Proyek Trem Kota Bogor: Jawaban untuk Transformasi Sistem Transportasi Publik?

Jika proyek trem ini benar berjalan dan terealisasi, Kota Bogor akan menjadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan moda transportasi trem dalam bagian transportasi publik. 

Proyek Trem Kota Bogor: Jawaban untuk Transformasi Sistem Transportasi Publik? MOJOK.CO

Ilustrasi Proyek Trem Kota Bogor: Jawaban untuk Transformasi Sistem Transportasi Publik? (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKota Bogor akan segera merealisasikan trem sebagai jawaban atas sebuah keprihatinan. Apakah bisa menjadi jawaban dari sebuah transformasi?

Masa depan transportasi di Kota Bogor memasuki era baru pada 1 Mei 2023. Tepat pukul 21.00 WIB, di hari tersebut, proyek revitalisasi dan pelebaran jalan di daerah Otista, resmi dimulai. 

Penutupan total jalan di sekitar Jembatan Otista, di dekat area Kebun Raya Bogor, menandai apa yang kemudian jadi cikal bakal transformasi sistem transportasi di kota yang jadi salah satu kota satelit di sekitar Jakarta. Revitalisasi Jembatan Otista sendiri jadi langkah pertama Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor dalam strategi jangka panjang membangun proyek pengembangan angkutan massal berbasis rel di Kota Bogor yang akan menggunakan kereta trem.

Rencana ini sendiri sudah diinisiasi sejak 2016. Nota kesepahaman sudah diteken antara Pemkot Bogor dengan perusahaan swasta asal Prancis, Colas Rail, yang fokus di industri infrastruktur perkeretaapian. Penjajakan pun sudah dilakukan dengan PT INKA sebagai produsen kereta api dalam negeri dan PT KAI serta PT KCI, yang menjadi operator kereta api dalam negeri. Dengan pemerintah pusat, Bogor kabarnya juga telah mengusulkan agar proyek pengembangan trem ini masuk dalam proyek strategis nasional atau yang akrab disebut PSN.

Bermula dari keprihatinan

Dari data yang saya dapatkan dari Pemkot Bogor, trem adalah apa yang kemudian disebut sebagai bagian dari rencana pengembangan moda transportasi di Kota Bogor. Pengembangan ini sendiri dibagi dalam tiga jenis, yakni angkutan massal berbasis rel, angkutan massal berbasis bus, dan angkutan perkotaan (angkot) sebagai feeder atau pengumpan.

“Trem ini kan sejatinya berawal dari concern tidak hanya soal macet, tapi juga soal isu lingkungan dan anggaran. Kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) per hari di Indonesia ini sudah besar sekali dan pemerintah pusat bahkan harus mengimpor minyak mentah dan BBM untuk sekadar memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujar Dedie Rachim, Wakil Wali Kota Bogor, dalam obrolan yang kami lakukan pada Senin (8/5) lalu di Balaikota, Bogor, Jawa Barat.

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor BBM pada 2022 mencapai angka 347.625 barel per hari dengan nilai transaksi total menyentuh angka Rp299,41 triliun. 

Angka yang wow sekali, karena secara volume, impor BBM di 2022 naik 26% dibandingkan 2021, di mana pandemi masih cukup ganas. Bahkan, angka ini berpotensi naik lagi di 2023 karena konsumsi BBM di dalam negeri sudah kembali seperti sebelum masa pandemi seiring pulihnya perekonomian.

Yang bikin gusar sejatinya, negara importir BBM terbesar di Indonesia adalah dua negara ASEAN, Singapura dan Malaysia. Petronas misalnya, milik Malaysia. Dengan menstabilkan konsumsi BBM dalam negeri, Petronas bisa ekspor BBM, bahkan menjadi perusahaan yang mensponsori tim balap di ajang bergengsi Formula 1. Ini salah satu urgensi penting yang nampaknya perlu dipertimbangkan Indonesia; bagaimana merencanakan dan memulai proses untuk bisa menekan angka impor BBM.

Trem Kota Bogor sebuah keniscayaan

Dedie lebih lanjut juga buka suara soal proyek transisi menuju kendaraan umum berbasis listrik, yang mana salah satunya adalah trem. Transisi ini adalah keniscayaan, karena perlahan tapi pasti, ketergantungan masif kepada BBM harus pelan-pelan direduksi. Meski dari kacamata ramah lingkungan, listrik sendiri bukan solusi yang 100% sempurna.

“Listrik sendiri sebenarnya tidak benar-benar murni ramah lingkungan. Kalau kita fair, tenaga listrik kita ini, kan, dari batu bara, yang tentu saja berefek pada lapisan ozon. Tapi transisi menuju transportasi umum berbasis listrik adalah langkah lesser evil yang saat ini bisa kita upayakan. Setidaknya sampai kita menemukan energi alternatif yang lebih baik, seperti energi nuklir, misalnya,” jelas pria yang pernah bekerja di KPK tersebut.

Berapa lama proyek trem ini akan terealisasi seutuhnya?

“Ya kami sekarang berfokus pada revitalisasi Otista dahulu sebagai langkah awal. Trem di Bogor ini adalah proyek jangka menengah sekaligus jangka panjang. Realisasinya sampai benar-benar berjalan butuh sekitar lima sampai 10 tahun,” ujar Dedie.

Omongan Dedie masuk akal. Sejatinya, Bogor bukan kota yang sudah punya jalur trem warisan kolonial seperti Solo, Surabaya, atau Jakarta. Membangun jalur trem dari nol adalah langkah besar yang tentunya butuh waktu. Belum dari sisi investor untuk pendanaan proyek, koordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan pusat, sosialisasi kepada masyarakat, hingga politik anggaran yang biasanya terjadi di tingkat daerah.

Dari blueprint rancangan trem yang saya terima, Kota Bogor sendiri mencanangkan proyek trem ini ke dalam bagian Transit-oriented Development atau jamak disebut TOD. TOD sendiri, dalam lingkup studi urban planning, adalah rancangan pembangunan kota dengan berfokus pada integrasi. 

Integrasi ini sendiri ibarat hubungan simbiosis antara aktivitas warga perkotaan dengan pemanfaatan penggunaan kendaraan umum. Dan, dua titik TOD yang disasar Kota Bogor adalah Terminal Baranangsiang serta Stasiun Bogor.

Pembagian koridor trem Kota Bogor

Trem di Kota Bogor sendiri rencananya dibagi dalam empat koridor. Koridor 1 adalah yang kemungkinan besar akan dieksekusi terlebih dahulu pembangunannya. Titik awal koridor ini ada di dua titik utama TOD, yaitu Stasiun Bogor dan Terminal Baranangsiang.

Lengkapnya seperti ini; Koridor 1 akan menghubungkan Stasiun Bogor dan Terminal Baranangsiang dengan melewati 9 halte dalam perjalanannya. Lalu Koridor 2 akan menghubungkan Warung Jambu dan daerah Pengadilan dengan total 10 halte. Di Koridor 3, menghubungkan Warung Jambu dan Lippo Plaza dengan total 12 halte. Lalu terakhir Koridor 4 akan menghubungkan Terminal Baranangsiang dan Plaza Ekalokasari dengan total 12 halte.

Bagaimana nasib angkot?

Dengan rencana besar untuk proyek trem di Kota Bogor, pertanyaannya kemudian adalah…bagaimana nasib angkot? Bukankah Bogor selain dikenal sebagai Kota Hujan, juga akrab disebut Kota Angkot?

“Angkot nanti tidak akan dihilangkan sepenuhnya, tapi akan diubah fungsinya untuk menjadi feeder atau pengumpan menuju ke halte bus Trans Pakuan atau ke halte trem terdekat,” lanjut Dedie.

Ini menarik, sekaligus ide yang jauh lebih masuk akal dari apa yang pernah diterapkan Yogyakarta dan terbukti gagal total. Untuk diketahui, angkot sudah punah seutuhnya di Yogya dan justru menambah masalah baru; bertambahnya angka kendaraan pribadi di Kota Gudeg. Ujungnya adalah meningkatnya volume kendaraan di jalanan dan berujung pada kemacetan.

Angkot memang tidak bisa sepenuhnya hilang, utamanya di kultur sosial masyarakat kita. Mempertimbangkan kapasitas dan fungsinya, ia lebih menarik dijadikan moda transportasi pengumpan. Tujuannya untuk membawa masyarakat yang ada di kantong-kantong wilayah di luar daerah pusat kota, menuju ke halte terdekat. Terutama yang sudah terintegrasi dengan moda transportasi publik lainnya yakni bus dan trem, misalnya. 

Menghilangkan angkot sepenuhnya justru menambah masalah baru. Masyarakat di daerah pinggiran tidak akan punya opsi kendaraan umum untuk membawa mereka ke halte terdekat. Persis seperti apa yang sedang terjadi di Yogya saat ini.

Tantangan di depan mata

Tapi, dengan semua rencana positif seperti terpapar di atas, proyek trem di Bogor bukannya tanpa tantangan. Dibanding kota lain di kawasan Jabodetabek, Bogor punya kontur jalan naik-turun yang jauh lebih banyak. Di beberapa wilayah, terutama dari area Bogor Timur hingga Bogor Selatan, jalanan menanjak mendominasi. Apalagi jika kamu datang dari kawasan pusat kota atau area Bogor Tengah. Namun, Pemkot sudah mengantisipasi hal itu.

“Yang menantang dari proyek trem di Bogor nantinya adalah kontur jalan di kota ini ya. Kan bisa dilihat sendiri, jalanan di Bogor ini punya tingkat elevation yang berbeda. Kalau trem-nya hanya berbasis baterai, ada kemungkinan dia nggak akan kuat di jalan menanjak. Makanya kami juga menyiapkan trem yang nantinya pakai listrik, bukan dengan sumber tenaga baterai saja,” papar Dedie lagi.

Di atas kertas dan dari data pemaparan yang didapat sejauh ini, sejatinya proyek trem ini bakal jadi sesuatu yang menarik untuk ditunggu realisasinya. Dan patut diingat, jika proyek trem ini benar berjalan dan terealisasi, Kota Bogor akan jadi kota pertama di Indonesia yang menerapkan moda transportasi trem dalam bagian transportasi publik. 

Terakhir, dengan asumsi awal harga tiket di angka Rp9.000, apakah kamu akan berminat jadi penumpang tetap trem Kota Bogor untuk aktivitas sehari-hari?

Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kota Bogor: Kota Paling Ideal di Indonesia untuk Pensiun dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version