MOJOK.CO – Zaman berganti, lembaga peminjaman uang berganti wajah lebih canggih dan kadang lebih jahat. Salah satunya financial technology alias fintech namanya.
Saya merupakan orang yang mengharamkan diri dari segala bentuk pinjaman atau utang. Saya lebih memilih membayar tunai atau debit. Ya lebih masuk akal aja bagi saya. Ini juga jadi sebab kenapa saya selalu mengabaikan tawaran kartu kredit dari bank.
Bisa jadi pengalaman orang-orang terdekat yang terlilit utang bunga pinjaman membuat saya punya kebiasaan seperti ini. Sekira tahun 2000-an kakak laki-laki saya terlilit utang kartu kredit yang membuat hidup kami sekeluarga dirongrong oleh debt collector.
Seperti serial killer, si penagih utang ini terus meneror keluarga kami dan mengatakan hal-hal yang jahat. Mengancam, mengumpat segala jenis kebun binatang sampai-sampai mengatakan akan mendatangi almarhum ayah kami yang menurutnya bakal masuk neraka karena anaknya terlibat utang!
Jujur, kami sekeluarga stres dan dihimpit ketakutan setiap kali ada dering telepon. Bahkan keluarga kami sempat memutus sambungan telepon supaya terhindar dari teror tagihan lewat telepon.
Namun, debt collector selalu punya cara lain menjatuhkan mental dan emosi dengan mendatangi rumah dan menunggu di depan rumah. Mereka nggak akan pergi sampai salah satu anggota keluarga keluar.
Beberapa tahun berlalu, kami akhirnya terlepas dari neraka teror debt collector kartu kredit. Tentu setelah berusaha mati-matian. Zaman lalu berganti, lembaga peminjaman uang berganti wajah lebih canggih. Financial technology (fintech) namanya.
Semua orang sekarang punya gadget dan dengan mudah bisa mengunduh aplikasi fintech. Buat siapa saja yang sedang kepepet, tanpa ribet, dana tunai segera dikucurkan ke rekening. Namun kemudahan yang diperoleh diiringi dengan bunga yang mencekik. Ada yang per hari, per 14 hari, per bulan, sesuka si aplikasi fintech saja.
Makanya jangan heran kalau utang fintech dari Rp500 ribu bisa berbunga sampai puluhan juta!
Saya miris mendengar kabar seorang supir taksi bunuh diri karena terjerat hutang online. Padahal yang dipinjamnya hanya Rp500 ribu. Dan dia membuat surat wasiat yang bikin tulang jantung saya ngilu, “Wahai para rentenir online, kita bertemu nanti di alam sana.”
Nama-nama fintech seperti Kantong Darurot, UwangTeman, RupiyahPlus, nama-nama yang bersahabat, meneduhkan seolah menjanjikan solusi. Namun, sekali kamu undur membayar tagihan, saya jamin kehidupanmu bakal hancur.
Kalau zaman dulu debt collector hanya akan mencecar di telepon, debt collector-nya fintech ini punya cara yang lebih canggih supaya nominal tagihannya dibayar yaitu MEMPERMALUKAN si peminjam.
Secara berkala aplikasi online akan mengontak daftar kontak si peminjam dan mengirimkan pesan; “Bayarkan tagihan ibu X 081xxxxxxx di APK Kantong Darurat karena beliau mencantumkan Anda sebagai kontak penanggungjawabnya.”
Padahal tentu saja si peminjam tidak mencantumkan nomor siapa-siapa sebagai penanggung-jawab utangnya.
Pesan ini dikirimkan secara massal dan acak, jadi bisa diterima oleh siapa saja yang nomor kontaknya tersimpan di gadget si peminjam. Bisa anggota keluarga, teman kuliah, termasuk atasan si peminjam.
Kejinya, aplikasi fintech ini bisa saja tega mengontak atasan si peminjam dan menagih utang ke si bos. Kabar tentang utang ini bakal menyebar luas di kantor dan bukan tak mungkin menjadi cibiran setiap hari.
Bisa dibayangkan, bagaimana dari sesuatu yang disangka solusi malah menjadi bencana bola es yang menghilangkan kualitas hidup seseorang. Stres, depresi, bahkan ada kasus sampai bunuh diri gara-gara bunga utang yang nggak manusiawi.
Dalam Peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Data Konsumen Jasa Keuangan dan Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nomor 20 Tahun 2016 terangkum tentang perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik.
Terus? Yah, jelaslah aplikasi peminjaman online melanggar batas-batas pribadi dan upaya mencari keuntungan dari orang-orang kepepet!
“Kamu pindah gih, kok kayaknya aplikasi fintech ini ‘memeras’ ya?” saran saya ke seorang teman yang bekerja di aplikasi fintech.
“Iya, ini mau pindah doakan ya,” jawab si teman.
“Sebaik-baiknya bekerja ya kerjalah di tempat yang membantu orang jangan ‘membantu’ tapi malah menjerat,” kata saya lagi—bukan dalam rangka sok bijak.
Baru kemudian teman saya cerita, awalnya dia mengira kalau start up tempat dia bekerja punya misi sosial yang mengarahkan produknya ke pinjaman usaha mikro. Jadi niatnya memang untuk membantu tapi ternyata malah menghancurkan hidup orang yang udah kepepet.
Dari teman saya ini juga saya tahu bahwa dulu bunga peminjaman di tempatnya bekerja mencapai 1% per hari dengan tenor 10-30 hari. Sekarang-sekarang ini turun jadi 0,8 % per hari karena OJK baru memberikan teguran.
Melihat hal demikian, saya rasa sudah sewajibnya pemerintah, badan keuangan, atau lembaga apapun itu, melakukan tindakan keras pada rentenir-rentenir ini.
Mungkin benar, si pemilih utang juga salah karena mau-maunya berutang di lembaga-lembaga fintech yang memberi bunga dan denda pinjaman yang tak masuk akal.
Namun, itu semua karena rata-rata peminjam memang merupakan kelompok menengah ke bawah yang—kebetulan—tidak mendapatkan akses pendidikan yang mumpuni soal pinjam-meminjam. Dan jelas kondisi mereka kebanyakan memang sangat terdesak.
Kok ya, cari uang dari kesusahan orang lain sih? Plis deh.
Wahai para karyawan aplikasi online yang membaca tulisan ini. Bisakah kalian membayangkan berada di situasi almarhum supir taksi yang bunuh diri tadi? Atau punya anggota keluarga yang ditekan secara mental dan dipermalukan di lingkup pekerjaannya? Menjadi stres dan depresi?
Tapi, bentar, bentar, kok malah saya yang emosinal gini ya?
Yah, emosi lah, sebab saya merupakan salah satu penerima SMS tagihan rentenir bejat ini.