Kamu aktivis lingkungan garis keras? Ikut tersulut amarah ketika Mbak Sastro sempat mengeluarkan pernyataan yang enggak simpatik banget – meski telah diklarifikasinya – terhadap jejak perjuangan para Kartini Pegunungan Kendeng? I feel you…
Tapi hal yang paling penting dari semua itu adalah: ya, mencari solusi. Lho, target perjuangannya kan sudah jelas, menolak pabrik semen Rembang. Akan tetapi, kalaupun tuntutan tersebut dikabulkan 100% oleh Pak Jokowi (katakanlah pabriknya dihentikan total) – itu bukanlah solusi sesungguhnya. Hanya mengulur waktu saja.
Lha, kenapa?
Begini, Bung, Nona, Tuan, dan Nyonya. Mari kita duduk bersama, bertukar pikiran realistis.
Betul, pabrik semen itu memang ngeri banget dampak lingkungannya. Tak terbantahkan betapa parah polusi udara, air, dan tanah. Jangankan pabrik semen, tambang batu kapur Citatah Padalarang saja bikin saya nangis sesenggukan tiap kali lewat: rumah dan tanaman tertutup bubuk putih, asap hitam pekat dari cerobong di kanan-kiri.
Tak terbayangkan bagaimana orang-orang bernafas. Pasti rentan kena infeksi paru-paru, kencing batu, dll. Padahal di Citatah enggak ada pabrik semen, karena selain terlalu jauh dari tol dan pelabuhan untuk transportasi bahan baku semen juga hasil produk semen, jalannya juga terlalu kecil, curam dan berliku untuk mobilitas bahan pembangunan pabrik – terutama kiln, silinder panjang raksasa untuk pembakaran dan penggilingan batu kapur.
Apalagi kalau tambang batu kapur plus pabrik semen? Coba ngana bayangkan!
TUNGGU APA LAGI?? TUTUP PABRIK SEMEN!!!
Sebentar, sodara-sodara sebangsa dan setanah air…
Persoalannya adalah, penduduk Indonesia ada lebih dari 255 juta jiwa. Anda yang jomblo, nanti akan menikah dan lantas punya anak. Lalu anak Anda dan cucunya pun juga akan menikah. Tentu saja akan mereka juga berhasrat membangun rumah idaman. Apakah kalian semua berkenan membuat rumah dari bilik dan bambu?
Misalnya kamu/anak cucumu menikah dan membangun rumah. Tak usah muluk-muluk, tipe 50 saja.
Mari kita hitung:
- 1 sak semen 50 kg, dibuat dari batu kapur 100 kg (karena susut banyak setelah dipanaskan dan digiling).
- Tiap tembok 1 m2, perlu 10 kg semen untuk nempelin bata + acian.
- Rumah tipe 50 m2, katakanlah total luas temboknya ± 150 m2 termasuk pagar. 150 m2 x 10 kg = semen 1,5 ton (30 sak). 30 sak x 100 kg = 3 ton batu kapur!
- Pasir. Perlu sekitar 0,05 m3 pasir/ m2 tembok. 150 m2 x 0,05 m3 pasir = 7,5 m3 (± 1 Colt diesel). Lalu pasir itu datang dari mana kalau bukan dari tambang pasir?
- Batu bata. Perlu 70 bata/ 1 m2. 150 m2 x 70 = 10.500 batu bata. Batu bata itu apa bahannya? Datang darimana kalau bukan dari tambang juga?
Itu baru bahan 1 rumah 50 m2, sodara-sodara…
Dengan tol laut dan perbaikan infrastruktur yang akan membantu pemerataan ekonomi luar Jawa – termasuk (uhuk)… menurunkan harga semen, dll di luar Jawa, bayangkan berapa besar potensi bisnis (dan tentu saja kerusakan) industri semen dan tak tertutup industri lainnya?
Menjadi dilematis jika kita memikirkan saudara-saudara kita di luar Jawa, Papua misalnya, yang harga semennya sering menembus angka Rp 1 juta/sak. Mereka – terlepas dari logika masyarakat adat yang berbeda dengan kaum urban-modernis – mungkin sangat memerlukan semen untuk membangun rumah (dan tempat usaha), supaya tidak cepat rusak seperti rumah bambu/kayu.
Itu baru semen. Bagaimana dengan industri bermodal besar lainnya yang juga merusak lingkungan?
Contoh, industri minyak sawit. Indonesia dan Malaysia mensuplai 85% kebutuhan minyak sawit dunia. Berapa ribu hektar hutan beralih menjadi kebun sawit (berapa banyak orangutan, badak, gajah, dll yang mati, berapa banyak aktivis yang menjadi korban)?
Kita marah membaca berita itu. Tapi, persoalannya, kita tetap mengkonsumsi banyak. Sebagian besar makanan kesukaan kita, makanan kampung ataupun impor, makanan berat maupun jajanan, sama-sama susah lepas dari minyak goreng dan mentega. Cobalah hidup 1 bulan makan makanan mentah/rebus. Camilan roti, kue, keripik dan kerupuk, mesti disingkirkan. Apa yang bakal terjadi dengan Anda?
Yang saya sebutkan di atas bahkan belum semua. Minyak sawit bukan cuma buat minyak goreng dan mentega, tetapi juga bahan utama lipstik, krim perawatan kulit dan makeup, juga adonan pizza, es krim, selai kacang, biskuit dan sereal sarapan.
“Itu sih gampang dihindari, karena saya jarang pakai/makan itu,” katamu.
Yakin?
Coba canangkan berhenti total memakai produk-produk berikut ini:
- Mie instan: 20% berat totalnya adalah minyak sawit, yang dipakai untuk menggoreng mie.
- Cokelat: supaya teksturnya halus dan mengkilat, juga tidak mudah leleh.
- Sabun, shampo, conditioner, odol, detergen, juga pelembut pakaian.
- Jangan lupakan juga deterjen dan pelembut pakaian itu sulit terurai, mencemari tanah dan air.
Bagaimana, sanggup?
Contoh terakhir adalah industri kertas dan tisu. 1 pohon biasanya diolah menjadi sekitar 16,5 pak kertas atau 11 rol tisu. Untuk membuat itu, sebuah hutan rimbun dengan pohon yang kurang bernilai ekonomis diratakan (dibakar), untuk kemudian dialihfungsikan menjadi hutan produksi. Keseimbangan ekosistem terganggu, banyak satwa dan tanaman asli yang mati.
Kamu mungkin akan langsung teriak: “Lawan!”
Eitss… kamu bisa saja boikot Sinar Mas karena kasus kebakaran hutan belum lama ini, tapi bagaimana dengan kertas dan tisu merek lain yang juga mengambil bahan-bahannya dari hutan produksi. Jika itu terlalu rumit buatmu, coba saja lihat gaya hidup kelas menengah sekarang:
- Tiap kali cebok dan cuci tangan, banyak yang menggunakan berlembar-lembar tisu, lebih dari 1 meter tisu gulung/3 lembar tisu kotak.
- Para mahmud (mamah muda) sering menggunakan banyak tisu basah tiap kali membersihkan bayi (juga lantai/meja/kursi yang terkena “kekacauan” si kecil).
- Para cowok jomblo (aktivis atau bukan) sering menggunakan tisu kering atau basah di kamar untuk tujuan yang kita tahu sama tahu. Uhuk.
- Semakin lama mahasiswa lulus, semakin rimbun pula berpak-pak kertas yang dihabiskan untuk tugas kelas ulangan dan draft skripsi.
- Dan jangan sepelekan juga bergulung-gulung tisu yang dihabiskan para penonton yang patah hati/nangis setelah nonton serian Korea.
Sebab itulah, daripada sekadar mengutuk Mbak Sastro yang enggak simpatik atau menyalahkan pengusaha yang rakus, dll), saya kira lebih baik kita membahas bagaimana semua orang bisa turun tangan berkontribusi nyata. Bukan kemudian berdemonstrasi itu salah, tapi yang kita bicarakan di sini adalah soal efektivitas perlawanan. Antara lain caranya:
- Secara pribadi mengurangi konsumsi produk-produk tersebut.
- Punya anak maksimal 1 untuk mengurangi jumlah penduduk. Itu berarti mengurangi keperluan semen, pasir dan batu bata untuk rumah baru, juga mengurangi konsumsi segala hal. Akan jauh lebih revolusioner jika Anda mengikrarkan diri hidup selibat alias menjadi jomblo sampai mati. Atau minimal childfree couple deh.
- Jadilah ilmuwan dan menemukan bahan baru yang lebih ramah lingkungan (ingat: harus lebih murah).
Persoalan ini semua haruslah dilihat dari kacamata hukum ekonomi: demand and supply. Oleh karena itu, jika Anda semua sekalian bisa kompak mengurangi demand semen, sawit, kertas, dll., para pemodal tersebut juga akan berhenti ekspansi. Ibu-ibu Kendeng tentu tak perlu lagi protes mengecor kaki mereka karena pabrik-pabrik tersebut telah merugi lebih dulu.
Tanpa mengurangi demand secara signifikan, percayalah, protes pabrik semen Rembang tidak akan menjadi solusi yang diharapkan. Ya seperti tadi: hanya mengulur waktu. Setelah musim pemilihan umum, persoalan seperti ini pasti akan muncul kembali. Klise sekali.
Bagaimana, siap bersama-sama turun tangan untuk menyelamatkan nasib bumi kita? Siap?
Mana suaranyaaaaa??? Tariiiikkkkk, maaaaannnggg!!!