Puan Maharani Tak Perlu Minta Maaf, Sumatera Barat Emang Kurang Mendukung Negara Pancasila

Puan Maharani Tak Perlu Minta Maaf, Sumatera Barat Emang Kurang Mendukung Negara Pancasila

Puan Maharani Tak Perlu Minta Maaf, Sumatera Barat Emang Kurang Mendukung Negara Pancasila

MOJOK.COPuan Maharani berharap Sumatera Barat bakal jadi provinsi yang mendukung negara Pancasila. Heh? Sebentar, sebentar, maksudnya gimana nih?

“Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila,” begitu kata Ibu Puan Maharani dalam acara yang digelar DPP PDI Perjuangan secara virtual beberapa waktu lalu.

Sebuah pernyataan yang cukup menghebohkan dan menimbulkan protes bagi banyak orang. Pesan yang ditangkap masyarakat, bahwa menurut Ibu Puan Maharani, selama ini Sumatera Barat adalah provinsi yang kurang mendukung negara Pancasila.

Masih kurangkah bukti sejarah, bahwa beberapa anggota BPUPKI adalah orang Sumbar?

Moh. Yamin, tokoh yang lahir di Sumbar bahkan termasuk salah satu perumus Pancasila. Wakil Presiden Indonesia Pertama Mohammad Hatta adalah orang Sumbar. Bahkan Bukit Tinggi pernah menjadi ibukota darurat republik ini, ketika terjadi agresi militer Belanda.

Wajar jika kemudian beberapa tokoh masyarakat di Sumatera Barat, meminta Ibu Puan Maharani untuk memberikan klarifikasi dan permintaan maaf atas pernyataannya tersebut. Kurang Pancasila bagaimana lagi coba?

Terlepas apakah nantinya Ketua DPR RI Ibu Puan Maharani akhirnya meminta maaf atau tidak, walaupun saya sarankan tidak perlu, sudah selayaknya blio justru menjelaskan, mengapa masyarakat Sumbar kurang menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Sebagai ketua lembaga tinggi negara dan sekaligus pewaris tahta PDI Perjuangan, sudah barang tentu Ibu Puan Maharani punya bukti valid dan fakta tak terbantahkan dari pernyataannya tersebut.

Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong keinginan luhur, saya telah membuat daftarnya. Yah, barangkali Ibu Puan Maharani mau memakai pledoi di bawah ini.

Masyarakat Minang tidak sesuai sila keempat* Pancasila

Sumatera Barat adalah rumah besar bagi suku Minangkabau, yang menjadi mayoritas penduduknya. Akan tetapi, tahukah kamu, apa arti Minangkabau?

Manang artinya menang, kabau artinya kerbau, jadi Minangkabau berarti kerbau yang menang.

Menurut kisah, berawal pada saat Kerajaan Pagaruyung yang didatangi segelaran pasukan dari kerajaan Jawa yang ingin melakukan agresi militer. Untuk mencegah pertempuran, penasehat raja mengusulkan adu kerbau sebagai pengganti peperangan.

Jika kerbau dari pihak raja Pagaruyung kalah, maka kerajaan akan diserahkan pada pasukan Jawa. Jika terjadi sebaliknya, dipersilakan pasukan agresor untuk kembali ke Jawa. Usulan diterima.

Ternyata adu kerbau dimenangkan oleh kerbau dari Kerajaan Pagaruyung. Euforia kemenangan diabadikan masyarakat menjadi nama Minangkabau, berasal dari ujaran “manangkabau” yang berarti kerbau yang menang. Bahkan rumah gadang yang beratap ikonik itu, konon terinspirasi dari kemenangan ini.

Nah, masalahnya sekarang, masyarakat Minangkabau yang begitu membanggakan kemenangan kerbau, tidak pernah memberikan kemenangan pada partai berlogo banteng moncong putih di ranah Minang.

Dalam gelaran pemilu legislatif maupun pilpres, jagoan yang diusung PDI Perjuangan tidak pernah menang. Padahal secara logika, bukankah kerbau dan banteng masih satu keluarga dalam familia Bovidae dan subfamilia Bovinae?

Masak setega itu, sih? Di mana manangkabau-nya? Bukankah simbol sila keempat yang sudah mirip-mirip dengan atap rumah gadang pun tidak menggoyahkan iman mereka? Kenapa mereka tetap tidak mau memilih partai bersimbol kepala banteng itu?

Melanggengkan neokolonialisme, tidak sesuai sila Kedua Pancasila

Masyarakat Sumatera Barat, khususnya Minang telah menyusup ke seluruh kota di Indonesia. Waspadalah. Gerakan pasukan mereka tidak terendus oleh Badan Intelejen Negara sekalipun. Betapa tidak ada satu pun kota baik kota besar maupun kota kecil, yang belum ditaklukkan.

Mereka menyamar sebagai pedagang nasi, dengan mendirikan rumah makan Padang, atau rumah makan Minang. Racikan masakan dengan dibalut bumbu-bumbu rempah yang ciamik, membuat seluruh lidah rakyat Indonesia terbuai. Rakyat tidak menyadari bahwa ini adalah strategi penjajahan gaya baru.

Pergerakan mereka sungguh spartan sekaligus militan. Berjumpa pertigaan, mereka dirikan benteng pertahanan dengan nama Rumah Makan Simpang Tigo, berjumpa perempatan RM Simpang Ampek ditasbihkan.

Bahkan jika tak ada simpang pun, mereka dirikan posko dengan nama RM Sederhana, Ampera, atau Bundo Kanduang. Semua ini tinggal menunggu komando dari niniak mamak, untuk bergerak dan merebut kekuasaan.

Berhadapan dengan kekuatan mereka, siapa yang akan berdaya melawan?

Pasukan pecel lele Lamongan harus rela minggir dan berbaris di trotoar. Kira-kira senasib dengan warung nasi Tegal atau warteg, bubur kacang ijo Kuningan Cirebon atau sate Madura yang tersingkir dari peradaban kuliner dan berebut remah-remah di emperan.

Jika neokolonialisme serta imperialisme berusaha menguasai sumber energi baik minyak bumi, batubara, dan sumber energi lainnya, atau merebut sumber daya alam dan perlombaan penguasaan tehnologi informasi, masyarakat Minang lebih memilih langsung ke jantung pertahanan. Penguasaan pangan adalah kunci utama. Masakan adalah kunci peradaban.

Pergerakan mereka pun tidak sekadar di wilayah Indonesia. Mereka berhasil menguasai lobi-lobi internasional. Sehingga salah satu Badan PBB, UNESCO, terpaksa mengeluarkan hak veto-nya. Rendang adalah makanan terenak di dunia.

Sungguh lobi kelas tinggi yang ditunjukkan masyarakat Sumbar, yang bahkan kita pun tak menyadarinya.

Tidak mendukung asas berkeadilan sosial

Di kota Padang, Ibukota Sumatera Barat, kamu tidak akan menemukan Indomaret dan Alfamart. Wali Kota Padang tidak mengizinkan dua waralaba ini berdiri di Padang dan sekitarnya. Benar-benar kebijakan yang diskriminatif dan bertentangan dengan asas keadilan sosial.

Masak, perantau dari Sumbar bebas mendirikan rumah makan Padang di mana saja, giliran orang mau mendirikan waralaba di Padang tidak boleh? Toh kalaupun diberikan izin, mereka berdua akan berdiri bergandengan alias bersebelahan. Salahnya di mana coba?

Jauh di atas itu semua, masyarakat Sumbar menganut sistem adat matrilineal. Sebuah sistem yang menganut paham garis keturunan ibu, yang menjunjung tinggi martabat kaum perempuan di atas kaum laki-laki.

Setiap keturunan Minangkabau, akan disandarkan kepada suku atau marga ibunya. Bahkan anak perempuan, akan mendapatkan hak pembagian harta warisan lebih besar dari anak laki-laki. Benar-benar sistem yang tidak berkeadilan sosial (anggapan kaum laki-laki tentunya).

Bahkan bagi kaum laki-laki, hak kamu lah untuk dipinang, bukan meminang wanita idaman sekehendak hati. Dan ketika sudah menjadi suami istri, laki-laki adalah tamu di dalam keluarga istrinya. Kamu tidak elok, jika turut campur dalam urusan keluarga istri, walaupun kamu tinggal di situ.

Ibu lah yang berhak terhadap rumah leluhurnya, tanah adat, dan harta warisan keluarganya. Dan nantinya, anak perempuan yang akan mewarisi sebagian besarnya. Saya berbicara tentang sistem matrilineal lho, ya… bukan PDI Perjuangan. Eh.

—000—

Jadi, dengan alasan yang sudah saya tuliskan di atas, sudah sewajarnya jika masyarakat Sumbar mawas diri dan berterima kasih kepada Ibu Puan Maharani, yang sudah berkenan mengingatkan sikap masyarakat Sumbar yang kurang mendukung negara Pancasila.

Bagaimana Bu Puan Maharani, keren nggak pledoi bikinan saya ini? Pemilu mendatang saya bisa direkrut sebagai jurkamnas nggak ini?


*) Ralat: Tadinya disebut “sila ketiga”, maksudnya adalah “sila keempat”.

BACA JUGA Puan Dikritik Karena Pernyataannya Terkait “Mendukung Negara Pancasila” atau tulisan soal Puan Maharani lainnya.

Exit mobile version