Realita Pahit Kehidupan Pegawai Hotel Berbintang di Kota Wisata yang Sering Dikira Bergaji Besar, Padahal Kantongnya Kembang-kempis

Realita Pahit Kehidupan Pekerja Harian Hotel Berbintang MOJOK.CO

Ilustrasi Realita Pahit Kehidupan Pekerja Harian Hotel Berbintang. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSelama ini banyak orang memandang pegawai hotel berbintang itu enak dan bergaji besar. Padahal ada realita pahit, tersembunyi, dan yang kamu tidak tahu.

Di balik gemerlapnya kemewahan dunia perhotelan bintang 3 atau 5, tersimpan sebuah realita yang pahit seputar sistem kerja. Para pegawai hotel harus melewati sistem kerja yang sadis. Sayangnya, banyak orang belum tahu realitas pahit ini.

Ada banyak tugas dan peran di sebuah hotel berbintang. Misalnya mereka yang berhadapan langsung dengan tamu. Mereka mendapat sebutan frontliner, yaitu waiter, front office, bellboy dan housekeeping. Mereka ini wajib menerapkan 3S selama bekerja; senyum, salam, sapa.

Para frontliner ini sudah terlatih untuk bersikap ramah kepada siapa saja. Mereka bisa bekerja dengan tenang, sopan, dan sabar. Bahkan di beberapa kasus, frontliner bisa memberi solusi, meski bukan bidangnya.

Kondisi ini membuat frontliner terlihat keren. Sikap yang tenang, ditambah pakaian rapi serta rambut klimis seperti sukses menutupi realita yang cukup pahit. Bahkan di beberapa kasus, manajemen hotel seperti tidak menganggap keberadaan mereka. Izinkan saya bercerita.

Status kepegawaian

Bekerja di dunia perhotelan jangan berharap statusnya sama seperti bekerja di industri perbankan atau di pabrik. Yang baru masuk akan menyandang status casual. Mereka adalah para fresh graduate (termasuk di dalamnya FB Service, FB Product, Front Office, dan Housekeeping).

Ada dua tipe casual di dalam sebuah hotel, yaitu casual tetap dan harian. Casual harian datang jika ada event di hotel. Sebenarnya status pekerjaan ini hampir sama dengan buruh harian lepas.

Status casual ini biasanya akan berlangsung selama 1 bulan sampai 1 tahun. Semua bergantung kepada kinerja pegawai hotel sendiri. Kalau kerjanya bagus, manajemen akan menawari kenaikan satu tingkat ke jenjang daily worker. Kalau tidak bisa kerja, ya tidak mendapat panggilan lagi. 

Soal casual dan daily worker sebenarnya hampir tidak ada perbedaan. Mereka sama-sama tidak mendapat kontrak. Bedanya hanya ada di jadwal saja. Jadwal daily worker lebih jelas karena sudah mendapatkan jadwal kerja pasti selama satu bulan.

Status daily worker ini bisa mulai dari 3 bulan sampai 1 tahun lebih tergantung kinerja. Saat ini, beberapa daily worker di sebuah hotel bisa menyandang status yang sama meski sudah bekerja selama 2 tahun!

Lantas, kalau kerja daily worker dianggap bagus, apakah akan mendapat status pegawai hotel kontrak? Tunggu dulu! 

Setelah manajemen menganggap mereka layak promosi, daily worker akan mendapat tawaran pra-kontrak selama 3 bulan. Baru setelah itu, kalau kerjanya tetap bagus, langsung mendapatkan kontrak sebagai staff.

Gaji pokok pegawai hotel

Sistem gaji untuk casual dan daily worker sebenarnya sama. Mereka akan mendapatkan gaji sesuai jumlah kedatangan. Gaji turun setiap bulan. Ada juga yang dua kali gajian dalam satu bulan tergantung kebijakan hotel masing-masing.

Ambil contoh pegawai hotel berstatus casual dan daily worker di Kota Semarang. Untuk hotel bintang 1 sampai 3 mendapatkan gaji mulai Rp75 sampai Rp100 ribu per hari. Bagi mereka yang bekerja di hotel bintang 4 dan 5, rata-rata mendapat Rp120 sampai Rp150 ribu per hari dengan jumlah hari kerja sebanyak 24 hari.

Untuk gaji casual dan daily worker di bintang 1 sampai 3, paling rendah di Rp800 ribu dan paling tinggi di Rp2,4 juta. Nilai segitu masih sangatlah jauh dari nominal UMK Kota Semarang sebesar Rp3.243.969.

Sementara itu, kesejahteraan casual dan daily worker di hotel bintang 4 sampai 5 terlihat lebih baik. Rata-rata, mereka bisa membawa pulang Rp3 juta sampai Rp3,6 juta per bulan. Nah, untuk karyawan pra-kontrak dan kontrak akan mendapatkan gaji sesuai UMK Kota masing-masing.

Mengenal kenyataan soal uang makan dan uang service di sebuah hotel

Sejauh pengalaman saya, mulai dari casual, daily worker, pra-kontrak, kontrak, sampai staff jarang mendapatkan uang makan. Pihak hotel menyediakan kantin untuk karyawan makan siang dan malam. 

Saya sudah 10 tahun di dunia perhotelan dan baru sekali merasakan jatah uang makan. Saat itu, saya bekerja di sebuah hotel bintang 2 di Semarang (2023). Saya mendapat uang makan sebesar Rp250 ribu plus gaji Rp1,3 juta.

Nah, selain gaji pokok, para pekerja hotel pra-kontrak dan kontrak akan mendapatkan uang service. Nilai yang didapat dari service antara karyawan kontrak dan pra-kontrak akan berbeda. Untuk kontrak, akan mendapatkan 100%, sedangkan pra-kontrak akan mendapatkan antara 30% sampai 50% tergantung kebijakan hotel.

Bagi mereka yang masih berstatus casual dan daily worker, mayoritas hotel tidak memberikan uang service. Namun, ada juga kok hotel yang ngasih, yaitu rata rata 30%. 

Oya, uang service ialah uang yang didapat dari setiap pembayaran. Baik makanan, minuman di kamar, atau ruangan yang digunakan tamu sebesar 10% dari pembayaran.

Manajemen hotel menggunakan uang tersebut untuk mengganti cutleries yang rusak setiap bulannya. Jika selama 1 bulan tidak ada yang rusak, pegawai hotel akan menerima full uang service. Kalau ada yang rusak, ya dapatnya nggak penuh.

Kecemburuan yang muncul

Manajemen akan membagikan uang service setiap tanggal 15. Dari mulai General Manager sampai pegawai hotel kontrak biasa akan menerima di tanggal yang sama.

Jangan salah, nilai uang service itu nilainya bisa lebih besar dari gaji pokok bulanan. Semakin besar dan ramai hotel, semakin besar pula uang service. Pekerja hotel di kota pariwisata seperti Jogja, yang UMK-nya lebih kecil dari Semarang, bisa saja mendapat uang service lebih besar.

Hal ini kadang yang membuat para pekerja yang berstatus casual dan daily worker cemburu. Kesenjangan sosial begitu ketara. Pekerja casual dan daily worker merasa beban kerja mereka lebih berat dari karyawan kontrak, sedangkan gaji jauh di bawah UMK.

Sebenarnya, terkadang gaji pokok di bawah UMK tidak menjadi persoalan. Asal mendapat hak sama terkait uang service. Sayangnya, kondisi ini tidak terjadi. Makanya, mereka yang bekerja sebagai waiters, bellboy, dan valet bertahan hidup dengan mengandalkan uang tips.

Realita pahit terkait sistem jam kerja dan hari libur

Jangan harap bisa mendapat hari libur di akhir pekan atau tanggal merah. Mulai dari General Manager sampai casual hotel, merasakan hal yang sama.

Setiap weekend atau tanggal merah, para pekerja pasti akan bekerja lebih keras. Di momen ini, orang yang berpangkat Manager atau bahkan General Manager, akan ikut mengambil piring bekas makan tamu. Ada juga yang ikut mengepel lantai tergantung departemen mana yang lagi butuh bantuan. 

Maklum, saat weekend atau tanggal merah, occupancy kamar hotel akan meningkat. Belum lagi restoran dan ballroom yang ramai dan penuh terpesan untuk event. Kondisi ini akan menambah kesibukan pegawai hotel. Makanya, beberapa hotel melarang pekerjanya untuk libur atau cuti weekend atau tanggal merah.

Bagaimana jika lagi sakit? Kalau event tidak terlalu besar dan pegawai yang berangkat bisa menangani, baru kamu boleh cuti. Kalau kru yang menangani kewalahan, meski lagi sakit, kamu tetap harus masuk kerja. Saya pernah di posisi ini ketika sedang sakit tipes, tapi tetap bekerja karena ada event besar.

Tentang jam kerja pegawai hotel

Kadang, jam istirahat di hotel itu tidak menentu. Makanya, untuk penderita sakit maag harus selalu sedia obat. 

Semuanya karena jam istirahat selalu menyesuaikan kondisi hotel. Kalau hotel sedang sepi, jam istirahat bisa sampai 1 jam. Namun, kalau lagi ramai, paling cuma 10 menit untuk makan siang atau malam. Bahkan kadang dari berangkat sampai pulang tidak beristirahat sama sekali.

Jam kerja hotel itu rata-rata 8 sampai 10 jam. Namun, ketika ada event atau hotel sibuk banget, bisa kerja 10 sampai 16 jam. Itu tidak mengenal pangkat, lho. Mulai dari General Manager sampai casual mengalami juga.

Dulu, saya pernah berangkat kerja masuk dari pukul 2 siang dan pulang besoknya pukul 5 subuh. Di hari yang sama, saya harus berangkat lagi pukul 8 pagi dan selesai kerja pukul 11 malam. Besoknya, pukul 5 subuh, saya harus sudah standby di hotel lagi.

Pegawai hotel harus serba bisa 

Bekerja di hotel jangan harap hanya mengerjakan satu bidang saja. Ambil contoh, seorang housekeeping. Jika kamar hotel sepi pengunjung, ya bisa santai santai ngopi di pantry. Namun, kalau departemen lain sedang kewalahan menangani event, misalnya wedding, manajemen akan meminta housekeeping membantu.

Selain faktor event, manajemen hotel menuntut karyawan jadi serba bisa demi menghemat budget. Saya pernah mengalami hal ini.

Ketika bekerja sebagai front office di salah satu hotel, manajemen meminta saya membantu hampir semua departemen. Mulai dari housekeeping bahkan sampai engineering. Tuntutan ini yang membuat kinerja karyawan tidak maksimal karena “terpaksa” bekerja di luar bidangnya.

Eits, jangan harap mendapat gaji lebih karena mengerjakan tugas di departemen lain. Dulu, saya mendapat gaji pokok Rp1,7 juta plus uang makan Rp250 ribu. Tidak ada tambahan lagi, bahkan pihak hotel tidak memberikan jatah 50% uang service saya.

Karyawan magang semakin diminati

Saat ini, industri perhotelan lebih banyak merekrut karyawan magang dari SMK perhotelan dan universitas. Hal ini yang membuat lowongan kerja untuk para lulusan SMK dan universitas semakin minim.

Ya gimana, dengan merekrut orang magang, hotel bisa menekan biaya gaji. Hal itu lantaran manajemen tidak menggaji anak magang. Makanya, neraca keuangan hotel bisa hijau. 

Pegawai hotel sempat mengeluh karena harus mengajari anak magang dari nol. Namun, tidak ada opsi lain selain mengajari karena itu sudah menjadi kebijakan.

Makanya, hotel yang lebih memilih merekrut karyawan magang membuat fresh graduated jurusan perhotelan SMK Perhotelan hingga S1 Perhotelan semakin minim. Padahal kehidupan lagi berat dan banyak orang butuh kerjaan. Begitulah kenyataan yang terjadi.

Penulis: Andre Rizal Hanafi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 5 Alasan PNS Senang Bikin Kegiatan di Hotel Berbintang dan pengalaman miris lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version