Problematika Mahasiswa Eksistensialis Ketika Menyusun Skripsi

MOJOK.COBagi seorang mahasiswa eksistensialis, ada pergulatan batin dan pikiran yang rumit ketika menyusun skripsi.

“Sudah kerjakan saja. Tidak semua di dunia ini berjalan sesuai dengan keinginan kita. Sebagai mahasiswa, harus siap dengan segala tantangan”, begitu katanya. Entah, itu kata-kata siapa. Yang saya tahu kata-kata itu sering terucap dari mulut senior saya. Mungkin kata-kata itu dikutip dari dosen pembimbing mereka. Mungkin loh, ya.

Bagi seorang mahasiswa, menyusun skripsi adalah keniscayaan. Suka tidak suka, mau tidak mau, akan datang menghampiri layaknya tagihan uang kuliah yang selalu muncul setiap awal semesternya. Beberapa orang menyambutnya dengan suka cita. Lantaran menganggapnya sebagai penanda bahwa ia akan segera mendapat gelar sarjana. Lantas bisa membanggakan orang tua, lalu mencari kerja agar percaya diri berhadapan dengan calon mertua. Beberapa lainnya mulai mengutuk langit karena tersadar bahwa lulus dari universitas ternyata tidak semudah masuknya.

Saya bukan bagian dari keduanya. Saya, dan mungkin mewakili sebagian lain di luar dua kategori di atas sering ‘menganggap’ diri sendiri dan ‘dianggap’ oleh orang lain sedang mengalami krisis eksistensi. Pasalnya, mulai mempertanyakan hakikat hidup. Lalu menerka-nerka kapan terjadinya kiamat, membicarakan kisah nabi beserta para sahabat. Atau bahkan berkonspirasi tentang perang antar-galaksi yang semakin dekat.

Sungguh absurd. Sama absurd-nya dengan kisah Sisyphus yang diuraikan oleh Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus (1941). Raja Sisifus yang jahat dihukum dan dikutuk oleh para dewa untuk mendorong sebuah batu yang besar dan berat ke atas bukit. Namun setiap kali ia berhasil mencapai puncak, batu itu akan terguling lagi sampai ke dasar. Ia pun harus mendorongnya kembali dari bawah. Terus berulang seperti itu. Entah sampai kapan.

Begitulah Albert Camus menggambarkan absurditas dalam kehidupan manusia. Bangun tidur, sarapan, pergi ke kampus, kuliah, istirahat, makan, menyusun skripsi, pulang, makan lagi, lalu tidur. Terus berulang setiap harinya, secara rutin. Hingga akhirnya muncul pertanyaan dalam benak saya, “Mengapa harus demikian?”

Sebuah pertanyaan yang menggambarkan keresahan terdalam pada diri manusia. Yakni kehendak untuk memperoleh jawaban serta kejelasan. Namun apa yang saya peroleh? Pertentangan dan ketidakselarasan. Pasalnya, kemudian saya sadari bahwa dunia ini irasional dan tidak akan dapat dimengerti. Sama halnya dengan kata-kata yang saya kutip di awal tadi.

Tidak hanya itu. Problematika yang nyata dan bersinggungan langsung dengan proses menyusun skripsi adalah ketika para mahasiswa eksistensialis berpegang teguh pada prinsip. Bahwa manusia terlahir ke dunia dengan kutukan kebebasan. Adapun artinya, manusia yang bebas akan selalu berproses untuk menciptakan dirinya. Dengan kata lain, manusia yang bebas, dapat mengatur, memilih, dan memberi makna pada realitasnya sendiri.

Aspek ini tentu menjadi kendala tatkala seorang mahasiswa eksistensialis memasuki tahap menyusun skripsi. Mahasiswa eksistensialis akan cenderung mencari, memikirkan, dan menggali makna terdalam atau esensi skripsi terlebih dahulu sebelum mulai mengerjakannya. Pergulatan batin dan pikiran atas makna yang akan disematkan pada lembaran-lembaran kertas itu kelak bukanlah sesuatu yang mudah dan dapat dipandang sebelah mata.

Perkiraan saya, hanya akan muncul dua kemungkinan ketika pergulatan itu selesai terjadi. Pertama, mahasiswa tersebut akan menyerah terhadap standar tinggi yang ia ekspektasikan dalam menyusun skripsi. Lalu menetapkan bahwa makna yang ia sematkan pada skripsi tersebut hanyalah setumpuk lembaran kertas. Setumpuk kertas yang akan mengantarkannya menjadi sarjana, bagaimanapun caranya.

Atau yang kedua, ia akan menyematkan makna bahwa skripsi tersebut merupakan hasil karya terbaik yang dapat ia kerjakan. Melalui buah pikir dan kerja keras. Apa pun tantangan yang dihadapinya kelak saat proses pengerjaannya.

Tentu kalian semua akan beranggapan bahwa pemaknaan tersebut bersifat subyektif bagi mahasiswa yang bersangkutan. Namun bukankah subyektifitas merupakan asas dari pemikiran eksistensialisme? Persis seperti yang dikatakan oleh Jean-Paul Sartre bahwa, “Man is nothing else but what he makes of himself.” Maka dari itu para eksistensialis akan selalu menempatkan dirinya sebagai pusat dari “dunia”. Lantaran, setiap kesadaran manusia akan senantiasa berusaha mempertahankan subyektifitasnya sendiri.

Hal tersebut jangan dipahami sebagai sikap egoisme. Pasalnya, para eksistensialis juga meyakini bahwa orang lain di luar dirinya memiliki subyektifitas yang sama seperti yang dimilikinya. Konsepsi ini lebih tepat digambarkan melalui pemahaman bahwa manusia hidup dalam konstruksi buatannya sendiri. Misalnya membuat aturan, standar, norma, dan lain-lain.

Melalui hal tersebut sesuatu diberi nama, tujuan, serta makna. Maka dari itu, semestinya manusia dapat menjalankan eksistensinya dan bertanggung jawab atas dirinya dan realitas di sekitarnya. Termasuk dalam hal menyusun skripsi sekalipun.

Sayangnya, dua problematika dasar yang dihadapi para eksistensialis ini tidaklah cukup. Pemikiran bahwa hakikat setiap relasi manusia adalah sebuah konflik menjadi permasalahan berikutnya. Para eksistensialis akan cenderung memandang bahwa tidak ada yang namanya ‘cinta obyektif’ dalam setiap relasi. Namun, yang ada hanyalah pamrih, karena ‘aku’ akan selalu meng’engkau’kan (mengobyekkan) orang lain. Tentu hal ini bertentangan dengan prinsip sebelumnya bahwa ia mengedepankan asas subyektifitas.

Tidak heran Albert Camus memberi nama salah satu bukunya dengan judul “Orang Asing” (re: kesepian). Lantaran, orang-orang yang dimaksud oleh Camus akan cenderung terasing dan menghindari sebuah relasi yang meng-‘aku’ dan meng-‘engkau’ kan seseorang. Kecuali mereka berdua dapat menemukan ‘pihak ketiga’ yang dapat dijadikan musuh bersama—misalnya kemiskinan, kebodohan, dan masa depan suram. Supaya kemudian muncul terminologi “kita melawan mereka”. Cie banget nggak tuh?

Tapi di luar itu semua, perlu dipahami bahwa manusia yang sadar akan eksistensinya adalah manusia yang bertanggung jawab dan memikirkan masa depan. Meskipun dalam menentukan pilihan, kita tidak dapat serta merta menghilangkan rasa takut atau cemas atas segala konsekuensinya. Namun manusia semestinya merasa senang dan merdeka. Pasalnya ia berhak untuk bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambilnya.

Terakhir, untuk siapa pun. Terutama yang sedang mengalami pergulatan terkait eksistensi diri khususnya dalam menyusun skripsi. Pahamilah bahwa esensi manusia adalah akan selalu mengejar bayangannya. Apa yang hendak kita kejar pada dasarnya sudah diketahui hasilnya. Namun manusia memang harus senantiasa berbuat dan mengambil pilihan-pilihan itu meski sulit sekalipun, bukan?

Exit mobile version