MOJOK.CO – Raja Hatim At-Ta’i memilih mundur daripada harus berperang mengorbankan rakyatnya. Tapi, pengorbanan itu belum cukup.
Dikisahkan pada suatu masa hiduplah seorang raja Arab yang sangat terkenal karena kemurahan hatinya. Raja tersebut bernama Hatim At-Ta’i.
Raja ini oleh rakyatnya sangat dicintai dan dikagumi. Negara dan rakyat yang ia pimpin damai, sejahtera, dan tenang. Namun, tak begitu lama tibalah sebuah surat dari kerajaan lain yang menandai munculnya satu masa penuh kecemasan di seantero negeri.
Dalam surat tersebut diceritakan ada seorang raja tetangga sangat berhasrat mencaplok satu desa, satu oase, barang-barang berharga, unta-unta, serta prajurit di wilayah kerajaan Hatim. Raja ini kemudian mengumumkan perang terhadap kerajaan Hatim. Ia mengirimkan seorang utusan yang mengantarkan surat berbunyi,
Menyerahlah kepadaku, wahai Raja Hatim! Jika kau tak mau, aku akan memerangimu, mengambil alih kerajaan dan wilayah kekuasaanmu, dan menjadikan seluruh rakyatmu bertekuk lutut di bawah duli kuasa dan kedaulatanku.
Raja Hatim lalu memberitahukan isi surat kepada para penasihatnya yang kemudian dengan bersemangat menyarankan Raja Hatim segera mengumpulkan para prajurit terbaik untuk berperang dan mempertahankan wilayah kedaulatan kekuasaannya.
“Sungguh, pasti terdapat ribuan orang prajurit maupun rakyat paduka yang siap sedia berperang dan sukarela mengorbankan hidup mereka demi raja yang mereka cintai,” kata para penasihat kerajaan.
Raja Hatim berpikiran lain. Ia berkata, “Daripada menyuruh mereka maupun kalian memacu kuda menuju palagan perang serta membuat kalian mencucurkan darah di medan pertempuran, lebih baik jika aku menyingkir saja. Sangat tidak bijak bila seorang raja mengorbankan ribuan orang demi keselamatan dirinya sendiri. Jika kalian menyerah secara damai, mereka paling hanya akan menuntut pelayanan dan pengabdianmu serta menarik sedikit pajak. Tidak akan ada kerugian harta benda sama sekali. Sementara jika kalian melawan dalam perang, sudah menjadi aturan umum pemenangnya mempunyai hak merampas harta benda sebagai barang rampasan perang. Artinya, jika kalian kalah, harta benda kalian akan hilang.”
Setelah menyelesikan perkataannya, Raja Hatim minta diiringi satu pengawal dan memutuskan mengungsi ke sebuah lereng gunung. Di lereng gunung itu ia menemukan sebuah gua yang kemudian ia tinggali. Di sana ia menenggelamkan diri dalam zikir dan mengagungkan asma-Nya.
Hampir separuh penduduk tersentuh dengan pengorbanan Hatim yang rela menyerahkan kekuasaan demi keselamatan rakyatnya. Namun, sebagian lain, terutama orang-orang yang mengunggulkan nilai-nilai keberanian dan berusaha mendapat pengakuan dari nilai tersebut, menggerutu.
“Bagaimana kita bisa memastikan Raja Hatim benar-benar seorang yang rela berkorban demi rakyatnya? Jangan-jangan ia hanyalah seorang pengecut.”
Komentator lain bahkan dengan sedikit yakin mengatakan, “Dia sebenarnya sedang menyelamatkan dirinya sendiri. Ia benar-benar tega meninggalkan kita dan menyerahkan kehidupan rakyatnya pada sebuah takdir dan masa depan yang tidak pasti. Mungkin besok kita akan segera menjadi budak-budak bagi seorang raja tiran. Raja itu, kita tahu, tiba-tiba sangat menginginkan wilayah kekuasaan negara tetangganya sampai tiba-tiba mengumumkan perang. Bukankan itu sudah cukup untuk menerka masa depan kita yang kelam?”
Sebagian yang lain karena tak terlalu yakin dengan percakapan dan rumor yang menyebar di masyarakat akhirnya memilih diam.
Tak begitu lama raja tetangga tersebut benar-benar menepati janjinya. Ia bersama ribuan pengawal dengan pakaian dan perlengkapan yang serbagemerlap datang menaklukkan wilayah kekuasaan Raja Hatim tanpa perlawanan. Raja ini segera menggantikan kedudukan Hatim dan memerintah rakyat barunya dengan rasa percaya diri tinggi.
Raja baru ini segera mendapat simpati karena ia tidak menaikkan pajak, juga tidak mengubah sedikit pun aturan dan hukum yang sudah terselenggara. Ia ingin menjaga perasaan rakyatnya yang katanya memang sangat mencintai Raja Hatim.
Namun, ada satu hal mengganggu sang raja baru. “Memang benar saat ini wilayah kekuasaan kerajaan telah dia kuasai dan para penduduk telah tunduk kepadanya, tapi bukankan semua yang ia kuasai ini diserahkan atas dasar kemurahan hati Raja Hatim?” begitu rumor yang beredar si seputar istana.
Merasa terganggu dengan rumor itu, raja baru segera memerintahkan para pengawalnya untuk mencari dan menangkap Hatim. Ia juga mengumumkan sayembara, “Siapa pun yang berhasil menangkap Hatim akan dihadiahi 500 keping emas.” Hatim yang selama ini memang hidup di dalam gua tidak mendengar sayembara ini hingga suatu waktu, saat ia duduk-duduk santai di sebuah batu di pinggir gua, ia mendengar percakapan seorang tukang pencari kayu dengan istrinya.
“Istriku, saat ini umurku telah menginjak tua sedangkan kamu masih muda. Mungkin aku akan meninggal sebelum anak-anak kita dewasa. Jika kita bisa menangkap Raja Hatim, kita akan mendapat hadiah sebenar 500 ribu keping emas dari raja baru dan jumlah itu akan cukup untuk menjamin masa depanmu dan anak-anak kita nanti,” kata si suami.
Tanpa dinyana, si istri justru menjadi marah. “Sungguh betapa rendah dirimu, suamiku! Kamu sebaiknya cepat-cepar mati dan aku bersama anak-anak kelaparan bersama. Tak apa-apa daripada harus mengotori tanganku dengan dosa karena telah menangkap seorang raja yang paling berkorban dan murah hati sepanjang masa, yang mengorbankan hidupnya untuk kepentingan kita rakyatnya.”
“Aku paham. Aku tahu. Tapi, aku seorang kepala rumah tangga yang harus memikirkan masa depan keluarganya. Ini pilihan sulit, tapi kita tidak banyak pilihan. Belum lagi ada gosip beredar, Raja Hatim hanyalah seorang pengecut. Ia hanya menyelamatkan dirinya sendiri, bukannya menyelamatkan rakyatnya,” jawab si suami.
Belum sempat tanggapan muncul dari mulut si istri, Raja Hatim sudah keburu keluar dari persembunyiannya. Ia berkata pada pasangan itu,
“Akulah Hatim At-Ta’i yang sedang kalian perbincangkan. Tangkaplah aku, bawa aku ke raja barumu, ambillah hadiahmu. Jangan ragu! Aku rela.”
Si suami kaget. Ia benar-benar tak percaya. Hatinya luluh dan merasa bersalah, “Maafkan saya, saya tak tega menangkap Anda. Saat ini benar-benar telah saya saksikan sendiri kemurahan hati Anda. Saya tak sanggup menangkap Anda,” jawabnya.
“Jika kamu tak mau menangkapku,” kata Raja Hatim, “aku akan menyerahkan diriku sendiri pada raja baru dan akan kubilang kaulah orang yang selama ini menyembunyikan raja buron. Pasti kau akan dihukum berat,” tukas Hatim.
Sementara raja buron dan pencari kayu sedang bercakap, segerombolan orang tak jauh dari sana sedang berkumpul untuk menangkap si raja buron. Mereka segera muncul dan menangkap Hatim beserta pasangan pencari kayu tersebut. Tak begitu lama mereka telah sampai di istana dan menyerahkan ketiganya kepada raja baru. Gerombolan yang menyerahkan tangkapan tersebut satu per satu mendaku sebagai si penangkap Hatim tanpa ada yang mau mengalah. Keributan kecil terjadi.
Tiba-tiba Raja Hatim memecah keributan tersebut dengan seruan keras,
“Ketahuilah, Raja, yang sebenarnya menangkapku adalah dua orang pencari kayu di belakangku ini. Berikanlah hadiahmu pada dua orang ini.”
Si pencari kayu itu segera menyanggah, “Tapi, Raja, sebenarnya Raja Hatim datang menyerahkan diri kepada kami dan malah memaksa kami menangkapnya. Ia berbuat seperti itu karena tak tega melihat kemiskinan dan kemelaratan kami, bekas rakyatnya dulu. Ia benar-benar ingin kami sejahtera dan bahagia.”
Mendengar sendiri kejadian dan pengakuan rakyatnya kepada Raja Hatim, raja baru benar-benar malu. Ia mengembalikan kekuasaan kerajaannya pada Hatim dan ia sendiri segera pulang ke kerajaan sebelumnya.
Dinukil, disadur, dan dikembangkan dari Idries Shah Tale of Dervish, 1969.
Baca edisi sebelumnya: Keajaiban bagi Istri Mandul dan artikel kolom Hikayat lainnya.