HMI yang makan di sebuah warung tapi mereka tidak mau membayar.

Menghujat HMI boleh saja. Namun seyogianya kita tahu kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Tanpa pengetahuan politik yang memadai, hujatan Anda bakal terasa menggelikan.

HMI adalah salah satu organisasi mahasiswa yang telah memenangi pertarungan paling keras dalam sejarah Republik ini. Pada tahun-tahun genting 1965, HMI telah berhasil memenangi laga dengan menyingkirkan dua rival politiknya: CGMI dan GMNI. CGMI amblas bersama hancurnya PKI, sedangkan GMNI meringkuk dalam segala keterbatasan seiring dengan redupnya pamor Sukarno dan PNI. Praktis selama Orde Baru berkuasa, HMI menjadi satu-satunya organisasi mahasiswa yang berjaya—walaupun sempat terbelah menjadi dua antara yang pro-azas tungal dengan yang tidak. Maka tidak heran, HMI banyak menelorkan para bintang Orde Baru macam Pak Akbar Tanjung. HMI juga melahirkan intelektual mumpuni macam almarhum Pak Nurcholis Madjid. Dan bahkan kelak melahirkan banyak penentang Orde Baru macam Pak Amien Rais.

HMI identik dengan Orde Baru, tapi tak monolitik. Selalu ada pasang-surut dan banyak polarisasinya.

Semenjak itu, satu-satunya rival HMI hanyalah PMII. Itu pun bukan rival sebanding. Hanya Gus Dur yang bisa menjelaskan dengan apik kenapa kedua organ mahasiswa ini dibilang tak setara. Kata Gus Dur, “Kalau HMI selalu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, sementara PMII tak pernah tahu tujuannya apalagi caranya.”

Tapi hidup ini tak selamanya seperti kisah hidup Dian Sastro, yang kariernya bagus, selalu tampil menawan, dan dapat suami tajir pula. Nyaris sempurna. Sementara Dian Sastro bernasib hampir selalu baik, HMI tak selamanya bernasib sama. Gelombang surut HMI mulai terasa di era gerakan 98. Sebagian kader dan massa HMI lari ke KAMMI. Mungkin karena bosan di HMI yang masih ragu menentang Soeharto ketika tensi politik makin tinggi. Lama hidup nyaman, membuat rasa kritis tumpul, dan keberanian beroposisi menjadi kempes. Baru di detik-detik terakhir menjelang Soeharto lengser HMI berani bersuara keras. Namun semua itu tidak bisa menahan laju surut organ mahasiswa terbesar di Indonesia ini.

Tapi setidaknya HMI masih harus bersyukur karena tidak pernah ditinggalkan oleh senior-senior mereka. Bahkan salah satu kader emas mereka bernama Anas Urbaningrum, jika tidak tiba-tiba kena skandal Hambalang, bakal menjadi kandidat kuat Presiden RI. Untuk urusan Presiden, HMI memang harus bersabar. Sebab selama ini baru Pak Hamzah Haz dan Pak Jusuf Kalla yang bisa menjadi Wapres. Harapan punya kader yang menjadi presiden selalu kandas, mulai dari Pak Akbar Tanjung sampai Pak Amien Rais. Ketika harapan itu diberikan di pundak Mas Anas, ternyata di luar dugaan, beliau malah masuk penjara.

Memang HMI masih punya stok beberapa nama emas macam Mas Anies Baswedan. Tapi tampaknya untuk urusan ini, GMNI kemudian melesat menyalip HMI. Bayangkan, untuk Gubernur, setidaknya dua Gubernur di Jawa, dipegang oleh kader GMNI: Pakde Karwo dan Mas Ganjar Pranowo. Bukan hanya GMNI, rival HMI yang lain yakni PMII juga melejit. Kader-kader PMII mulai masuk ke kementerian yang dipimpin Pak Presiden Jokowi. Salah satunya adalah Mas Hanif Dhakiri.

Dalam situasi seperti itulah kita mesti memahami HMI. Termasuk ricuhnya kongres HMI yang dihelat di Riau. Rasa terancam, ditambah dengan semacam penyakit post power syndrome yang diderita secara kolektif, membuat segala hal kecil yang mengganggu bisa dianggap sebagai persoalan besar dan menyulut emosi. Di saat para kadernya berkuasa, uang 3 miliar itu jumlah yang tidak besar. Jadi, membidik HMI karena uang 3 miliar adalah keliru besar.

Mereka memblokade jalan bukan berarti tidak bisa menginap di hotel. Percayalah uang saku yang didapat dari senior-senior mereka di daerah cukup untuk menyewa hotel. Ini hanya persoalan merasa tidak diperhatikan, sebab selama ini politik di Indonesia juga sudah tidak memperhatikan mereka. Kalau kemudian kawan mereka juga tidak memperhatikan, meledaklah emosi mereka. Ini sesama kawan, lho…

Kalau mereka makan di rumah makan lalu tidak membayar, percayalah bahwa itu bukan karena mereka tidak sanggup membayar. Mereka cukup menelepon salah satu ‘kakanda’, maka jangankan makanan untuk 21 bis, untuk ratusan bis pun para kakanda mereka sanggup membayar.

Segala ontran-ontran kongres HMI ini terjadi hanya karena persoalan mereka bingung menempatkan posisi dalam kancah politik mutakhir Indonesia; jengkel karena tak menemukan rumus jitu untuk mengembalikan kejayaan mereka; menderita semacam post power syndrome, sehingga inilah yang terjadi: ekspresi mereka adalah caper. Mereka bikin ulah supaya diperhatikan. Mereka cuma ingin bilang: Kami ada dan (sayangnya tak lagi) berlipat ganda.

Jadi dalam situasi seperti ini, tidak saatnya menghujat mereka. Kini waktu yang tepat mengajak mereka untuk menarik napas panjang, rileks, sambil diberi pemahaman yang baik bahwa memang sudah titiwancinya HMI berada di tapal paling surut. Mumpung belum terlalu lama aktif di HMI, mereka punya waktu untuk pindah lembaga. Mungkin di Menwa, bisa di Pramuka, atau boleh juga ikut kelompok marching band.

Organisasi itu hanya alat. Kalau sudah macet dan karatan, tinggalkan saja. Pakailah alat baru. Kalau boleh dipakai. Kalau tidak ya masih ada televisi yang bisa ditonton sebagai obat pelipur lara hati.

Kalau kebetulan tidak ada proyek, langsung telepon saja salah satu kakanda. “Ada perintah, Kakanda?” Kalau tidak ada perintah dari satu kakanda, telepon lagi kakanda yang lain, “Kakanda, ini kan musim ‘Mama minta pulsa’ dan ‘Papa minta saham’, masak Adinda gak boleh minta proyekan?”

Saran saya mulai sekarang, berhentilah menghujat HMI. Dan mulailah menertawakannya.

 

Exit mobile version