Penulis Zaman Dulu: Antara Honor dan Horor

Kyai-Faizi-Mesin-Ketik-MOJOK.CO

[MOJOK.CO] “Pahit manis pengalaman menjadi penulis.”

Setiap penulis punya pengalaman sendiri-sendiri, baik yang menyebalkan, tindakan bodoh, maupun yang hebat-hebat. Umumnya, di biografinya, para penulis mencantumkan hanya yang hebat-hebat saja. Saat ia masih culun dan gemar melakukan kesalahan-kesalahan memalukan, tidak pernah ia cantumkan di situ, ya kan? Entah kalau ada yang benar-benar berani melakukannya, meskipun entah pula untuk tujuan apa.

Biografi merupakan salah satu senjata penulis untuk mengancam redaktur. Biografi yang dipenuhi nama-nama media, seperti mengandung tulisan “pernah dimuat di media ini dan itu, nganu dan nganu” tak ubahnya rajah yang berguna melindungi karya sendiri agar tidak terpental ke tempat sampah redaktur. Tapi, tidak semua penulis berlaku jujur dan menyatakan apa adanya. Ada pula yang ngarang cerpen sekaligus ngarang biografinya. Ia, misalnya, mengaku kalau tulisannya pernah dimuat di koran ini dan itu, di majalah ini dan itu, padahal salah satu yang dimaksud “tulisan”-nya itu adalah surat pembaca.

Akan tetapi, tak perlu cemas, redaktur pun demikian. Ada yang suka percaya, tak mudah percaya, dan gampang diperdaya. Maklum, zaman dulu, redaktur kesulitan memantau kejujuran penulis karena Wikipedia dan mesin pencari seperti Altavista dan Google belumlah ada. Kalau sekarang, jangan macam-macam berlaku begitu! Satu macam pun langsung ketahuan, apalagi macam-macam.

Saya mau tuliskan pengalaman saya dan pengalaman orang lain yang pernah saya tahu atau pernah dicurhatkan kepada saya. Dalam hal ini, saya akan ceritakan pengalaman lintas dekade, semisal bahwa saya sudah melintasi zaman ketika honor masih dibayar dengan wesel, dicairkan dari saku celana, melalui cek, maupun seperti sekarang, lewat transfer ke nomor rekening bank. Semua itu sudah pernah saya alami. Percayalah! Semua yang saya tulis ini valid, bukan hasil karang-mengarang karena ini esai, bukan cerpen. Tidak percaya? Rugi kalau Anda tidak percaya, tapi esai ini terus dibaca.

Mari, mulai….

***

Seorang cerpenis yang baru naik daun mengirim naskahnya ke seorang redaktur majalah. Sebagaimana lazimnya, ia menyertakan biografi singkat di lembaran kertas terpisah. Tapi, biografinya itu akhirnya jadi sangat panjang gara-gara ia menyebut semua nama koran dan majalah yang pernah memuat karyanya (memang banyak beneran, sih). Nama majalah-majalah kampus yang hanya dicetak sangat terbatas pun tak luput dan pencomotan namanya untuk kemegahan menu biografi perjalanan kreatifnya.

Dua minggu kemudian, datanglah surat balasan dari sang redaktur. Isinya ternyata bukan berita pemuatan, melainkan balasan biografi singkat redaktur tersebut yang ternyata terdiri dari 3 halaman. Rupanya, si redaktur tidak terima diperlakukan begitu oleh si cerpenis, makanya melawan. Inilah perang biografi yang pernah saya tahu dan terjadi di muka bumi.

***

Arief Santosa pernah bercerita kepada saya di sebuah kedai kopi di utara RSAL, Surabaya. Konon, ada seorang pemuda yang mengirim esai hingga 39 kali untuk rubrik yang dia asuh, di harian Jawa Pos edisi Minggu. Apes, belum sekali pun dimuat juga karya si pemuda itu. “Memang belum layak, kok,” kata Arief. “Dia tidak mau belajar dari kesalahan. Dia hanya memproduksi terus, seperti mesin, tapi tidak pernah memperbaiki kualitas tulisannya.”

Tak lama kemudian, datanglah surat yang ke-40 dari si pemuda. Kali ini bukan naskah esai, melainkan acaman. Arief Santosa diancamnya dengan “penyerangan” kalau karyanya tidak dimuat juga. Apa yang terjadi setelah itu? Saya tidak tahu karena ketika kami berjumpa lagi, tema itu sudah terlupakan dan saya juga tidak tertarik lagi membahasnya, nggak lucu soalnya.

***

Nah, kali ini giliran saya. Puisi saya pernah terbit di majalah Bahana (Brunei). Honornya terbilang besar di kala itu. Bahana membanderol setara 150.000 rupiah per satu judul. Kejadiannya di tahun 1998. Honor tersebut lalu dikirim via pos dalam bentuk selembar cek. Karena bank yang dapat mencairkannya tak ada kantor perwakilannya di Jogja, kota tempat saya belajar, dibawalah cek itu ke Jakarta beberapa bulan sesudahnya karena kebetulan saya memang ada kepentingan ke Ibu Kota.

Setelah saya masuk ke gedung megah bank yang dimaksud (HSBC), teller bank menyatakan bahwa cek saya invalid. Ternyata, cek sudah melewati tenggat. Dari situ saya tahu bahwa cek ada masa kedaluwarsanya. Selama ini, saya kira cuma susu kotak Ultra Jaya saja yang pakai masa berakhir macam begituan. Betapa culunnya!

***

Seorang anak remaja datang untuk meminta kata pengantar bagi manuskrip buku puisinya. “Kembalilah seminggu lagi,” kata saya. Pemuda mengangguk. Dia ini terbilang sopan dibanding yang satunya lagi, di tahun belakangan, yang nyetor naskah pukul 09.05 pagi lewat email dan meneror saya agar menulis endorsement untuk puisi-puisinya itu serta harus rampung sebelum azan Zuhur berkumandang. Dipikirnya, saya ini scanner (pemindai) atau mesin fotokopi yang bisa membaca naskah secepat itu. Mumkin….

Seminggu kemudian, setelah berkas manuskrip puisi itu saya baca, saya kaget karena menemukan beberapa kalimat dan frase yang dikutip dari puisi saya. Dia hanya mengubah predikatnya dengan padanan kata yang mirip, juga beberapa kata yang lain. Dugaan saya, dia menemukan puisi saya tersebut di sebuah lomba baca puisi dan tidak sadar kalau itu karya saya. Dari situ saya mikir, ternyata, si kawan yang saya sebut tidak sopan tadi, yang minta endorsement kayak orang nyuruh bikin lotek, masih mending daripada si pemuda yang kelihatannya sopan namun begitu enteng ngutil karya orang lain.

Setelah ketemuan, saya mengetesnya dengan cara menanyakan makna kata tertentu (saya menyebut satu nama tokoh yang disebutkan di dalam puisinya [dan tentu saja juga ada di dalam puisi saya, persis]) dan dari mana ia mendapatkan inspirasi kata itu. Ia menjawab, “Ambil di KBBI….”

Sontak saya marah dan langsung memberi petuah. “Modal menjadi penyair itu harus jujur. Jangan jadi penyair seperti yang sitir Alquran, mengatakan yang tidak dilakukan. Lagian, nama itu tak mungkin ada di dalam KBBI karena ia nama tokoh, nama orang.”

Lalu, saya merasa berdosa begitu melihat wajahnya menyaru tembok yang sudah 2 tahun tidak dilabur, sama pucatnya.

***

Ada seorang penulis yang sangat rajin mengirim artikelnya ke sebuah koran yang hampir bangkrut (dan kini benar-benar sudah koit). Konon, koran itu memberikan honor setiap lima kali pemuatan. Karena si penulis sudah kepepet butuh dana talangan atas utang-utang di warung nasi tempat dia ngetem sejak awal bulan hingga tanggal likuran, datanglah ia ke kantor koran tersebut dengan langkah kaki nan berat kayak digandoli setan, laksana seorang pemuda nakal yang dipaksa pergi Jumatan. Tujuannya adalah untuk menagih honor sembari menyetorkan naskah artikelnya yang kelima demi kelengkapan syarat.

Tahukah Anda, apa yang terjadi? Redaktur justru menghardiknya. “Sudah tahu koran mau mati, nagih honor sebelum waktunya kamu ini!”

***

Seorang kawan menyetorkan naskah terjemahannya ke penerbit nganu. Alasan mengapa ia setor ke situ adalah karena salah seorang redakturnya merupakan kenalannya. Seminggu kemudian, datang kabar. “Karyamu ditolak, terlalu tebal dan terlalu berat,” katanya, sih, begitu, sesuai hasil sidang redaksi.

Setahun berikutnya, si redaktur keluar dari penerbit asal dan ia mendirikan penerbit sendiri. Buku si penerjemah itu pun terbit namun atas nama orang lain. Si penerjemah geleng-geleng kepala dan tak bisa berbuat apa pun kecuali mengepalkan tangan dan ingin segera meninju. Ia masih ingat dan sangat yakin sama frase dan kalimat yang ia ketik dalam karya terjemahan itu. Hanya itu modalnya. Ingin sekali ia menghajar orang-orang ilmiah yang culas itu dengan tinju yang tidak ilmiah namun jujur dalam membikin kesakitan.

***

Seorang remaja datang ke kantor redaksi sebuah majalah “plat merah” untuk minta honorarium pemuatan puisi sebatang karanya yang terbit di majalah itu bulan lalu. Karena hanya satu puisi saja yang dimuat, maka ia berhak mendapatkan uang sebesar Rp7.500. Setelah ketemu, Pak Redaktur merogoh saku celananya sisi kanan setelah tidak menemukan yang ia cari di dompetnya. Dia mengambil uang dari situ lantas menyerahkannya kepada si remaja berwajah sederhana itu, tanpa kuitansi, tanpa nota, tanpa apa pun selain uang itu sendiri.

Di masa itu, honor tersebut cukup untuk membayar dua tiga mangkok soto, anggaplah untuk si pemuda dan untuk temannya yang telah sudi mengantar. Namun, karena si pemuda merupakan pemuja siomay kelas radikal, ia melampiaskannya untuk itu. Dan pemuda itu adalah saya.

***

Tema edisi terakhir jurnal bergengsi Ulumul Quran adalah “Masa Depan Sastra”. Terbitan terakhirnya itu kalau tak salah bertarikh Januari 1998. Setelah itu, Ulumul Quran mati suri, tidak terbit lagi dalam waktu yang lama tepatnya. Ternyata, meramal masa depan dapat menyebabkan kematian, kasihan dan ngeri. Setahu saya, ada konflik serius di internal perusahaan yang menyebabkan manajemennya kacau balau. Salah satu buktinya adalah teman saya yang terus menerima jurnal padahal ia sudah berhenti langganan.

Karena kebetulan karya saya dimuat di edisi terakhir itu dan yakin tidak bakal cair honornya, saya biarin saja, pasrah seperti seorang pemuda menunggu jawaban mendebarkan dari calon mertuanya. Nah, di suatu kesempatan, saat saya pergi ke Jakarta, datanglah diri badan ini ke kantor jurnal tersebut, menemui staf, menyatakan mau mengambil honor—dan jawabannya sudah pasti: tidak bisa—lalu menawarkan diri untuk menukar honor dengan jurnal. Mereka setuju. Maka, dimasukkanlah puluhan jurnal Ulumul Quran itu ke dalam kardus besar dan saya pulang. Itulah salah satu honor paling keren yang pernah saya terima.

***

Saya selalu menulis selembar kata pengantar di kertas terpisah untuk setiap pengiriman naskah (puisi) yang saya kirim ke koran. Meskipun sebagian redaktur memang tidak menuntut adanya surat pengantar, tapi saya mewajibkan diri untuk melakukannya sebagai bentuk penghormatan dan kedinasan. Namun, sekali waktu saya pernah luput. Suratnya diketik tapi lupa tidak membubuhkan tanda tangan di atas nama saya, di posisi ujung bawah di lembaran itu. Setelah surat terkirim ke redaktur koran Serambi Indonesia (Banda Aceh) yang kala itu dipegang oleh Tuan Hasyim KS, berkas saya ternyata ditolak, dikembalikan utuh meskipun tanpa perangko pengembalian. Eh, ternyata, itu bukan surat penolakan karena tertera coretan di atas nama saya, persis di posisi tanda tangan. Isi teksnya begini: “Mana ini?”

Aneh sekali redaktur ini, pikir saya. Hanya gara-gara lupa tanda tangan, naskah saya dikembalikan. Maka, saya pun meladeni keanehannya dengan cara mengirim ulang berkas puisi tersebut apa adanya. Bedanya, kali ini saya cuma membubuhkan tanda tangan. Dan benar, beberapa minggu kemudian, karya saya pun dimuatnya.

***

Seorang penulis muda yang mengaku gigih sudah mengirim cerpen-cerpennya ke koran, rajin sekali, tapi tidak pernah ada yang dimuat. Akhirnya, dia datang ke saya untuk curhat, kenapa sudah puluhan kali dia kirim ke koran dan ditolak-tolak terus. Sepertinya, dia hendak minta pertimbangan untuk mengamalkan “tashirul qulub” guna melunakkan hati para redaktur yang menurutnya seperti pohon beringin: angker dan tak berperasaan.

“Coba saya lihat!”

Saya memeriksa..

Wah, pantesan. Ternyata, tulisannya itu tanpa alinea. Entah di mana letak paragrafnya, pasti hanya dia dan Tuhan yang tahu.

“Ya, kamu harus pisah per paragraf, jangan nyambung terus-terusan seperti ini,” pesan saya. Ia hanya geleng-geleng dan manggut-manggut. Tampaknya ia mau bertanya begini di dalam hatinya, kalau aku masih sibuk memisah paragraf demi paragraf, terus kerjaan redaktur itu apa saja, sih? Menganggur saja? tetapi pertanyaan itu hanyalah imajinasi saya. Entah dia bertanya begitu sungguhan di dalam hatinya atau tidak, saya tidak ngurus, lebih-lebih sekarang setelah dia menjadi juragan buku dan sudah kaya dan tetap rajin menulis.

***

Tahun 1997 merupakan tahun paling produktif pada rentang masa kepengarangan saya. Saking berlebihnya energi menulis, saya mengirimkan puisi-puisi saya ke koran apa pun di tanah air ini, dari Serambi Indonesia di Aceh sampai Tifa Irian di Jayapura; dari Manuntung sampai Akcaya, dari Banjarmasin Post sampai Fajar di Makassar. Modal saya adalah alamat redaksi yang saya baca di Yellow Pages, kitab iklan yang sangat tebal.

Ada yang dimuat, ada yang entah, dan mungkin pula ada yang dimuat tapi saya tidak pernah tahu wong sama rupa korannya saja saya nggak tahu, apalagi sama isi rubriknya. Bahkan, ada rubrik buat puisinya atau tidak pun saya tidak tahu. Saya hanya mengirim, tepatnya, menyerbu. Apakah ini tindakan bodoh atau heroik, saya juga tidak tahu. Yang pasti, gara-gara kenangan inilah saya menulis esai ini.

Exit mobile version