Purwokerto Itu Bukan Kota dan Bukan pula Kecamatan, tapi Sebuah Daerah yang Terbuat dari Tumpukan Salah Paham

Purwokerto Terbuat dari Tumpukan Salah Paham MOJOK.CO

Ilustrasi Purwokerto Terbuat dari Tumpukan Salah Paham. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO Purwokerto adalah rumah sekaligus tempat pulang ternyaman bagi para penghuninya atau siapa saja yang pernah datang untuk mencari ilmu di sana.

Ada beberapa kesalahpahaman soal Purwokerto. Satu yang paling populer adalah bahwa ia sering disebut sebagai kota, padahal bukan. Di Purwokerto tidak ada wali kota, jadi tidak bisa kita sebut sebagai Kota Purwokerto.

Daerah ini juga bukan termasuk kecamatan karena terbagi dalam 4 kecamatan, yaitu Purwokerto Timur, Purwokerto Barat, Utara, dan Selatan. Kabupaten Purwokerto? Bukan juga, karena Purwokerto adalah ibu kota Kabupaten Banyumas.

Lalu Purwokerto ini apa? Singkatnya, sebuah daerah di Kabupaten Banyumas yang terbagi menjadi 4 kecamatan. Unik memang, dan cukup bikin salah paham. Perdebatan soal apakah kota atau kecamatan sudah bisa menyamai adu argumen bubur diaduk atau tidak diaduk.

Penyebutan menggunakan istilah “kota” sendiri sudah cukup umum karena orang-orang dari luar daerah kerap mengatakan “mau ke kota” tiap hendak bepergian ke pusat-pusat perbelanjaan. Alhasil, Kota Purwokerto menjadi istilah yang lazim digunakan.

Sempat muncul wacana untuk menjadikan daerah ini sebagai kota tersendiri, lepas dari Kabupaten Banyumas dan memiliki wali kota sebagai kepala daerah. Tapi, hal ini konon belum bisa diwujudkan karena dikhawatirkan akan muncul ketimpangan dengan Kabupaten Banyumas. Maklum, perekonomian Kabupaten Banyumas sebagian besar berdenyut di sekitaran Purwokerto.

Purwokerto sering dianggap sama dengan Purwakarta dan Purworejo 

Kesalahpahaman lain yang sering muncul adalah mengira Purwokerto merupakan daerah yang sama dengan Purwakarta atau Purworejo. Padahal ketiganya terpaut jarak yang cukup jauh.

Purwakarta berada di Jawa Barat, sementara Purworejo terletak di Jawa Tengah dan berbatasan langsung dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebetulan saja namanya mirip-mirip. Persis kasusnya dengan Purbalingga dengan Probolinggo atau Banjarnegara dengan Bojonegoro.

Logat Ngapak yang biasa digunakan oleh orang-orang di Kabupaten Banyumas dan sekitarnya, kerap salah dipahami sebagai sebuah bahasa tersendiri. Padahal bukan, ya. Ngapak itu salah satu dialek dalam Bahasa Jawa. Kosakata dan pelafalannya yang khas kadang membuat orang-orang luar Banyumas bereaksi “coba dong ngomong ngapak” saat bertemu dengan orang Banyumas.

Baca halaman selanjutnya: Soal mendoan dan romantisasi, daerah ini pun lekat dengan salah paham.

Perihal mendoan

Hal kedua yang membentuk Purwokerto dan menempel sebagai ciri khasnya adalah mendoan. Makanan khas Kabupaten Banyumas yang terbuat dari tempe lebar, dicelup adonan tepung bercampur daun bawang kemudian digoreng setengah matang. Lengkap dengan sambal kecap sebagai cocolan, sudah bisa jadi menu sarapan atau lawuh medhang sembari ngopi.

Mendoan hangat bisa dibilang menempati puncak piramida gorengan terpopuler di seantero angkringan dan warung-warung makan tradisional. Makanan sederhana, tapi ternyata orang di luar daerah tidak bisa dengan mudah mereplikasinya.

Salah satu hal yang membuat saya sedikit merasa kesal saat merantau ke luar kota adalah ketika memesan mendoan melalui aplikasi ojek online. Saya berekspektasi akan mendapat mendoan seperti yang dijual di warung gorengan dekat rumah. Tapi, realitanya, adalah tempe papan yang dipotong lebar dan dalam keadaan matang sempurna.

Benar-benar representasi meme “what I order online vs what I got”. Mendoan itu pakai tempe khusus yang dibungkus daun pisang dan sengaja dibuat tipis lebar, bukan tempe papan yang dipotong melebar. Plus, nama mendoan sendiri diambil dari kata mendo yang artinya ‘setengah matang’.

Ya sudah, tidak apa-apa. Rupa mendoan yang beda jauh antara aslinya dengan buatan orang luar Banyumas ini justru membuat saya makin bangga dengan kuliner khas kampung halaman. Apalagi, mendoan kini telah secara resmi tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda sejak 2021. Banyumas pride!

Semakin sesak oleh pembangunan

Ngomong-ngomong soal merantau, tahu meme kucing yang seakan lagi bilang “Hah?” yang viral itu? Nah, begitulah reaksi saya saat melihat kondisi Purwokerto sepulang dari tanah rantau. Pasalnya, ada semakin banyak bangunan yang menyesaki. Daerah ini memang seakan tidak henti-hentinya melakukan pembangunan.

Dilansir dari laman Instagram SSC Purwokerto pada 7 September 2023 lalu, telah dilakukan groundbreaking alias peletakan batu pertama untuk proyek pembangunan Purwokerto City Center (PCC). Kawasan PCC yang berlokasi di bekas Stasiun Timur ini nantinya akan berisi Super Indo, hotel 11 lantai, rail tram, retail, convention hall, ruko arcade, plaza terbuka, masjid hingga gedung parkir 6 lantai. Edan!

Mega proyek lain yang sedang dalam tahap pembangunan ialah agrowisata seluas 17 hektar di Pabuaran-Sumampir yang sudah melakukan land clearing sejak 2020 lalu. Taman wisata alam ini nantinya akan mencakup kebun binatang, waterpark, jogging track, flying fox, ATV area, hingga persawahan.

Sebagai kota kecil di kaki Gunung Slamet, Purwokerto bisa dibilang sedikit terpencil. Tapi itu dulu. Sekarang, franchise makanan dan minuman kekinian yang belum masuk bisa dihitung pakai jari. Kedai kopi berlogo ikan duyung (itu lho, yang sedang ramai diboikot) juga sudah masuk sini.

Pembangunan yang masif ini memang diharapkan bisa membuat warga Purwokerto semakin betah dan memiliki lebih banyak pilihan saat bepergian. Namun, ada juga yang berpendapat kalau rendahnya upah minimum tidak sebanding dengan banyaknya pusat perbelanjaan.

Apalagi, beberapa proyek pembangunan berakhir sepi peminat. Menara Pandang Teratai, misalnya. Lokasi wisata anyar ini menghabiskan Rp108 miliar dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang harus mulai dicicil per 2023 lalu.

Walau sudah ditopang dengan beragam event di sekitar Menara, tapi para pengunjung justru lebih banyak berkumpul di pinggir jalan trotoar. Otomatis, parkir dan penghasilan para pedagang di sana tidak masuk ke pengelolaan wilayah Menara Teratai. Ini jelas jadi PR buat pemerintah daerah guna semakin memajukan wisata lokal supaya bisa menarik lebih banyak wisatawan.

Romantisasi

Orang Jogja terbiasa misuh perihal romantisasi daerah istimewa dengan UMR yang hanya Rp2 juta. Kalau warga Purwokerto, punya kalimat legendaris terkait daerah tempat tinggalnya: “Ditinggal ngangeni, ditunggoni ora sugih-sugih.”

UMR-nya bahkan lebih rendah dari Jogja, tapi tempat-tempat hiburannya sudah nyaris menyamai Kota Pelajar itu. Bertahan dengan 1 sumber pemasukan setara UMR di tengah banyaknya tempat jajan kekinian hampir pasti membuat siapa saja susah jadi kaya.

Tapi, saat meninggalkan Purwokerto untuk mencari nafkah di kota lain, akan ada perasaan rindu yang menggebu-gebu. Daerah bukan kota dan bukan kecamatan yang terbuat dari salah paham, mendoan, dan pembangunan ini adalah rumah sekaligus tempat pulang ternyaman bagi para penghuninya atau siapa saja yang pernah datang untuk mencari ilmu di sana.

Bahkan, Purwokerto termasuk dalam daftar kota-kota terbaik yang bisa dipilih untuk menghabiskan masa pensiun di hari tua karena ketenangan dan slow living yang ditawarkan. Sesuai dengan nama julukannya, Purwokerto Kota SATRIA: Sejahtera, Adil, Tertib, Rapi, Indah, Aman.

Penulis: Wahyu Tri Utami

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Purwokerto, Tempat Tinggal Terbaik di Jawa Tengah dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version