29 Februari, tanggal yang hanya muncul empat tahun sekali, memunculkan pelbagai kabar mengejutkan bagi publik Indonesia tahun ini. Ridwan Kamil memutuskan tidak mengikuti pilkada DKI Jakarta 2017, kawasan prostitusi Kalijodo resmi dibongkar, Margriet divonis penjara seumur hidup setelah terbukti memerintahkan pembunuhan Engeline, dan banyak lagi lainnya. Semua peristiwa itu segera menjadi buih di lautan berita karena tergulung kegemparan netizen dipicu satu kabar ini: Leonardo diCaprio menang Oscar untuk pertama kali sepanjang karirnya.
Tunggu saja, nanti mungkin media online tempat saya kerja bakal mengaitkan kemenangan Leo dengan tuah ajaib tahun kabisat.
Leo meraih penghargaan aktor terbaik versi Academy Award berkat perannya sebagai Hugh Glass, tokoh utama film The Revenant. Glass adalah bakul kulit hewan gemar blusukan di hutan-hutan Amerika yang belum terjamah pada periode awal 1800-an. Bagi yang belum nonton, di film itu Glass dikhianati teman kerja, ditinggalkan di hutan bersalju saat terluka parah, nyaris mati berkali-kali, tapi akhirnya sembuh berkat rajin makan ikan mentah. Intinya sih The Revenant sama saja seperti film laga Die Hard tapi setting-nya di abad 18 gitu.
Peran sebagai Glass konon paling menyiksa fisik Leo sepanjang karirnya. Dia diperkosa beruang betina gara-gara lupa uluk salam pas masuk hutan; lehernya sobek sehingga harus ditambal pakai mesiu (yang lantas disulut api) supaya air engga bocor setiap kali Glass minum; sedang asyik ngaso malah dihujani panah oleh Suku Arikara; sampai tidur di perut kuda (harfiah) supaya tak mati beku.
Tapi memang dunia ini tidak adil. Leo bersedia di-make down seperti itu, sampai wajahnya kucel, rambut penuh kutu, dan bibirnya pecah-pecah, kok ya masih ganteng saja. Sedangkan jika saya atau Agus Mulyadi muncul di layar kaca dalam kondisi serupa, simpati paling banter cuma datang dari pacar masing-masing.
Maaf, ternyata cuma saya yang punya pacar, Gus Mul enggak. Lihat, lebih pahit lagi jadinya toh?!
Oleh karena itu, saya menikmati ribuan meme, guyonan, anekdot, gif, sampai video parodi yang dibuat oleh netizen dunia demi mengejek kegagalan Leo meraih Oscar selama beberapa tahun terakhir. Guyonan favorit saya soal ketidakberuntungan Leo adalah yang satu ini:
“Leonardo DiCaprio ditakdirkan tidak akan menang Oscar sepanjang hidupnya. Kemudian 40 tahun mendatang, akan ada yang memerankan sosoknya dalam film biografi membahas kisah tragis Leo, lalu meraih Oscar untuk kategori aktor terbaik.”
Kalau dipikir-pikir, Leo ini memang sepertinya ngebet banget menang penghargaan bidang akting. Leo bersedia mati beku pada ending Titanic, ikut tawuran dan bacok-bacokan di Gangs of New York, bugil dalam The Aviator, jadi tentara bayaran asal Afsel yang jarang mandi pas main Blood Diamond, hingga selalu mabuk dan teriak-teriak sebagai pialang saham brengsek lewat The Wolf of Wall Street. Semua hasilnya nihil di kancah Oscar.
Bahkan, menjelang pengumuman Academy Award 2016, muncul analisis di media serius seperti Forbes atau Variety, yang berharap supaya Leo tidak menang saja supaya namanya abadi. Ada pula yang berteori, jika Leo dapat penghargaan, bisa-bisa dia tak akan lagi membintangi film bagus.
Sejarah lantas membuktikan, rezim ceng-cengan ini harus berakhir juga. Leo menang, kerja kerasnya terbayar. Saya termasuk golongan patah hati, karena seperti banyak orang lainnya, kami harus mencari bahan olok-olok baru demi menjaga kewarasan selama mengarungi rimba Internet.
Sebagian dari Anda mungkin terganggu dengan keriuhan Leo menang Oscar di medsos. Ada teman sekantor saya yang prihatin karena respon netizen Indonesia untuk Oscar kok lebih cepat dan masif, daripada dukungan bagi panitia BelokKiriFest di Jakarta yang diteror gerombolan fasis. Ada juga yang mengeluhkan kelatahan netizen kita menanggapi setiap isu populer di Twitter.
Sebelum Anda ikut prihatin lebih lanjut, perlu saya ingatkan, netizen kebanyakan adalah mahluk yang gemar mengolok-olok dan nyinyir. Ini bukan cuma kasus spesial pengguna Internet Indonesia, tapi juga seluruh dunia.
Kemalangan sosok populer, pesohor apalagi, adalah isu yang sanggup mempersatukan umat manusia di dunia maya. Dan mengingat sifat teknologi daring, selera guyonan di satu negara bisa cepat tersebar ke negara lain. Kasus Leo salah satunya.
Ketika saya dan tak terhitung berapa lelaki harus rela selalu kalah pamor dari Lee Min-ho di mata pacar, dan jutaan perempuan juga jengah disandingkan dengan Dian Sastro, apa salahnya mencari bukti ketidaksempurnaan sosok pujaan banyak orang? Saya saja sering membayangkan Sandra Dewi kalau buang air masih ngeden, agar kekaguman di kepala ini tak terlampau berlebihan.
Apalagi jika yang jadi bahan ceng-cengan ini pesohor Hollywood macam Leo, yang sempat dibayar US$ 37 juta (setara Rp 495 miliar) sekali main film, nilai tak terbayangkan bagi buruh-buruh macam kita. Mengolok-olok aktor 41 tahun itu (dan tetap saja ganteng dengan bodi aduhai) adalah katarsis bagi banyak orang, agar lebih rileks menerima situasi dunia yang timpang luar biasa.
Tapi memang sih, untuk kasus Indonesia, banyak juga sentimen negatif dari kita-kita terhadap sosok yang entah mengapa ambisinya dirasa lebih menyerupai rasa ‘pongah’. Agnes Monica, misalnya, pasti sudah kenyang perundungan online lima tahun terakhir gara-gara konsisten bermimpi go international. Demikian juga Mario Teguh, cocot lamisnya diolok-olok lantaran selalu meyakini semua orang bisa sukses, asal mau ini dan itu.
Orang berhak menyebut olok-olok kami sebatas rasa iri atau dengki terhadap ‘pekerja keras’. Tapi, bagi kaum yang terlanjur kebas dihajar ketidakadilan saban hari, dan belum terorganisir merebut alat-alat produksi, izinkanlah kami-kami latihan ngece dulu orang-orang yang rajin menyampanyekan kesuksesan pribadi.
Apalagi, pesan moral penting dari kasus Leo menang Oscar bukan menyoal kita harus nyinyir atau gembira saat pesohor sukses. Kabarnya, Leo selalu ingin membuktikan olok-olok padanya soal Oscar keliru, dan akhirnya benar-benar kesampaian setelah 100 persen disiksa di film terbarunya.
Artinya, olok-olok sebagai metode perlawanan subtil media semacam Mojok.co terhadap figur publik atau organisasi menyebalkan – mulai dari Jonru, Fahira Idris, Felix Siauw, FPI, HMI (mbuh yang MPO atau DIPO, pokoke sing goblok), hingga Lulung Lunggana – punya potensi berdampak serius.
Bayangkan jika rombongan dungu itu betulan termotivasi meraih hal yang berkebalikan dari ejeken netizen seperti dialami Leo selama ini? Apa tidak Subhanallah sekali?
Maka, saya usul, kita pastikan di masa mendatang olok-olok buat kalangan intoleran di negara ini dilakukan memakai psikologi terbalik. Ambil contoh, kita harus rajin bikin meme berisi doa agar Jonru bukunya laris dan tidak mau diwawancarai oleh Mojok.co.
Demikian pula treatment buat Mafia Petamburan pimpinan Rizieq Shihab, Pemuda Pancasila, sampai geng HMI yang lebih rajin demo membela NKRI daripada bayar makan di warung; mereka perlu kita support melalui meme-meme viral supaya terus istiqamah di jalur intoleran. Kita perlu sebar gojekan bahwa mereka tidak sanggup melindungi kaum teraniaya, atau mustahil galak pada aparat hukum yang korup.
Kalau ini dilakukan secara masif, dikemas dalam nada ngece, lama-lama kan mereka pasti jengah, lalu berusaha membuktikan bahwa mereka tidak seperti yang diocehkan para netizen. Jangan lupa, ketika Leonardo DiCaprio saja akhirnya sanggup menang Oscar, batas semua impian kita tinggal saat langit runtuh. Agnes Monica dan Rizieq Shihab bergandengan tangan mempromosikan toleransi dan perlindungan kaum minoritas di negara ini tinggal tunggu waktu.
Percayalah!