Pengangguran adalah Takdir Buzzer Berkat Teknologi AI Bernama GPT-3

Masak kalah sama sales panci dan buzzer yang terancam jadi pengangguran karena kehilangan pekerjaan bikin fake news.

Pengangguran adalah Takdir Buzzer Berkat Teknologi AI Bernama GPT-3 MOJOK.CO

Pengangguran adalah Takdir Buzzer Berkat Teknologi AI Bernama GPT-3 MOJOK.CO

MOJOK.COBuzzer yang suka bikin fake news itu bakal terancam jadi pengangguran berkat sebuah teknologi bernama GTP-3.

Tahukah kalian, sebuah robot sekarang sudah bisa menulis artikel surat kabar? Tahun 2020 lalu, The Guardian merilis sebuah artikel berjudul A robot wrote this entire article. Are you scared yet, human?”

Artikel tersebut ditulis oleh GPT-3, teknologi AI yang dikembangkan oleh openAI, sebuah perusahaan yang dulu didirikan Elon Musk. Meskipun saat ini masih dirilis terbatas, GPT-3 ini sudah mampu menghasilkan artikel dengan instruksi berupa beberapa kalimat saja.

Selayaknya AI, GPT-3 dibuat dengan cara diberikan data tulisan sebanyak-banyaknya untuk kemudian ia “belajar” menemukan pola di tulisan-tulisan itu. Ini dilakukan dan disempurnakan sehingga pada akhirnya ia mampu menyusun suatu tulisan utuh dengan hanya bermodalkan ide awal berupa beberapa kalimat instruksi tadi. GPT-3 ini bahkan mampu menulis puisi tentang Elon Musk, lho.

Btw, di artikel The Guardian tersebut, robot dan AI dianggap sebagai satu kesatuan, ya. Pada kenyataannya, GPT-3 itu adalah software. Sesuatu yang memiliki AI itu belum tentu berwujud robot (apalagi robot yang menyerupai manusia). Sebaliknya, belum tentu juga sebuah robot itu cerdas (memiliki AI).

Melansir Wired, GPT-3 bisa jadi merupakan ancaman baru bagi umat manusia karena ini ibarat deepfake tapi berbentuk tulisan. Mendeteksinya akan sangat sulit. Kita sudah tidak bisa membedakan apakah sebuah tulisan itu dihasilkan oleh manusia atau GPT-3.

Lalu, karena “hanya” berbentuk tulisan, volume atau jumlah artikel yang bisa dihasilkan bisa sangat banyak dalam waktu singkat. Kebayang nggak kalau yang ditulis itu adalah fake news oleh para buzzer yang terancam jadi pengangguran itu?

Ngomongin fake news oleh para buzzer yang terancam jadi pengangguran itu, baru-baru ini Al Jazeera memberitakan bahwa Facebook telah mematikan sebuah jaringan troll farm di Nikaragua, suatu negara di Amerika Tengah.

Troll farm adalah sekelompok orang yang dikelola dan disewa untuk memposting konten-konten provokatif atau propaganda ke media sosial. Troll farm di Nikaragua itu, setelah diusut, ternyata diduga beroperasi di bawah kendali presidennya sendiri, yaitu Daniel Ortega dan dibantu oleh parpol yang saat ini berkuasa di sana. Troll farm itu ditugaskan untuk menyebarkan konten-konten pro pemerintah dan anti oposisi.

MIT Technology Review juga belum lama ini memberitakan bahwa di Amerika Serikat sebelum pilpres 2020 yang lalu, 140 juta warganya sudah terpapar konten yang diproduksi oleh troll farm, setiap bulannya. Troll farm itu diduga banyak beroperasi dari Kosovo dan Macedonia, keduanya dulu bagian dari Yugoslavia di Semenanjung Balkan. Mereka ditugaskan untuk, tentu saja, menggiring publik di negara itu untuk mendukung kandidat presiden tertentu atau untuk menjadi anti kandidat tertentu.

Selain Amerika Serikat, troll farm itu juga menarget negara lain seperti Inggris, Australia, India, serta negara-negara di Amerika Tengah dan Selatan.

Gimana dengan Indonesia?

Kita tentu familiar dengan istilah buzzer politik. Mengutip Tirtobuzzer  yang terancam jadi pengangguran itu pertama kali digunakan dalam kancah pilgub DKI Jakarta tahun 2012. Lalu digunakan lagi di pilpres 2014 dan pilgub DKI berikutnya di 2017.

Namun, yang paling kentara dampaknya ya menjelang pilpres 2019 lalu itu. Buzzer-buzzer  yang terancam jadi pengangguran ini beroperasi dengan membawahi sejumlah anggota yang dibayar sesuai jumlah pengguna yang berhasil dijangkau (reach) di media sosial.

Ratusan akun medsos mereka kelola dengan konten-konten yang mayoritas patut dipertanyakan kebenarannya. Mereka berkompetisi untuk mendapatkan perhatian publik dengan menunjukkan betapa kandidat yang satu lebih baik (atau lebih buruk) daripada kandidat lainnya, sehingga para pendukung kandidat itu pun menjadi emosian terhadap para pendukung kandidat yang lain. Begitu pula sebaliknya.

Hasilnya? Misinformasi dan polarisasi terjadi di masyarakat. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tapi juga di banyak negara di seluruh dunia.

Dalam perkembangannya, buzzer  yang terancam jadi pengangguran itu politik ini ternyata ada variannya, lho. Peneliti di Universitas Oxford bulan Mei lalu menemukan bahwa di UK, ada sejumlah akun medsos yang dibuat untuk menayangkan ulang unggahan yang berasal dari akun perwakilan pemerintah Cina di sana.

Dari bahasa yang digunakan dan dukungan terhadap klub bola Inggris yang ditunjukkan dalam unggahannya, akun-akun tersebut diperlihatkan seolah-olah memang milik warga UK tulen. Mereka dibuat untuk memberikan kesan bahwa, ada lho, warga UK yang pro-Cina, sebuah negara yang menganut paham otoriter yang bagi negara seperti UK itu nggak banget, gitu.

Halah, bilang aja UK insecure karena nggak mau Cina semakin mendominasi dunia. Kayak situ nggak pernah menjajah mendominasi dunia aja. Ya nggak?

Tapi Cina juga insecure sih kalo ternyata ia memang beneran mengorganisir buzzer yang terancam jadi pengangguran itu tadi. Ihh, ketahuan. Please be yourself aja deh, Cina.

Entah itu troll farm atau buzzer  yang terancam jadi pengangguran atau yang lain, tetap akan ada sejumlah manusia yang menyuarakan hal-hal yang bertujuan menggiring opini publik supaya bias terhadap sesuatu. Tidak hanya melalui medsos dan tidak hanya di masa sekarang. Di masa lalu pun sudah ada melalui media lain seperti media cetak, radio, dan televisi.

Kalau GPT-3 nanti benar-benar dirilis untuk publik, bisa jadi keberadaan troll farm dan buzzer perlahan-lahan tidak akan dibutuhkan lagi. Artikel atau fake news bahkan mungkin sepaket dengan komentar-komentar dan diskusi yang seru akan bisa diproduksi dengan lebih efisien tanpa banyak campur tangan manusia.

Nggak percaya? Sudah ada buktinya.

Seorang mahasiswa di Amerika Serikat bernama Liam Porr menggunakan GPT-3 untuk menghasilkan konten sebuah blog tahun lalu. Saking meyakinkannya, blog tersebut sempat menduduki peringkat pertama di Hacker News, sebuah website komunitas seperti Reddit tapi lebih bertemakan teknologi (tidak melulu berhubungan dengan hacker).

Liam menuturkan bahwa GPT-3 ini sangat mudah digunakan, dan ia hanya perlu melakukan editing sedikit sekali. Tulisan pertama di blog itu pun katanya viral hanya dalam waktu beberapa jam.

Serem banget nggak sih?

Kabar baiknya, ternyata Liam memang sedang mendemonstrasikan kemampuan sekaligus potensi bahaya dari GPT-3 ini.

Kemudian, peneliti di Georgetown University (juga di Amerika Serikat) bereksperimen dengan GPT-3 selama enam bulan. Mereka sengaja menyebarkan misinformasi dengan topik seputar perubahan iklim dan politik luar negeri. Hasilnya, GPT-3 dinilai efektif untuk menghasilkan konten tulisan untuk media sosial sekaligus terbukti mampu mengubah opini para pembacanya.

Duh, jangan-jangan nggak lama lagi Mojok udah gak akan terima artikel dari kontributor manusia semacam saya, nih.

Mau disebarkan manusia atau AI, yang bisa kita lakukan untuk memerangi fake news itu ya dengan melakukan fact-checking dan meningkatkan literasi digital. Ini sudah sangat mendesak apalagi di negara seperti Indonesia yang, melansir situs Kominfo, memang “agak” terbelakang dalam hal literasi digital.

Tapi kabar baiknya, mengutip situs Jakarta Globe, negara kita juga bisa dibilang memiliki jaringan fact-checker (pemeriksa fakta) terbesar secara global. Mudah-mudahan para fact-checker ini tersebar merata di seluruh nusantara, ya.

Selain itu, pemerintah kita baru-baru ini mencanangkan Gerakan Nasional Literasi Digital. Kalian bisa mendaftarkan diri untuk mengikuti berbagai event baik secara daring maupun tatap muka di banyak kota di situ.

Namun demikian, saya tetap sepakat dengan teman saya yang baru-baru ini mengunjungi saya di Jogja. Dia yang konon juga berprofesi sebagai ASN di sebuah kementerian berpendapat kalau di Indonesia, kegiatan untuk meningkatkan literasi digital itu ya akan lebih efektif bila dilakukan di tempat-tempat di mana orang berkumpul. Contohnya seperti pasar, pusat-pusat vaksinasi, dan sebagainya. Yang merakyat (jelata), gitu.

Saya mengiyakan. Sekalian juga ke kampung-kampung, pengajian-pengajian, acara pemilihan RT/RW, serta arisan ibu-ibu PKK. Ya masak kalah sama sales panci dan buzzer yang terancam jadi pengangguran karena kehilangan pekerjaan bikin fake news.

BACA JUGA Ternyata Buzzer Adalah Wujud ‘Kentungan Hidup’ di Pos Ronda dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version