Apa yang Saya Bicarakan Ketika Saya Bicara Pernikahan Homo

Seminggu belakangan ini saya capek mendengar kalian terus-menerus mengejek-ejek LGBT. Tak perlu kalap mengatakan kaum LGBT juga menuntut dibolehkan kawin di Indonesia. Boro-boro kawin, tidak dilecehkan saja sudah syukur.

Bagi LGBT di tanah air, ada skala prioritas. Yang terpenting, cukup dihargai dan diterima sebagai manusia. Perkara selebrasi pelangi-pelangi, itu adalah ruap kegembiraan di medsos semata, sebab di seberang sana, Amerika telah mengesahkan hak pernikahan untuk semua, termasuk insan LGBT. Selebihnya, kami tetap menjejak di bumi, mengakui bahwa di negeri ini kami tetap harus berkubang dengan stigma, diskriminasi, dan pelecehan.

Tapi semua komentar tentang pernikahan gay yang tak boleh, dan superioritas perkawinan hetero itu bener-bener bikin empet. Jadi saya tuliskan saja mengapa pernikahan homo bisa lebih unggul dari berbagai sisi. Emang lo aja yang bisa pamer? Hih.

Pasangan Hetero Membuang-buang Uang dan Waktu

Tahukah Anda, separuh perkawinan hetero  itu berakhir di perceraian? Betapa mubazirnya! Betapa sia-sianya waktu dan uang. Bayangkan semua duit yang habis saat pacaran, uang panaik alias mahar, ongkos rumah tangga, belum lagi derita batin jomblo saat mencari pasangan. Nah soal mahar atau uang panaik, pasangan homo tak kenal itu. Ngapain pakai mahar kalau dua-duanya sama mau? Pacaran pun saling traktir. Nggak melulu yang laki yang harus bayar. Lha dua-duanya laki. Pasangan lesbi ya sama, tak ada laki-laki di antara mereka.

Kami Tak Berkembang Biak Begitu Saja

Anda menganggapnya sebagai kenistaan. Kawin kok nggak bisa bikin anak? Baiklah, jika kami tak diizinkan adopsi. Tapi kalian, wahai hetero, mesti bertanggung jawab sepenuhnya atas dunia yang semakin padat ini. Meski dunia tidak kecil-kecil amat, tapi kalian berkembang biak tanpa kendali. Jutaan anak telantar dan kelaparan. Kami? Kami siap membantu, mengambil tanggung jawab kalian, wahai para produsen anak. Kami mengadopsi anak, dengan tanggung jawab penuh. Sebab di negara-negara yang mengizinkan adopsi anak, kami harus menunjukkan bahwa kami mampu lahir-batin mengasuh anak. Kami diwawancara, slip gaji diperiksa, rumah diperiksa. Sementara kalian bebas menghasilkan anak, kadang tanpa rencana, entah karena iseng, ikut-ikutan, kecelakaan, tekanan sosial, dan sebagainya. Kami, syukurnya, tak bisa seperti itu.

KDRT? Haram!

Tahukah Anda bahwa KDRT menimpa banyak rumah tangga dan merupakan salah satu kejahatan yang paling jarang dilaporkan? Nah, kami tidak menyelesaikan masalah dengan KDRT. Jika ada masalah kami adu panco. Atau berlomba nyanyi di bilik karaoke. Atau  berlomba tata rias wajah dan gunting rambut. Yang kalah ya kalah. Situ? Ah, paling yang laki membentak, nampar, atau minta ditaati karena merasa jadi imam. Ih, pengecut sangat. Bayangkan Ayu Azhari dalam Noktah Merah Perkawinan:  “Tampar aku lagi, Mas! Tampar!” Nah, kami tidak seperti itu.

Mertua Mencintai Kami

Kami tak bermasalah dengan mertua. Ibu mertua masak? Kami bantu. Kami berbagi resep. Kalau perlu kami yang merias dan menyanggul jika ibu mertua harus kondangan. Kami bisa menggambar alis yang simetris-sempurna. Kami tahu selusin tutorial berjilbab dan berkerudung. Kami tahu beda antara eyeliner, eyeshadow dan mascara. Situ? Bisakah kalian bikin  New York cheesecake ala Gordon Ramsay? Bisakah kalian membedakan antara lipstick, lip gloss, lip liner, lip plumper, lip balm, lip conditioner, lip primer dan lip boosters? Nggak, kan? Menemani ibu mertua belanja saja kalian ogah-ogahan.

Dengan bapak mertua kami juga okeh. Kami bisa main bulutangkis bareng, main voli bareng, berangkat jumatan bareng, berkebun bareng, ngeronda bareng-bareng. Pendek kata, kami paket all in one; kami toko alcada (apa lo cari gue ada). Mau contoh? Tontonlah Arisan! Cari adegan waktu Nino aka Surya Saputra ngobrol tentang hibiscus dengan (calon) ibu mertuanya. Satu hal, ini contoh saja. Tentu saja  tak semua kami secakep Nino. Tapi itu masalah lain.

Tidak Sesuai Kitab

Kalian menyebut Sodom dan Gomora dari kitab. Saya males menanggapi kalau perdebatan sudah mulai masuk ranah agama. Biasanya cuma berakhir dengan: tapi Tuhan saya memerintahkan bla bla bla dan saya patuh seratus persen. Mau bilang apa lagi, coba?

Tapi okelah. Mari melihat kitab. Asal kalian tahu, semua ketidaknyamanan di dunia yang fana ini asal muasalnya dari pasangan hetero. Kalau saja Adam dan Hawa tak punya konflik rumah tangga soal buah, dan Adam nggak jiper sama Hawa yang iseng minta buah, kita nggak bakalan terusir dari surga. Kita bakal abadi selamanya di surga, tanpa problema,  tanpa embel-embel masalah Jokowi yang melempem, rupiah yang terus menerus jongkok dan THR yang tak pernah cukup. Ada yang menyebutnya dosa warisan. Saya menyebutnya: Masalah-rumah-tangga-satu-pasangan-hetero-tapi-yang-kena-getahnya-kita-semua.

Kami Lebih Santai

Kami tak terlalu cemburuan. Lha selera sama ngapain juga cemburu? Semisal nih, kalian jarang bareng, terus si suami ngelirik cewek seksi yang kebetulan lewat. Si Istri marah, blingsatan, nyubit: ngapain lirik-lirik?! Salah-salah suami ditabok. Kami? Nggak menjamin semuanya seperti ini sih, tapi kami malah sering cuci mata. Karena selera sama, alih-alih cemburu, kami malah membahas.

Jika ada barang bagus lewat macam Mas Ken dan Mas Bana, lalu pasangan saya melirik terus bekomentar: “Cakep ya?”, maka saya cukup menoleh, mengamati, lalu berkomentar: “Iya, cakep sekali. Bulu hidungnya rapih.” No problemo. Tentu saja poin-poin di atas setengah serius setengah main-main. Pasangan gay juga mengalami KDRT, pasangan gay pun cemburuan, pasangan gay bisa bentrok dengan mertua.

Poin saya: pernikahan hetero bukan pencapaian maha suci. Berhentilah membanggakan keheteroan kalian. Lha jadi hetero juga bukan usaha kalian, kok. Kalian tak pernah minta dan memilih jadi hetero, kalian lahir dan tumbuh sebagai hetero, sebab kalian memang hetero. Jadi stop menganggapnya sebagai suatu pencapaian. Itu bukan titel sarjana, tak ada yang namanya sarjana dan ijazah hetero. Di belahan dunia lain, orang-orang bersuka cita sebab negara membolehkan mereka berkumpul dan bersatu dengan orang-orang yang mereka cintai.

Kami, kaum LGBT dan mereka yang peduli di tanah air, juga turut bergembira, seraya membatin: Nun di sana, mereka sudah sampai di garis itu, tapi di sini,  pengakuan, perlindungan dan penghormatan pun masih sulit didapatkan.

Semoga bisa dimengerti, Tuan dan Puan hetero yang mulia.

Exit mobile version