Prank Kombo dalam Isu Bantuan 2 Triliun dari Keluarga Akidi Tio feat Polda Sumsel

meminta maaf

MOJOK.COIsu soal prank bantuan dari keluarga almarhum Akidi Tio sebanyak 2 triliun itu emang too-good-to-be-true. Etapi, kok endingnya begini?

Di Indonesia, memang banyak kejadian yang suka bikin warganya terpingkal. Mau itu awalnya diniatkan perkara serius atau bercanda, ya embuh, bodoamat, yang penting punchline aja dulu.

Dari pejabat negara yang berlomba-lomba nebeng beken dengan prestasi Greysia Polii dan Aprilia Rahayu yang raih medali emas Olimpiade Tokyo kemarin, sampai persoalan yang melibatkan duit bantuan Rp2 triliun.

Yak, hoaks duit 2 triliun, yang bahkan kita masih nggak paham-paham amat, ini yang hoaks yang manaaa seeeh, Cuk?

Buat kamu yang nggak ngikutin isunya, sini saya kasih review-nya sejenak.

Pada mulanya, ada pengusaha asal Langsa, Aceh Timur, bernama Akidi Tio, meninggal dunia. Kita mulai dari itu dulu ya. Sabar.

Nah, mendiang Akidi Tio ini merupakan pengusaha kontraktor, lalu diinfokan menghibahkan atau memberi bantuan untuk warga terdampak Covid-19 di Sumatra Selatan (Sumsel) sebanyak 2 triliun. Bantuan ini diserahkan oleh keluarga almarhum Akidi Tio di Mapolda Sumsel.

Kabar ini tentu bikin banyak orang terkejut. Bukan soal bantuannya, tapi soal jumlah bantuannya yang fantastis. Wajar kalau kemudian, Kapolda Sumsel sampai Gubernur Sumsel, pada saling berebut memuji keluarga Akidi Tio.

Acara penyerahan bantuan secara simbolis pun dilakukan di Mapolda Sumsel pada 26 Juli 2021. Ada foto-fotonya pula. Resmi.

Sampai kemudian muncul info dari hasil penyelidikan polisi sendiri, kalau bantuan itu cuma prank, cuma penipuan. Nggak ada duit sebanyak itu.

Bahkan Gubernur Sumsel yang tadinya memuji-muji, tiba-tiba jadi sewot. “Ini sudah bikin gaduh, harus ditindak tegas,” kata Herman Deru, Pak Gub Sumsel.

Situasi berikutnya kita tahu. Anak dari almarhum Akidi Tio, yakni Heriyanti alias Ahong, lantas ditetapkan sebagai tersangka. Heboh-lah itu satu Indonesia. Kehebohan itu bahkan sampai mengalahkan kehebohan kesuksesan ganda putri dapat medali emas Olimpiade.

Masalahnya adalah… prank ini belum juga berakhir, Sodara.

Udah viral begitu, tahu-tahu informasi itu diralat lagi. Diralat oleh Polda Sumsel sendiri pula.

Jadi, ketika sebelumnya banyak netizen yang sudah nge-share dan bilang: “Tuh, donasi sebanyak itu prank saja,” dan para pengglorifikasi tersudut, kini situasinya berbalik lagi ke awal.

Tiba-tiba muncul penjelasan dari Kabid Humas Polda Sumsel Kombespol Supriadi yang menyatakan Ahong dari pihak keluarga almarhum Akidi Tio tidak ditetapkan sebagai tersangka. Uang sebanyak 2 triliun katanya juga masih ada.

Lah? Lah? Kok malah jadi kombo begini prank-nya?

Menetapkan Ahong sebagai tersangka saja sudah bermasalah, lah ini malah diralat. Terus, kalau duitnya bener nggak ada, dibalikkan jadi tersangka dong? Atau jangan-jangan, masih berharap duit 2 triliun itu ada dan jadi untuk disumbangkan?

Btw, gini lho. Itu duit nggak sedikit lho. Nyumbang duit segitu, berarti keluarga Akidi Tio itu bisa dibilang udah sekelas dengan Bill Gates, filantropis paling dermawan di muka Bumi dan orang terkaya kedua di planet ini.

Asal kamu tahu aja, tahun lalu, Bill Gates pernah menyumbang Rp 2,17 triliun untuk melakukan percepatan vaksinasi di seluruh dunia. Sekali lagi, di seluruh dunia! Artinya, kalau memang duit ada, duit sebesar itu tidak hanya berguna untuk Sumsel saja, tapi bisa untuk bantuan vaksin seluruh penduduk Indonesia lengkap dengan booster ketiganya.

Meski saya berharap beneran ada, tapi soal ini tidak ada hubungannya dengan harapan. Ini too good to be true. Saya tahu itu.

Ini seperti ramai-ramai soal duit Rp11 triliun yang hendak dibawa pulang melalui Legal Mutual Assistance dengan pemerintah Swiss yang belakangan tidak ada update perkembangannya.

Atau analogi yang paling sederhana dan paling jelek, ini seperti SMS atau pesan WhatsApp yang tiba-tiba masuk ke hapemu: “Anda memenangkan hadiah utama PT Telkomsel senilai Rp 35 juta. Silakan hubungi link ini.”

***

Nah, untuk ngomentari kasus yang lucu banget ini, ada baiknya kita runut saja dari awal. Bagaimana sih kegaduhan ini bermula?

Menurut cerita teman saya yang merupakan salah seorang jurnalis yang ikut hadir dalam acara tersebut, para jurnalis di hari itu tidak tahu apa-apa. Hanya dikumpulkan dan dibilang ada press release terkait donasi Covid-19 dari seorang pengusaha.

Berapa jumlahnya? Tidak tahu. Begitu kata petugas yang mengumpulkan.

Namun, jurnalis itu mengira bahwa jumlahnya pasti miliaran. Karena, yang melakukan press release sampai Kapolda Sumsel langsung. Ditemani oleh Gubernur dan Danrem. Ada Guru Besar Universitas Sriwijaya pula yang mengantarkan keluarga itu. Semuanya nama-nama besar.

Ketika beneran diumumkan sebesar 2 triliun, jurnalis yang di sana pada kaget semua (yaiyalaaah). Awalnya para wartawan skeptis, masak iya ada bantuan sampai 2 triliun, tapi mereka juga nggak tahu cara krosceknya bagaimana saat itu.

Apalagi, tidak ada wawancara langsung dengan keluarga penyumbang. Juga tidak dijelaskan teknisnya seperti apa. Hanya, pernyataan-pernyataan normatif.

Simak saja ucapan Gubernur Herman Deru saat usai press release pertama, “Kami bangga menerima bantuan ini dari keluarga almarhum Akidi Tio. Apalagi jumlah dana yang diberikan sangat besar mencapai Rp 2 triliun. Ini angka yang tidak sedikit.”

Pertanyaan adalah… jika kamu jurnalis, apa yang kamu lakukan? Tidak menulis beritanya dan berusaha melakukan verifikasi dulu? Wah, ya kamu pasti akan digantung redakturmu habis-habisan!

Tidak menulis berita panas, sementara kantor media lain pada menulis, adalah sebuah kesalahan besar dari jurnalis di lapangan.

Perkara verifikasi?

Lah, memangnya pernyataan Kapolda, Gubernur, Danrem masih kurang? Jika pernyataan mereka tak layak kutip, lalu siapa kalau begitu yang layak kutip? Lalu, sehebat apa jurnalis yang bisa melakukan verifikasi ke Otoritas Moneter dan melihat keuangan seseorang? Apakah itu mungkin dilakukan? Jelas tidak. Berita itu pun akhirnya ditulis.

Maka, menyebarlah berita tersebut. Di banyak media. Lengkap dengan foto para pejabat berpose di depan plakat simbolik bantuan 2 triliun. Semua orang Indonesia di pelosok pun jadi tahu.

Apalagi berita itu muncul dengan banyak link berita lengkap plus foto-foto seremoni penyerahan bantuan. Hal-hal itu bikin info bantuan 2 triliun ini pun jadi semakin meyakinkan.

Belum dengan buzzer-buzzer yang ikut menunggangi dengan memasukkan aneka pesan politis. Seperti: ini yang keturunan Tionghoa yang dituding-tuding sebagai aseng dan tak nasionalis (padahal siapa pula yang menuduh tudingan baheula macam itu!) mau berkorban untuk negara.

Atau, menghantam serampangan aksi donasi untuk Palestina (yang digebyah-uyah oleh para buzzerp sebagai kadrun). Tapi, cukuplah membahas soal buzzerp. Kerjaannya memang nggilani kayak gitu sih.

Dari kronologi di atas, maka bisa terlihat siapa sih yang bodoh. Dan, jelang ending-nya, Ahong dari keluarga mendiang Akidi Tio dijadikan tersangka, lalu kemudian diralat untuk kemudian disebutkan hanya menjadi saksi.

Kayak prank yang berlanjut dengan prank, dan kemungkinan ada prank lagi. Nggak cuma kombo, ini bisa jadi hattrick prank lho nanti.

Kapolda, Gubernur, dan segenap pejabat dan orang yang mengamplifikasinya seharusnya juga bertanggung jawab. Terutama jika setelah penyelidikan lanjutan, uang tersebut tidak ada.

Paling tidak, berani mengakui kesalahannya: tidak melakukan cek dan ricek terhadap donasi tersebut sebelum digelar press release ngundang wartawan dari mana-mana. Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu rumit dilakukan, cuma membutuhkan jiwa ksatria yang amat besar.

Yang menarik ditunggu adalah… bagaimana exit plan dari kegaduhan ini?

Jika duitnya akhirnya ada, memang tidak masalah. Namun, ini seperti berharap BTS nyanyi lagu “Suci Dalam Debu”. Kemungkinan itu tetap ada, tapi ya begitulah. Kayak masih aneh aja.

Yang menarik ditunggu adalah… bagaimana jika duit itu beneran tidak ada?

Apakah kita diprank lagi dengan ralatnya ralat? Lantas menjadikan Ahong dari pihak keluarga almarhum Akidi Tio sebagai tersangka (yang itu tidak etis juga sebenarnya) karena yang nyebarin info palsu kan juga kena seharusnya?

Seharusnya.

Eh, bener begitu kan, Pak, pasalnya?


BACA JUGA Beberapa Hal yang Bikin Nge-prank Jadi Nggak Asyik Lagi dan tulisan Cak Kardono lainnya.

Exit mobile version