MOJOK.CO – Ketimbang soal klaim unggul 62%, adegan sujud syukur kemenangan Prabowo jauh lebih menarik. Ketiban amanah sebesar itu blio malah bersyukur. Suangar.
Secara pribadi, saya ingin langsung ucapkan selamat dulu kepada Prabowo Subianto.
Akhirnya, setelah berjuang selama ini, beliau ditobatkan oleh dirinya sendiri menjadi Presiden Republik Indonesia masa bakti 2019-2024 pada malam pencoblosan 17 April 2019. Perjuangan Fadli Zon dalam menyusun puisi, doa jamaah PA 212, dan kunjungan Sandiaga Uno ke seribu titik tiga kali putari bumi akhirnya buahkan hasil.
“Kita sudah berada di posisi 62 persen. Ini adalah hasil real count,” kata Prabowo di kediamannya yang langsung disambut gegap gempita para pendukungnya dengan riuh. Tentu saja real count yang dimaksud adalah real count versi BPN Prabowo-Sandi.
Demi melampiaskan rasa syukurnya, Prabowo meneriakkan takbir tiga kali yang kemudian diakhiri dengan sujud syukur. Sebuah adegan yang benar-benar bikin banyak air mata mengalir begitu derasnya.
Soal air mata itu bakal jadi air mata bahagia atau air mata malu, ya biarkan nanti pengumuman real count resmi dari KPU yang akan menjawabnya.
Tidak berselang lama, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin juga melakukan konferensi pers. Namun tidak seperti Prabowo yang mengklaim kemenangan, Jokowi tampak datar-datar saja. Tak ada ekspresi gembira atau sedih. Benar-benar flat. Persis seperti mimik wajah Gibran Rakabuming, putranya. Sama sekali nggak menarik.
Saya aja yang nonton konferensi pers Jokowi ini malah ngantuk. Benar-benar berbeda jauh dengan cara Prabowo menyampaikan deklarasi kemenangannya. Begitu penuh semangat, membara, dan berapi-api.
Dibandingkan Prabowo, tak banyak hal menarik yang diucapkan Jokowi saat konferensi pers. Semuanya hanya basa-basi. Mengucapkan terima kasih ke semua pihak. Juga meminta pendukungnya untuk menunggu perhitungan secara resmi dari KPU.
Dua adegan ini berlangsung dalam siaran televisi yang menampilkan running text soal hasil quick count. Di mana semua lembaga menyatakan bahwa Jokowi menang. Di kisaran 50-an persen untuk Capres 01, dan kisaran 40-an persen untuk Capres 02.
Terlepas dari itu, saya jauh lebih tertarik dengan konferensi pers yang dilakukan Prabowo. Blio bilangnya menangnya telak banget soalnya. Lha gimana? Katanya 62% je, BUNG! JANGAN MAIN-MAIN YHA ENTE~ banyak bener lho ini jaraknya.
Betul-betul deh, jiwa “berani mati”-nya Prabowo itu memang luar biasa. Kalau mau dirunut ke belakang. Adegan-adegan “berani mati” Prabowo itu sudah berulang kali muncul sebelum adegan deklarasi kemenangan Pilpres 2019 ini.
Sejak pernyataan tingkat korupsi di Indonesia sudah masuk stadium 4, Indonesia bakal bubar 2030, pembelaannya kepada Ratna Sarumpaet, sampai terakhir soal kemenangan Pilpres yang—tentu saja—berisiko bikin Prabowo bisa kembali merasakan de javu 2014.
Akhirnya, pemilihan elektoral yang paling menguras emosi dan tenaga ini ditutup dengan “adil”. Semua menang, semua gembira. Prabowo merasa menang, sedangkan quick count menyatakan Jokowi yang menang. Luwar biyasa indah memang kemenangan “bersama” ini.
Meski begitu, ketimbang soal main klaim kemenangan, saya justru tertarik dengan adegan sujud syukur kemenangan Prabowo. Terutama ketika banyak cebong-cebong yang nyinyirin aktivitas ini. Yawla, orang lagi mengungkapkan rasa syukur kok dicibir.
Orang yang nyinyirin Prabowo ini sih bisa ditebak memakai nalar adegan Umar bin Abdul Aziz, khalifah pada masa dinasti Bani Umayah, ketika ditunjuk menjadi khalifah. Saat diminta untuk memimpin Kekhalifahan, Umar bin Abdul Aziz justru menangis ketakutan dan mengucapkan “innalihahi”, alih-alih takbir tiga kali atau sujud syukur.
Peristiwa pada 10 Shafar tahun 99 Hijriah itu benar-benar terasa menjadi bencana bagi cucu Umar bin Khattab tersebut. Sebuah kata-kata monumental kemudian keluar, “Sesungguhnya saya telah dibebani jabatan ini tanpa meminta pendapat saya lebih dulu dan bukan atas permintaan saya sendiri,” kata Umar bin Abdul Aziz kala itu.
Sampai akhirnya Umar bin Abdul Aziz meminta seluruh hadirin menunjuk orang lain yang jadi Khalifah selain dirinya. Hal yang kemudian ditolak dan menjadikan Umar bin Abdul Aziz akhirnya harus rela “dipaksa” menjadi khalifah.
Tentu saja fakta sejarah semacam ini bakal njomplang sekali jika dilekatkan berbarengan dengan adegan sujud syukur Prabowo Subianto. Di saat Prabowo dipercaya banyak ulama di negeri ini, blio malah menunjukkan sikap yang berkebalikan dengan hal yang—sudah tentu—bakal diketahui oleh para ulama pendukungnya.
Akan tetapi, apakah yang dilakukan Prabowo ini salah? Hm, ya jelas tidak. Mana bisa capres yang udah didukung Ijtima’ Ulama kayak begini melakukan kesalahan? Ya nggak dong, pasti ada alasan-alasan terstruktur, sistematis, dan masif sampai blio mau melakukan sujud syukur kayak begitu.
Beberapa di antaranya, ya bisa aja karena Prabowo nggak tahu akan riwayat Umar bin Abdul Aziz ini. Ya mungkin saja toh? Kisah Umar bin Abdul Aziz ini pada kenyataannya memang tidak banyak yang tahu. Jadi kalau blio nggak tahu, ya nggak apa-apa dong.
Kan sudah lumrah, orang itu nggak bisa dikenai hukum kalau tidak tahu, tidak sadarkan diri, atau belum baligh. Lagian ini kan bukan perkara halal-haram. Jadi nggak apa-apa dong.
Selain itu, Prabowo kan didaulat bukan sebagai pemimpin agama Islam, melainkan untuk jadi Presiden Indonesia. Jadi kecakapan beribadah dan pengetahuan tentang agama ya nggak sepatutnya dijadikan standar tunggal dong. Kalau calon lain mah boleh aja pakai standar itu, tapi kalau buat Prabowo ya jangan.
Alasan berikutnya kenapa kita jangan menyalahkan sujud syukurnya Prabowo, ya karena blio ingin menunjukkan bahwa meski merasa menang 62% suara, blio tetap down to earth. Membumi.
Lagian, sujud kan tidak melulu harus dimakai rasa syukur. Bisa saja ini merupakan ekspresi kepasrahan paling hakiki untuk meminta petunjuk sama Yang Maha Kuasa. Karena bentar lagi bakal jadi pemimpin yeee kan?
Dan terakhir, ini bakal jadi alasan yang monumental. Prabowo melakukannya untuk jaga-jaga kalau ternyata hasil KPU nanti hasilnya malah berbeda.
Sebuah iktikad baik yang menjadi bukti, bahwa sebenarnya Prabowo punya sifat-sifat mulia layaknya Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yakni takut jadi pemimpin karena tanggung jawabnya di hadapan Allah. Dan ketakutan itu ditunjukkannya dengan sujud syukur. Mulia sekali bukan?