MOJOK.CO – Setahun sebelum pilpres 2019, saat yang tepat untuk keluar dari zona nyaman.
Satu atau dua tahun lalu, kalau kita tanya anak-anak muda kita soal cita-citanya, kemungkinan besar mereka akan menjawab “Kepengin jadi trending topic” atau “Jadi viral.” Sekarang, kalau pertanyaan yang sama kita ajukan kepada mereka, mungkin mereka akan menjawab “Kepengin jadi top global Balmond.”
Balmond, buat yang belum tahu, adalah salah satu tokoh di gim Mobile Legend. Ada banyak tokoh di sana, salah satunya Gatotkaca. Saya kasih tahu supaya kalian nggak terheran-heran kalau suatu hari pas lagi jalan-jalan di Indomaret terus ada anak-anak yang ngomong, “Mbak, mau beli Freya.”
Kalau ada profesi yang saya sarankan untuk tidak dicita-citakan oleh Cita Citata atau siapa saja, di peringkat teratas adalah menjadi arsitek. Dalam bahasa teman saya, profesi ini high profile, low profit. Kesannya keren, aslinya nggak ada apa-apanya walaupun sejarah pernah mencatat ada presiden Indonesia yang arsitek. Sekarang ada juga sih yang jadi walikota dan lagi nyalon gubernur. Mungkin diam-diam dia juga kepengin jadi presiden.
Di media sosial, ada orang yang membagikan meme yang membandingkan bangunan rancangan seorang arsitek dengan kamar dan meja kerjanya yang acakadut. Itu belum seberapa, kenyataan bahwa arsitek sering mendesain rumah mewah tapi nyicil KPR saja ngos-ngosan lebih menyayat hati. Kesannya kayak jomblo yang awetnya berformalin, tapi hobinya nonton bokep.
Profesi kedua yang tidak saya sarankan adalah jadi pengamat politik. Profesi ini baik, tapi sejak pilpres mempertemukan Prabowo dengan Jokowi dan pilkada antara Ahok dan Anies, profesi ini lagi kelebihan peminat.
Rasanya pilpres 2019 masih akan mempertemukan Prabowo dan Jokowi. Apakah Pak Joko akan melakukan double kill atau justru Pak 08 yang mencetak epic comeback? Apa pun itu, perkiraan saya, orang yang beralih profesi jadi pengamat politik semakin banyak.
Kalau sudah begitu, efeknya dua. Persaingan jadi berat dan bayaran semakin rendah mendekati gratis. Raihan tertinggi yang bisa dicita-citakan dari profesi ini adalah diundang Karni Ilyas di ILC-nya atau Najwa Shihab di acara apa pun yang memanggul namanya. Tapi, orang harus luar biasa cerdas atau punya akun yang di-like minimal 1 juta orang untuk bisa diundang ke sana.
Nah, kalau ada cita-cita yang paling baik untuk dicita-citakan, saya sarankan untuk bekerja di bidang bahasa. Jujur, saya masih nggak jelas juga enaknya di mana dan bidangnya apa saja. Tapi, trennya kelihatan sedang ke arah sana.
Denny JA yang kondang karena berhasil mengegolkan beberapa capres jadi presiden betulan saja melirik bidang ini. Padahal, bisa dibilang Om Denny itu Mourinho-nya pemilu, siapa saja yang didukungnya biasanya menang. Kalau kata gim Mobile Legend, win rate-nya tinggi.
Bukan cuma Om Denny. Saya perhatikan, idola kita semua, kakak seluruh warga Bantul dan sekitarnya, mantan panglima besar Jokower cabang Ostrali bertarif 250 juta, Iqbal Aji Daryono, sepulangnya dari merantau juga mulai beralih ke bidang ini. Semakin ekstrem, belakangan beliau bahkan mendaku sebagai filsuf bahasa. Mungkin biar dianggap setara sama Rocky Gerung, filsufnya kelompok 212.
Pertanyaan saya: Ada apa? Zaman saya sekolah dulu, satu-satunya orang yang hobi memberi tahu soal tanda baca, ejaan, sampai kata yang benar cuma Almarhum J.S. Badudu. Sepeninggal beliau, pengganti yang bisa sepopuler beliau cuma Ivan Lanin yang konon pipinya semulus sampul KBBI yang jarang dibuka.
Celakanya, filsuf yang ingin disaingi Mas Iqbal, Om Rocky, ternyata juga pemain bahasa. Baru-baru ini beliau melontarkan kata fiksi yang memancing perdebatan netizen. Kepala Suku Mojok yang punya legitimasi sebagai alumni Filsafat UGM sampai harus turun dari kaki gunung Merapi untuk menjelaskannya dari segi etimologi.
Lucunya, teman-teman yang dulu memperkarakan Ahok soal Al-Maidah, sekarang memilih menunggu apakah Om Rocky berani menyebut apa kitab suci yang dimaksudkannya. Beberapa yang lain menyebut, beliau kan non-muslim, berarti yang disebutnya fiksi adalah kitab suci agamanya sendirinya. Saya jadi ingat Karl Marx, anak pendeta yang bersabda bahwa agama adalah candu. Herannya, justru Ustadz Alfian Tanjung dan Amien Rais yang takut berlebihan pada komunis.
Oya, soal Pak Amien, saya punya tebak-tebakan untuk beliau. Pekerjaan apa yang dibenci Tuhan dan setan sekaligus, Pak Amien?
Nyerah? Jawabannya: nyoblos partai poros tengah.
Kembali ke Om Rocky. Mungkin merasa dibela oleh mereka yang dulu membela Ahok, Om Rocky kembali mendebatkan kata dungu dan dikeluarkan menyusul dikeluarkannya beliau dari Universitas Indonesia—selain protes beliau soal Fakultas Filsafat UI yang, celaka dua belas, dipimpin guru besar sastra. Mong-ngomong, Om Rocky kan lulusan sastra juga. Jadi bingung, ya.
Etapi, kita jadi tahu bahwa salah satu peluang bergelut di bidang bahasa adalah bisa menjadi dosen atau ketua departemen fakultas filsafat.
“Dungu”, balik lagi ke Om Rocky, kata beliau adalah “koherensi antara dua premis yang tidak memiliki kesimpulan.” Jelimet, khas filsuf. Padahal kalau kita mengikuti Kak Ivan yang tegak lurus dengan KBBI, dungu itu artinya ‘sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh’. Sesederhana itu dan Om Rocky sudah benar ketika keberatan saat setiap kata di cuitannya diminta untuk dikasih penjelasan.
Yang lebih rumit sekarang adalah dikeluarkan. Kata Om Rocky, beliau tidak bisa dikeluarkan karena dulu beliau tidak melamar, tapi diminta mengajar oleh UI. Keluar, setahu saya, bentuknya memang ada dua. Kalau yang dimaksud antonim masuk, maka ke-nya disambung, jadi “keluar”. Kalau yang dimaksud antonim ke dalam, maka dipisah jadi ke luar. Dikeluarkan jadi rumit karena tidak jelas apakah maksudnya ‘tidak diajak masuk’ atau ‘tidak diajak ke dalam’.
Saya berhenti sampai di sini karena ada aspek bahasa yang ternyata hanya bisa diselesaikan oleh para filsuf. Di titik ini, saya kembalikan persoalannya kepada Mas Iqbal yang sudah filsuf tadi.
Harapan saya, Mas Iqbal sekalian bisa menyelesaikan persoalan besar 7 tahun lalu ketika seorang penyanyi kenamaan Ibu Kota yang diam-diam bercita-cita jadi kameramen membuat leher nyaris semua laki-laki Indonesia tengeng ketika ia bertanya kepada pasangannya,
“Mau dikeluarin di luar apa dikeluarin di dalam?”