Riwayat Orang-orang Sok Tahu yang ‘Nggapleki’

Riwayat Orang-orang Sok Tahu yang ‘Nggapleki’

Riwayat Orang-orang Sok Tahu yang ‘Nggapleki’

MOJOK.COGaplek itu diolah dari singkong yang ditumbuk. Lantas kenapa kalau orang sok tahu biasa disebut “nggapleki”? Karena orang kek gini emang kudu ditumbuk.

Pada bulan puasa begini, saya nggak bisa menahan diri untuk mengekspresikan kesebelan saya kepada orang-orang sok tahu yang kelebihan stok imajinasi. Masalahnya imajinasi yang mereka mainkan itu adalah hal-hal sangat sederhana, yang sebenarnya gampang dipelajari kalau mereka mau.

Oke, oke, biar kamu nggak bingung kok ujug-ujug saya muntab begini, saya ceritain dari awal.

Gini.

Ceritanya, kemarin saya menulis di media tetangga. Wis, nggak usah sungkan-sungkan. Sebut saja Detik Dot Kom, mau nama medianya diblur sama editor Mojok ya monggo. Nah, setelah tulisan itu lumayan rame, saya ngintip kolom komentar di web-nya. Dan saya langsung mrongos gara-gara ada komen dari orang yang sok tahu, begini:

“Aneh cuma 0 komentar. Penulis nggak siap dikritik, takut harga dirinya jatuh, semua komen ditolak. Kalau nggak siap mental, nggak usah jadi penulis tohhh. Hehe.”

Saya langsung pingin teriak, “Woiii ini tu Detiiik, bukan blog-ku dhewe woiii!! Antum kira ini situsku sendiri, trus yang moderasi komen aku sendiri, gitu?? Wooo, nguawuurr!”

Memang, saya bisa saja me-reply di situ. Tapi dari dulu saya males dengan prosedur registrasinya, dan sering gagal reply. Jadi biarlah saya misuh-misuh saja, mumpung sudah waktunya buka puasa pas nulis ini.

Yang jelas, saya mangkel tenan, kok bisa-bisanya saya dituduh me-reject komen, karena nggak mau dikritik. Emang gue penulis apaan? Ini menjatuhkan harga diri saya!

Bukan cuma pas di Detik. Dulu kala, pada zaman Mojok belum punya rubrik Terminal, saya ketemu juga orang yang komen di Facebook. Dia bilang kalau Mojok itu sudah jelas media cebong.

Boleh saja sih dia bilang begitu. Mungkin dia sempat ngitung satu per satu sampai ribuan tulisan pro-ceb di Mojok, yang menurutnya lebih banyak daripada pro-kamp. Masalahnya, alasan dia sama sekali bukan itu. Ini dia landasan berpikirnya yang sangat saintifik dan sok tahu:

“Buktinya tulisanku nggak pernah diterima. Mentang-mentang aku bukan cebong. Aku nulis di Kompasiana aja selalu diterima, kok begitu di Mojok nggak pernah dimuat satu kali pun?”

Hajiguuurrr! Pingin rasanya saya nguntal molotov.

Saya langsung jawab, Mojok itu pakai seleksi buat dimuat. Ada standar-standarnya, ada ukuran kualitasnya, ada karakter khas yang dicari, dan sebagainya. Mau tulisan pro-cebong atau pro-kamvret, standar-standar kualitas itu yang mesti dipenuhi dulu. Dan yang dimuat ya dapat transferan, Dul!

Sementara, Kompasiana enggak gitu. Dia user generated content (UGC). Penulis ngaplod sendiri, kemungkinan besar ya lolos moderasi, asal isinya tidak melanggar batasan lazim semacam SARA dan saru. Jadi tidak ada seleksi kualitas, dan lebih-lebih lagi: nulis di Kompasiana itu nggak dibayar!

Betapa ingin bibir ini mengucap, “Itu tu asline karena tulisanmu jeleeeek! Ente kira ada yang sudi mbayar buat tulisan jelek??”

Tapi kalian tahu, hati saya terlalu lembut untuk jenis-jenis ucapan yang jauh dari akhlakul karimah semacam itu.

***

Cerita selanjutnya. Saya ini kan seneng nyepam. Maklum, namanya juga pengangguran tersamar. Dan salah satu yang sering saya spam-i adalah link berita di akun Fesbuk media-media besar.

Misalnya ada link tulisan berjudul “Inilah 5 Zodiak Mereka yang Baik Hati”. Saya buka link itu, baca isinya, dan ternyata bintang saya Aquarius nggak ada. Segera saya komen, “Oh, kini kutahu kenapa aku jahat sekali.”

Sebenarnya ekspektasi saya hanyalah memberikan hiburan untuk rakyat jelata. Biasanya bakalan ada teman-teman saya yang memergoki komen itu, lalu ikut ketawa. Mulia sekali tujuan saya, berikhtiar menyajikan oase spiritual di tengah kemarau banyolan akibat badai ketegangan masa corona.

Bajilaknya, ada satu komen dari orang yang kadang nongol di temlen saya. Meski nadanya gojek, tapi saya tahu dia serius. Dia bilang, “Duit meneeeeh!”

Ha? Duit meneh? Maksude gimana, Mas? Sampeyan kira untuk komen gituan aja aku dibayar? Lha kok penak tenan. Yo aku seneng aja Mas dibayar, tapi sayange kok enggak. Lha siapa yang mau bayar cuma buat komen gituan? Zodiak siapa yang saya promosikan emangnya?

Wis to Mas, gapapa, kami juga maklum kok,” sambar dia sambil pasang emotikon senyum manis.

Badalah. Serius to orang ini?

Sik, Mas, bentar. Kalau boleh tahu, mekanismenya gimana komen semacam itu kok bisa dibayar? Mbok saya diajari, biar tambah pemasukan.”

Saya mancing begitu, meski jelas sambil mecucu.

“Hehehe, masak saya ngajari Mas Iqbal, to. Njenengan lebih tahu kan soal-soal gitu. Aman, Mas. Nggak papa.”

Grrrrhhhhh! Alus ngomongnya, alus banget, tapi jiann nggapleki tenan.

Entah dia baca dari mana kalau komen nyepam itu dapat duit. Lha kalau saya nyepam isinya iklan kelas online saya bersama Agus Mulyadi, nah itu baru bisa dapat duit, meski duitnya hasil dari orang daftar kelas.

***

Wis, kita lupakan orang sok tahu mbelgedhez satu itu. Terakhir, ini bukan terkait saya sendiri, tapi tentang beliau yang saya hormati: Buya Syafi’i Ma’arif.

Suatu ketika, ada kejadian penyerangan gereja di Sleman. Muncul pernyataan keprihatinan dari Buya Syafi’i Ma’arif di sebuah media.

Di bawah tautan akun Fesbuk media itu, ada yang komentar tipikal semacam ini, “Karena orang Nasrani yang diserang repot-repot menyatakan prihatin. Giliran akhwat bercadar diintimidasi, diam saja.”

Saya langsung muntab sama orang sok tahu begini, dan mendadak jadi jubir sepihak Buya secara sukarela.

“Hoi, Bro. Gereja itu dekat banget sama rumah Buya, cuma lima menit perjalanan. Begitu ada kabar serangan, Buya langsung nengok. Nah, kebetulan ada wartawan di TKP pas Buya datang. Jadi ya nggak aneh wartawan langsung ambil kesempatan wawancara. Yang pas kasus intimidasi mbak bercadar itu di mana tempatnya?”

“Ya kan tetap saja bisa memberikan pernyataan ke wartawan to, ngeles aja dasar sukanya berpihak ke orang kafir.”

Sik to. Sik to. Sampeyan paham enggak sih cara kerja media? Kalau ada pernyataan itu ya karena wartawan bertanya, bukan kok Buya yang manggil-manggil wartawan buat wawancara beliau. Ente kira Buya jenis seleb infotainment rindu publikasi? Kalau nggak ada wartawan yang datang atau mengontak buat wawancara, ya pernyataan nggak bakalan ada!”

“Ya minimal nge-twit lah, Mas! Alasan aja!”

Modiarrrr.

“Buya Syafii Maarif nggak punya akun Twitter woiiii…!”

Sampai di sini saya sudah terlalu emosi. Bahkan pas nulis ini pun jadi emosi lagi. Tentu ini tak baik untuk puasa saya. Maka lebih baik saya merencanakan bikin kelas online lagi sama Agus Mulyadi, paparan tentang seluk beluk dunia media dan sebagainya. Tentu dengan biaya mahar yang tinggi seperti biasanya.

Sayangnya saya tahu, tema begitu kalau pakai HTM nggak bakalan laku.

BACA JUGA Panduan Berdebat dengan Orang Goblok atau tulisan Iqbal Aji Daryono lainnya.

Exit mobile version