Kalau Anda pendukung cita-cita Reformasi 1998, semoga Anda sepakat dengan saya: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membubarkan ormas anti-Pancasila itu tidak demokratis, dan menandakan satu langkah mundur menuju Orde Baru.
Perppu itu hendak merevisi UU Ormas 17/2013 yang menggariskan prosedur yang panjang dan memakan waktu berbulan-bulan untuk membubarkan ormas. Perppu mempersingkatnya dalam hitungan hari. Dan, ini yang lebih penting, UU Ormas 17/2013 mengharuskan putusan pengadilan untuk membubarkan ormas, sementara perppu menghapus aturan ini.
Menko Polhukam menyebutnya asas hukum administrasi contrarius actus: lembaga yang mengesahkan ormas adalah lembaga yang berwenang membubarkannya. Dengan tiadanya peradilan, saya menyebutnya pelanggaran prinsip pembagian kekuasaan yang merupakan rukun demokrasi.
Benar yang dikatakan Mohammad Samsul Arifin: dengan perppu itu, ormas tak bisa membela diri. Ormas bersalah begitu peringatan tertulis dilayangkan kementerian terkait yang bertindak sebagai penuntut/pendakwa dan hakim sekaligus.
Dengan demikian, kekuasaan untuk membubarkan ormas jadi terpusat, dan terpusatnya kekuasaan sangat rentan terhadap penyalahgunaan. (Tentang ini, tulisan “ilmiah” biasanya suka mengutip perkataan Lord Acton, yang perlu Anda hafalkan biar kelihatan keren: “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.”)
Pemerintah juga berpandangan bahwa perppu itu perlu guna mengisi kekosongan hukum karena UU Ormas belum memadai untuk menindak ormas anti-Pancasila dengan cepat. Bagi saya, yang kosong bukan hukumnya. Yang kosong adalah penjelasan tentang kekosongan hukum itu sendiri.
Alasan kekosongan hukum itu implisit mengandaikan bahwa target hukum sudah ada, tapi alat untuk menghukum belum, dan karenanya perlu diadakan. Pakunya sudah ada, maka palunya perlu diadakan kemudian. Salah dulu, alat untuk menyalahkan sediakan belakangan.
Sasaran pertama dari Perppu itu, kita tahu, ialah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya tidak suka HTI, tapi analogi yang dikatakan jubir HTI mengenai manuver pemerintah itu mengandung poin menarik: Ibarat main bola, pemerintah kesulitan membuat gol, maka yang disiasati adalah aturannya: lebarkan gawang.
Sesuai konstitusi, Perppu hanya bisa dikeluarkan bila ada “hal ihwal kegentingan yang memaksa”. Di sini ada kekosongan lagi: apa kriteria kegentingan yang memaksa? Lebih mengerucut, seberapa gentingkah kondisi bangsa ini karena keberadaan HTI? Pertanyaan ini harusnya dijawab di pengadilan, tapi naas, Perppu tidak memungkinkannya.
HTI itu besar omongannya, kadang bikin berisik yang tak perlu, juga mengampanyekan wacana yang kontraproduktif: mau menyatukan lebih dari satu miliar muslim sejagat di bawah satu bendera, tapi jumlah anggotanya sedikit.
Saya estimasi jumlah anggota HTI di kisaran setengah juta, sebagian besar adalah mahasiswa yang masih minta sangu dari orang tuanya. Yang lebih penting dari itu, HTI tidak punya sayap paramiliter. Tolong koreksi kalau saya keliru, HTI belum pernah terlibat secara langsung dan sendirian melakukan tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) dengan kekerasan. Omongan yang bikin ribut di medsos, iya; tapi secara aktual, belum, atau paling banter mendorong dari belakang, bukan aktor utama.
Dengan hitungan di atas kertas, hampir mustahil kekuatan sekecil itu mampu mengumandangkan revolusi bersenjata menumbangkan negara.
Kalau tujuan dasar dari Perppu dan UU Ormas adalah untuk menjaga ketertiban umum dalam berormas, dan perlu ada skala prioritas, sesungguhnya ada ormas lain yang lebih kuat, beranggota lebih banyak, dan bisa jadi lebih berbahaya daripada HTI, dengan rekaman panjang vigilantisme dan kekerasan. Ialah ormas yang dipimpin oleh orang yang dulu menuntut segera ditahannya “penista agama” agar tak kabur, sementara kini justru dia sendiri yang melarikan diri.
Di sini perlu dicataat, perppu yang baru itu melarang ormas melakukan tindakan yang menjadi wewenang penegak hukum. Kira-kira, apakah ormas yang terakhir “itu” akan menjadi sasaran perppu? Satu clue untuk menjawab: sang imam besar sempat bersilaturahmi dengan Menko Polhukam dan keduanya mengafirmasi bahwa mereka berdua adalah (((kawan lama))).
Hal lain, sebagaimana sudah banyak orang bilang, manuver pemerintah itu akan mengulang lagi politik asas tunggal Pancasila zaman Orde Baru. Korban politik asas tunggal pada waktu itu ialah partai atau ormas yang berasas Islam. Sasaran partai adalah PPP, dan di antara ormas yang jadi korban adalah PII dan HMI (yang pecah jadi Dipo dan MPO). Sakralisasi Pancasila dengan tangan militer turut mengakibatkan tragedi Tanjung Priok 1984 dan Talangsari 1989. (Jadi, kalau ada orang bilang Islam lebih baik di zaman Mbah Harto, dia kleru!)
Lebih dari itu, perppu bahkan mengatur hukuman pidana untuk angggota ormas yang dibubarkan—UU Ormas 1985 bikinan Orde Baru malah tak eksplisit menyatakan pemidanaan, hanya “pembinaan”. Dan melanjutkan UU Ormas 2013, perppu juga menyatakan eksplisit komunisme/marxisme-leninisme bertentangan dengan Pancasila. Saya tak bisa membayangkan, kalau penulis-penulis Marxis muda yang berbakat dan kritis akan dipidana dengan alasan menyebarkan pemahaman yang menentang Pancasila. Kacau!
Pancasila mengandung kalimat multiinterpretatif. Teksnya bisa ditafsirkan mulur-mungkeret. Seperti pedang bermata dua, ia hari ini bisa saja menyasar kaum Islamis, esok hari menyasar kaum Marxis, lusa mungkin menyasar kaum liberal.
Di zaman Orde Baru, marxisme dianggap bertentangan dengan Pancasila. Di zaman Orde Lama, Sukarno justru mengampanyekan Nasakom, satu bentuk penerapan dari ide yang ditulisnya pada 1926 mengenai persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islamisme, Marxisme.
Di sini ada ironi besar: bagaimana bisa marxisme dianggap bertentangan dengan Pancasila sementara “penggali” Pancasila sendiri seorang marxis?
Waktu kemarin ada kampanye “Saya Pancasila” itu, saya mengajukan pandangan bahwa yang penting itu bukan Pancasila, melainkan tafsirnya: apakah Pancasila dimaksudkan inklusif (“semua buat semua”) atau ditujukan sebagai instrumen untuk menghabisi lawan politik? Pertanyaan ini perlu menjadi bahan pertimbangan untuk Tuan dan Puan di DPR, juga Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang belum lama ini dibentuk.
Sesuai tata aturan perundang-undangan, perppu harus segera diajukan dan diputuskan dalam rapat DPR terdekat untuk disetujui (jadi UU baru) atau ditolak (sehingga batal). Masih ada waktu untuk berpikir lebih dalam.
Sembari berpikir, izinkan saya mengajukan usul kepada Tuan dan Puan di DPR. Ketimbang Pancasila yang multiinterpretatif, baiknya pakai standar yang lebih mudah diukur. Misalnya: hasutan kekerasan. Contoh konkretnya: ucapan “bunuh Ahmadiyah” dan “Ahmadiyah halal darahnya” dari salah satu petinggi ormas vigilante yang disampaikan dengan sengaja di muka umum.
“Wuih … tulisannya serius sekali, Mas. Kok nggak ada mojok-mojoknya?”
Maaf, Kisanak, pertanyaan begitu baiknya disampaikan ke redakturnya. Saya sendiri mau ke warung kopi. Untuk Anda yang lapang waktu, tolong sampaikan tulisan ini ke anggota DPR. Sebarkan! Jangan berhenti di kamu. Iya, kamu ….