Seorang redaktur media online yang tengah ramai dipergunjingkan mengirim pesan kepada saya untuk menulis perbandingan Rangga dengan Arya Kamandanu. Hmm… Ada apa dengannya?
Rangga, tokoh utama Ada Apa dengan Cinta, bagi saya adalah cowok sinis, reseh, sok serius, (dan brengsek) yang beruntung. Dengan muka kebelanda-belandaan, membaca buku yang tidak dikenal (di kalangan pelajar Jakarta), menulis puisi yang nggak jelas maksudnya, bahkan dengan suara ketus yang tidak tulus, ia dapat cewek. Enak sekali dia! Jelas dia tak tahu, kalau kemunculannya harus dibayar dengan penangkapan anak-anak Partai Rakyat Demokratik di Yogyakarta. Moses Gatotkaca harus meregang nyawa di Mrican agar tokoh seperti dia bisa muncul di bioskop. Bahkan saya hakulyakin kalau Rangga tak tahu, hanya beberapa tahun sebelum kemunculannya, perempuan-perempuan macam Marni, Sisca, Katiyem, diperkosa kemudian dipaksa bangkit dari kubur untuk membalas dendam.
Tokoh kayak gini mau dibandingkan dengan Arya Kamandanu—seorang pemuda sakti mandraguna, berbakti pada orangtua dan negara, tulus cintanya, penuh pengorbanan, dan memilih hidup dalam penderitaan? Itu sama saja membandingkan Pedang Nagapuspa dengan sepotong ranting kering. Nggak sebanding.
Tapi, baiklah kalau tetap memaksa membuat perbandingan. Mari kita bandingkan.
Dalam dunia yang dihidupi Arya Kamandanu, cowok macam Rangga pasti nggak kuat. Cengeng. Hidup dengan bapak yang dimusuhi aparat, dan ditinggal ibu minggat, dijadikannya alasan untuk jadi arogan. Bayangkan kalau ia punya bapak macam bapaknya Arya Kamandanu, seorang aparat negara yang nurut dan menjijikkan. Jelas cuma akan jadi beban saja.
Kalau Rangga ini jadi orang baik, paling ia jadi pemuda lemah yang tak bisa membela diri. Kalau dia jadi tokoh jahat, katakanlah macam Arya Dwipangga, paling-paling cuma jadi begundal. Karena itu, dalam bayangan saya, Arya Kamandanu tampaknya tak akan menyukai pemuda penyuka Chairil Anwar ini. Patut diingat, dua perempuan yang dicinta Kamandanu digarap sama sang kakak yang penyair.
Di depan sahabat seperjuangan Arya Kamandanu, orang yang bernama mirip namun jauh lebih agung dan legendaris, yakni Rangga Lawe, pemuda pujaan gadis tahun 2000-an itu bisa lebih runyam nasibnya. Ia yang dijotosi teman sekolahnya diam saja, pasti mencelat keluar Hutan Tarik kena sepak kuda Rangga Lawe. Kalau pun toh ia diterima dalam gerombolan Mpu Tong Bajil, saya juga tak memandang ia akan bernasib baik. Kalau tidak jadi mainan Dewi Sambi, boleh jadi ia sasaran Tong Bajil saat latihan Ajian Segara Geni. Agak mendingan kalau dia cuma jadi korban buli bajingan-bajingan cemen macam Kebo Kluyur atau Jaran Bangkal.
Jadi, ya… tampaknya dia tak punya tempat dalam dunia Arya Kamandanu. Dan, karena itu, tak layak dibandingkan.
Bahkan Rangga juga tak sebanding dengan tokoh-tokoh sandiwara radio kurang terkenal yang kebetulan memiliki nama yang mirip dengannya. Dengan Rangga Wulung dari Serial “Kembang Ayu Ambarwati”, misalnya. Kalau Rangga punya ayah yang dibenci pemerintah, ksatria dari Kerajaan Paku Banjar ini bahkan ayahnya digantung sang raja untuk alasan yang tidak jelas. Cintanya kepada putri Raja, yakni Putri Ayu Ambarwati, patah tak tumbuh. Sang Raja dengan semena-mena mengawinkan sang putri dengan orang lain. Coba tebak dengan siapa? Seorang penyair istana klemar-klemer bernama Kuda Randana. Rangga Wulung kemudian jadi pelarian, lalu menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya.
Dengan Rangga Geni dari sandiwara “Mantra Naga Bumi” pun demikian. Enak sekali, Rangga yang Nicholas Saputra itu. Tentang-tenteng buku nggak jelas begitu, monyan-manyun, eh… dapat cewek. Cantik banget pula. Bandingkan dengan Rangga Geni yang hidupnya justru diobrak-abrik oleh sebuah buku berjudul Kitab Lawang Pitu. Pendekar pilih tanding dari Kerajaan Merak Jingga ini mesti pontang-panting mempertahankan cintanya kepada Dyah Ayu Pengukir, menghadapi rongrongan nenek jahat bernama Nyai Balitung, dan tentu saja mencari kitab sialan yang hilang itu.
Sudah deh …. bahkan Rangga tak sebanding dengan dua teman saya: Tarli Nugroho dan Thowaf Zuharon. Yang pertama adalah pemuda ramah, tidak reseh, serius, dan jelas jagoan dalam hal majalah dan koran—apalagi cuma sekelas mading. Tapi, begitulah… cintanya nun jauh di sana. Nama yang kedua, jangan tanya. Ya, memang sedikit reseh. Tapi keramahannya sama hebatnya dengan keseriusannya. Dan jelas, ia penulis sajak yang jauh lebih bagus ketimbang Rangga—meski saya tak tahu apakah cinta (dengan c kecil) pernah menghampirinya.
Ehm, Rangga. Rangga?